Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kepala Sosialis, Perut Kapitalis


Saya teringat seloroh Dosen saya tentang betapa sejahteranya 2 ideologi dalam dirinya. Ia seorang Muslim. Tapi soal pemikiran lain lagi. Bagian tubuh saya dari dada ke atas adalah sosialisme katanya sambil tertawa. Nah, bagian perut ke bawah jatahnya Kapitalisme timpalnya.

Saya paham maksudnya. Soal pemikiran, ia memang cenderung kiri. Kiri dalam artian memberontak atas kemapanan, pro gaya revolusi untuk meraih  perubahan dan selalu menggugat keserakahan para Kapitalis. Maklum, darah juang mengalir di pembuluh darahnya. Sebagai mantan aktivis mahasiswa 98 yang terjun langsung melengserkan Soeharto. Kala itu ideologi kiri seperti mendapat angin segar ditengah arus tuntutan perubahan dan kebebasan.

Namun untuk urusan hajat hidup, itu lain hal. Ia lebih pragmatis. Bagian tubuh dari Perut ke bawah beraliran Kapitalisme. Lebih mensejahterakan  dan "menyenangkan" dalihnya sambil terkekeh.

Saya yang waktu itu Aktivis Rohis Kampus sering terpancing untuk melancarkan agresi. Ini kesempatan untuk menjalankan perang pemikiran, saya membatin. Melihat musuh ideologi menari-nari di depan mata tak tahan rasanya untuk tidak menarik pelatuk bedil argumentasi.

Saya muntahkan peluru argumentasi dan dalil tentang rapuhnya ideologi Kapitalisme dan Sosialisme dihadapan Ideologi Islam. Hanya jangan bayangkan suasana debat kami seperti aksi anarkis penuh serapah. Yang ada hanya silih bergilir bicara sambil ketawa ketiwi. Nyentil tapi tidak dibawa ke hati.

Salutnya Dosen saya ini dengan sabar mendengar sambil manggut-manggut walau argumentasi saya kadang mengeras. Tampaknya Ia memaklumi gelegak darah muda didepannya. Barangkali itulah cerminan dirinya di tahun 98.

Debat seputar ideologi terus saya alami. Diskusi bersama dosen, teman kuliah, teman ngaji atau siapapun yang bisa diajak diskusi. Dari kamar, ruang kelas, masjid, aula kampus, hingga jalanan. Lewat mediapun saya lakoni. 

Menyebar buletin dakwah, tempel poster nasehat cukup sering saya lakukan. Berkuliah dimasa 2005 an adalah masa SMSan. Perang opini tidak mewujud ke perang SMS. Walau SMSan juga dipakai untuk menyebar wacana. Tapi tidak bisa panjang-panjang. Sebatas 160 karakter saja.

Sekarang, Perang 3 ideologi terbuka di berbagai platform media sosial. Saya masih setia dengan pegangan saya. Ideologi Islam.
Dan tentu saya masih bertemu di medan perang tersebut ide-ide Kapitalis dan Sosialis. Dan mereka bermetamorfosa dengan aneka ragam wujud dan kreativitasnya. 

Dari yang soft sampai yang paling sadis. Buat artikel hingga sekedar menghujat lewat tweet. Meme bertebaran, poster menyebar dari WAG sampai IG dan FB. Channel youtube dan iklan FB ads tak ketinggalan. Dari yang asal njeplak sampai yang intelek turut meramaikan komentar peperangan 3 ideologi.

Uniknya, di Indonesia rata-rata tentara perang ideologi Kapitalis dan Sosialis adalah Muslim. Meski berkeyakinan Islam,  banyak yang pemikirannya cenderung pada kapitalisme ataupun sosialisme. Keislaman tidak otomatis menjadikan nilai dan prinsip Islam sebagai ideologi mereka. Sementara untuk urusan perut dan syahwat, kapitalisme adalah pilihan menggiurkan. 

Meski lazim terjadi saat ini, perpaduan ideologi dalam diri satu orang harusnya tidak terjadi. Sebab ketiga ideologi tersebut berbeda dan berseberangan. Jika itu terjadi pada diri anda, atau saudara anda, atau teman anda, maka segeralah periksa pemikiran anda atau mereka. Jika tidak ingin menjadi gila akibat benturan keras di dalam kepala. Dan menangkanlah ideologi yang sesuai dengan fitrah anda sebagai manusia. Yakni Islam. 

B. Nawan (Pemerhati Sosial dan Politik) 

Posting Komentar untuk "Kepala Sosialis, Perut Kapitalis"