Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Apakah Ada Pertarungan Ideologi dibalik RUU HIP?



Pemerintah sudah memutuskan menunda pembahasan rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP dengan tidak mengirimkan surat presiden untuk pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Keputusan penundaan diambil pada rapat kabinet terbatas di Istana pada Selasa 16 Juni lalu (nasional.tempo.co, 22/6/2020). 

Penundaan tersebut disinyalir merupakan respon karena adanya gelombang penolakan terhadap RUU tersebut. selain itu dituding membuka peluang ideologi komunis kembali berkembang. Akhirnya banyak pihak yang mendesak RUU HIP dibatalkan, diantaranya karena tidak mencantumkan TAP MPRS Nomor 25/1966 tentang Pembubaran PKI dalam draf RUU tersebut. Betulkah ada sosialisme di balik RUU tersebut? atau memang tidak ada sama sekali pertarungan ideologi?

Secara garis besar, Syaikh Taqiyudin an-Nabhani telah menjelaskan ideologi didalam kitab Nidzam al-Islam, yang merupakan kitab dasar di dalam pembinaan Hizbut Tahrir. Pada bab al–Qiyadah al-Fikriyyah, an-Nabhani mengurai dengan detail, ciri-ciri ideologi, dan menempatkan Islam sebagai satu-satunya ideologi yang sahih, karena dibangun berdasarkan akal dan sesuai dengan fitrah manusia karena wahyu dari Allah SWT.

An-Nabhani (2012) mendefenisikan mabda’ atau ideologi adalah aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Maka dari itu peraturan-peraturan yang ada saat ini sejatinya merupakan hasil dari pancaran ideologi tertentu yang mejadi asas kehidupan masyarakat di suatu negara. Begitu juga apa yang terjadi pada RUU HIP tersebut dilatar belakangi oleh suatu ideologi tertentu.

Sedangkan yang dimaksud dengan akidah adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup; serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan sebelum dan sesudah alam kehidupan. Dan peraturan yang lahir dari akidah tidak lain berfungsi untuk memecahkan dan mengatasi berbagai problematika hidup manusia, menjelaskan bagaimana cara pelaksanaan pemecahannya, memelihara akidah serta untuk mengemban mabda. (An-Nabhani, 2012, Sistem Peraturan Hidup Dalam Islam, Hal : 47-50).

Namun, mengapa hanya aturan islam dianggap sebagai peraturan yang benar dan merupakan pancaran dari ideologi islam itu sendiri? Karena pemahaman manusia terhadap proses lahirnya peraturan selalu menimbulkan perbedaan, perselisihan, dan pertentangan, serta selalu terpengaruh lingkungan tempat ia hidup. Beda halnya dengan islam yang memang merupakan peraturan yang bersumber dari Maha Pencipta manusia yang mengetahui apa kebutuhan dan bagaimana manusia memenuhi kebutuhannya agar tidak timbul perselisihan.

Sehingga apabila peraturan muncul dari ideologi yang bersumber dari manusia akan selalu menghasilkan peraturan yang saling bertentangan, yang mendatangkan kesengsaraan bagi manusia. Karena itu, ideologi atau mabda yang muncul dari benak seseorang adalah mabda atau ideologi yang salah, baik dilihat dari segi akidahnya maupun peraturan yang lahir dari akidah tersebut. Masih menurut An-Nabhani bahwa apabila kita telusuri di dunia ini, akan ditemukan tiga mabda (ideologi) saja. Yaitu Kapitalisme, Sosialisme termasuk Komunisme, dan Islam. 

Untuk dua mabda terakhir yang disebut yaitu sosialisme dan islam hampir tidak diemban oleh satu negara manapun. Kalaupun ada negara yang mengaku mengemban ideologi sosialisme, namun itu sebenarnya merupakan hasil dari pembaharuan ideologi sosialisme sebelumnya, atau percampuran antara ideologi sosialisme dan sekulerisme. Sedangkan Islam saat sekarang ini hanya diemban oleh individu-individu di dalam masyarakat dan mabda ini tetap ada di seluruh penjuru dunia.

Maka dari itu, Hafidz Abdurrahman (2019) menyatakan Barat telah meraih kemenangan dengan proyek Orientalisme dan menyebabkan runtuhnya payung dunia Islam, yaitu Khilafah Islam, di Turki tanggal 3 Maret 1924 M, serta memisahkan islam dari kehidupan umat islam. Akibatnya, umat Islam terpuruk dan belum mengalami kebangkitan hingga saat ini. Di berbagai negeri-negeri kaum muslimin pun akhirnya menerapkan ideologi sekulerisme. Karena memang sebenarnya proyek orientalisme barat merupakan pancaran dari ideologi sekulerisme.

Oleh karena itu pula pada tahun 1948 hingga 1953, Syaikh Taqiyuddin menawarkan ide mendirikan partai politik yang berasaskan Islam dengan tujuan untuk membangkitkan kaum Muslim dan mengembalikan kemuliaan dan kekuataannya dengan ideologi islam. Beliau pun menawarkan berbagai problem politik dan solusinya dengan peraturan islam termasuk urusan pada bidang lainnya. Beliau juga mengkritik sistem politik yang dijalankan oleh bangsa Arab dan negeri-negeri muslim saat ini, membongkar rencana politik negara-negara Barat, serta mengungkap tujuan jahat mereka terhadap Islam dan kaum Muslim. Termasuk mengkritik ideologi Sekulerisme-Kapitalis maupun ideologi Sosialisme-komunisme.

Pada sisi lain, pembahasan tentang hadharah dan madaniyah, dalam kitab Nizhomul Islam, bisa dikatakan sebagai pelengkap dari penjelasan terhadap suatu ideologi. Bahkan, dua pembahasan ini merupakan pembahasan baru, yang belum pernah dirumuskan oleh pemikir sebelumnya, sebelum al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Kritik yang sangat tajam terhadap Kapitalisme dan Sosialisme juga beliau tuangkan dalam kitabnya, an-Nidzam al–Iqtishadi, tepatnya pada Muqaddimah. 

Pondasi kedua ideologi tersebut, dan juga pandangan ekonomi yang menjadi pilar penting kedua ideologi ini benar-benar berhasil diruntuhkan. Dalam buku yang sama, beliau juga berhasil merumuskan sistem ekonomi Islam yang khas, yang berbeda sama sekali dengan Kapitalisme maupun Sosialisme. (Hafidz Abdurrahman, 2019)

Bila kita kembali pada kekisruhan RUU HIP, maka sejatinya setiap peraturan yang muncul untuk mengatur urusan hidup manusia berangkat dari suatu ideologi tertentu. Dan saat ini Indonesia menganut ideologi Sekulerisme-Kapitalis, yaitu memisahkan urusan agama dan negara. Agama cukup mengatur urusan pribadi individu-individunya. Dan wajar juga apabila kita katakan ada ideologi Sosialisme mau bangkit kembali di saat terguncangnya ideologi Kapitalis di tengah-tengah munculnya pandemi wabah dan pertumbuhan ekonomi yang negatif telah melanda hampir di seluruh dunia. 

Sedangkan RUU HIP sendiri berupaya untuk mengatur dan memberikan standar aturan kepada masyarakat Indonesia dengan apa yang dimaksud sebagai masyarakat pancasila. Dan apabila itu terjadi bisa ada kecenderungan berikutnya yaitu Pancasila akan dapat berpotensi menjadi alat gebuk. Sebagai Alat politik untuk membungkam lawan-lawan politik dari pemerintah. Termasuk membungkam atas bangkitnya ideologi islam yang dianggap sebagai ancaman dibalik istilah Khilafatisme dan “politisasi agama”. 

Lantas bagaimana peluang islam sebagai ideologi untuk mengambil peran dalam perubahan? Termasuk peran dalam mengatur dan memberikan aturan kepada masyarakat Indonesia? Dalam rangka menjawab berbagai tuduhan negatif yang telah dilontarkan sekaligus membuktikan bahwa memang hanya islamlah solusi dan aturan atas berbagai kehidupan manusia, hanya umat islam sendiri yang mampu menjawabnya dan mengambil peran perubahan tersebut dan bukan menjadi tanggung jawab pada kelompok tertentu saja. 

Wallahu’alam


Oleh Wandra Irvandi, S. Pd. M. Sc.

Posting Komentar untuk "Apakah Ada Pertarungan Ideologi dibalik RUU HIP?"