New Normal Life Demi Ekonomi Rakyat ?
Ditulis oleh: Yogi Pratama*
*Aktivis Gema Pembenasan Kalbar
Dulu ketika wabah covid-19 mulai masuk ke
Indonesia, sebagian masyarakat dan salah satu parpol besar menyeru untuk
diterapkannya UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Seruan ini
didasarkan atas semakin masifnya penyebaran wabah covid-19 baik di Indonesia
maupun di negara-negaralainnya. Sebagaimana dilansir dalam Merdeka.com
(24/03/2020). Namun, pemerintah dengan dalih agar perekonomian rakyat tidak
anjlok, maka disahkanlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21Tahun 2020 tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kenyataanya, ekonomi rakyat tetap anjlok.
Bahkan lebih parah lagi, terjadi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
dimana-mana.
Sekarang, pemerintah telah bertahap
menerapkan tatanan kehidupan baru atau yang ngetren di dunia saat ini dengan
istilah "New Normal Life". Dengan dalih yang sama yaitu salah satunya
ingin mengembalikan geliat perekonomian rakyat, agar tidak terjadi krisis
ekonomi sebagai dampak dari pandemi. Masalahnya, dikala PSBB dan masifnya
kampanye social distance dan physical distance, kurva sebaran wabah masih
menanjak di angka 700 kasus baru. Dari jumlah itu yang terkonfirmasi positif
berjumlah 26.473 jiwa per 31 Mei 2020 atau sebelum diterapkannya new normal life
tanggal 1 Juni 2020 di beberapa daerah (sumber: BNPB, 31/05/2020).
Ini mengindikasikan bahwasanya pemerintah
lepas tanggung jawab terhadap masalah kesehatan, ekonomi dan nyawa masyarakat.
Dengan menerapkan new normal life di kala kurva sebaran masih menanjak pesat
(tidak adanya indikasi melandai ataupun turun) berarti pemerintah mengabaikan
himbauan badan kesehatan dunia (WHO). Salah satu syarat negara boleh menerapkan
new normal life yaitu sudah terkendalikannya penyebaran wabah.
Dari data diatas, wabah masih jauh dari
kata terkendali, bukan? Belum lagi tingkat kematian akibat wabah ini mencapai
angka 1.613 jiwa per 31 Mei 2020 (BNPB, 31/05/2020). Logikanya, dikala tagar
#dirumahaja kita dapati angka sebaran dan korban jiwa yang kian melonjak.
Apalagi di kala dibukanya tempat industri komersil seperti home industry, pasar,
perkantoran, mall dan tempat rekreasi. Belum lagi ada wacana pembukaan sekolah
oleh Kemendikbud. Ini jelas akan menimbulkan claster penyebaran baru lagi jika
tidak diperhitungkan secara cermat. Lantas, apakah menurut pemerintah
memperbaiki perekonomian lebih utama dari pada 2000-an lebih nyawa rakyat yang
sudah terenggut asbab wabah? Ini berpotensi pertambahan kasus pasca meratanya
penerapan new normal life kelak.
Sekedar berkaca pada negara adidaya yang
mengendalikan kurs mata uang dan perekonomian dunia saat ini serta
negara-negara yang memiliki perekonomian yang lebih baik dari Indonesia,
ternyata ambruk juga diterjang wabah. Bahkan jumlah korbannya menjadi yang terbanyak
di dunia, melebihi negara yang memiliki perekonomian yang rendah. Dilansir dari
Kompas.com bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang paling banyak
terkonfirmasi positif covid-19 dan jumlah kematiannya. Diikuti oleh negara
besar lainnya yaitu Brazil, Rusia, Inggris, Spanyol dan lain-lain.
Jika dampak wabah yang menjadi masalah
terbesar adalah perekonomian, lantas apa yang menyebabkan negara dengan
perekonomian baik justru lebih rentan jumlah kematiannya? Lantas perekonomian
siapa yang ingin diperbaiki oleh pemerintah dengan manuver new normal life ? Rakyat,
pemerintah atau para kapitalis?
Perlu diketahui, pemerintah baru-baru ini
telah menggolkan UU Nomor 3 tahun 2020 tentang pertambangan mineral dan
batubara (UU Minerba) dan secara resmi sudah diteken oleh RI-1 (cnbcindonesia,
17/06/2020). Ini semakin menambah cengkeraman para pelaku kapitalis atas SDA
dan perekonomian negara, khususnya dibidang pertambangan. Melalui UU ini, kita
dipertontonkan bahwasanya perekonomian siapa yang akan diuntungkan pemerintah
melalui new normal life ini.
Tidak dipungkiri, bahwa para pelaku
kapitalis perlu SDM untuk menggerakkan proyek imprealis mereka di negeri
ini.Tanpa para pekerja, industri akan mandeg dan produksi mereka akan terhenti.
Maka dari itu, pemerintah membebaskan masyarakat untuk bekerja lagi, salah
satunya untuk membantu industri-industri para kapitalis agar perekonomiannya
tetap bertahan. Dari sini kita dapat menilai, bahwa ada pihak yang menuai
keuntungan. Sementara itu, nyawa rakyat dipertaruhkan demi perekonomian yang
notabennya perekonomian itu bisa diperbaiki kapan saja, jika kesehatan dan
keselamatan masyarakt lebih terjamin.
Hingga per 21 Juni 2020, pasca
diterapkannya new normal life di berbagai daerah, tidak kita dapatkan perbaikan
perekonomian seperti apa yang pemerintah maksud. Malahan faktanya dilapangan
kita dapati tempat-tempat umum seperti pasar, mall dan tempat pariwisata
semakin ramai, seakan-akan wabah ini telah usai. Belum lagi pembagian BLT yang
ricuh dimana-mana akibat tidak merata dan tidak tepat sasaran, yang
mengakibatkan kecemburuan sosial antar masyarakat terhadap kinerja perangkat
desa.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme,
masyarakat hanyalah dijadikan sebagai objek komersil para elit kapitalis. Hal
ini senada dengan tujuan ekonomi kapitalisme itu sendiri yaitu mencapai profit
(keuntungan) sebanyak mungkin. Tidak perduli ditempuh dengan cara halal atau
haram. Kapitalis mengorbankan apa pun demi keuntungan semata. Inilah kelemahan
dan kebobrokan sistem kapitalisme dalam mengatasi kesehatan, ekonomi dan nyawa
masyarakat di kala wabah.
Berbeda halnya dengan cara Islam dalam
mengentaskan problem kesehatan, ekonomi dan memberikan perlindungan nyawa umat
dikala wabah. Dalam Islam, seorang pemimpin daulah/negara memposisikan dirinya
sebagai Raa’in (pengurus/pelayan) sekaligus Junnah (pelindung) bagi umat.
Seorang pemimpin dalam Islam lebih mengutamakan Hifdzul Nafs (nyawa) umat
dibandingkan apa pun.
Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya
Islam sebagai agama dan Ideologi, sebagaimana Islam mengatur segala hal dan
memberikan solusi atas permasalahan. Islam telah lebih dulu mencetuskan konsep
karantina wilayah atau sekarang yang disebut dengan istilah lockdown.
Pada masa kekhalifahan Umar bin
Al-Khaththab pernah terjadi wabah penyakit menular. Ketika itu Khalifah Umar
pernah keluar untuk melakukan perjalanan menuju Kota Syam. Ketika sampai ke
suatu wilayah yang bernama Sargh, beliau mendapati kabar terjadinya wabah di
wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengabari Khalifah Umar bahwa
Rasulullah SAW pernah bersabda dalam hadits riwayat Al Bukhari yang berbunyi, “Jika
kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki
wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah
kalian meninggalkan tempat itu.”(Buletin Kaffah No. 127, 7/2/2020).
Di Indonesia juga memiliki UU Kekarantinaan
Wilayah sebagaimana yang sudah diungkap diatas. Namun masalahnya pemerintah
tidak sanggup menerapkan UU tersebut karena ketidakmampuan ekonomi negara untuk
menanggung segala kebutuhan masyarakat. Ini dibuktikan dengan pemerintah
membuka rekening donasi melalui Kementerian Keuangan. Sri Mulyani mengatakan, “Ini
akan diumumkan ditjen perbendaharaan (kemenkeu) sebagai account masyarakat yang
ingin membantu dan lansung dikelola oleh BNPB” (republika.co.id, 26/03/2020).
Bayangkan, donasi ini dibuka untuk membantu pasokan APD para pahlawan medis.
Negara saja belum mampu memenuhi kebutuhan perlengkapan medis, apalagi memenuhi
kebutuhan Rakyat Indonesia dikala Karantina.
Islam mampu menerapkan konsep kekarantinaan
wilayah sekaligus memenuhi kebutuhan pokok dan kesehatan umat dikala
diterapkannya karantina. Pertanyaannya, mengapa sistem ekonomi Islam mampu
memenuhinya ?
Pertama, karena dalam Ideologi Islam, peran
negara itu wajib hukumnyauntuk memenuhi kebutuhan seluruh umat seperti
pemenuhan gizi yang wajib diperhatikan pada warga yang sehat. Untuk warga yang
terjangkit wabah, Islam memberikan perawatan kesehatan yang gratis, dengan
fasilitas yang terbaik tanpa membedakan warga satu dan yang lainnya hingga
sembuh tentunya.
Kedua, karena Islam lebih mementingkan
nyawa ketimbang apa pun. Jangan ditanya perekonomian Islam berasal darimana
hingga sanggup menjamin kebutuhan seluruh umat. Karena dalam sistem Islam
kepemilikan itu dibagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu (harata
kekayaan), kepemilikan negara (baitu maal) dan kepemilikan umum (SDA).Maka
sumber kepemilikan umum inilah yang dioptimalkan pemanfaatannya. Tidak boleh
dikuasai oleh individu, swasta atau negara. Namun wajib bagi negara untuk
mengelolanya dan hasilnya dikembalikan ke umat dalam bentuk subsidi terhadap
seluruh kebutuhan umat termasuk kesehatan umat. Sebagaimana Sabda Rasulullah
SAW, “Umat/manusia berserikat atas tiga hal yaitu air, padang rerumputan dan
api” (HR. Abu Dawud).
Coba bayangkan, jika SDA di negeri ini
dikelola dengan baik oleh negara seutuhnya, maka Insya Allah dalam musibah
seperti saat ini pemerintah tidak akan dipusingkan dengan masalah kesehatan dan
ekonomi rakyat. Karena sudah siap menghadapi musibah dari segi apapun hingga
tuntas. Dan ingat, semua ini hanya akan terwujud ketika Islam diterapkan di
seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam naungan Khilafah
Islamiyah.
Allahu ‘alam.
Posting Komentar untuk "New Normal Life Demi Ekonomi Rakyat ?"