Sikap Khilafah dan Umat Islam Terhadap Non Muslim
Oleh Wandra Irvandi, S. Pd. M. Sc.
Berbagai fitnah yang datang ditujukan kepada sistem khilafah
sudah sejak dulu. Diantaranya adalah Khilafah dianggap berbahaya dan mengancam
keberadaan Non-muslim. Dari opini negatif ini akhirnya banyak umat islam dan
masyarakat yang gagal paham terhadap khilafah khususnya non-muslim. Bahkan
akhirnya menimbulkan sikap persekusi dan fitnah terhadap pejuang Khilafah dan
membenci Khilafah sebagai sistem politik. Lantas bagaimana sikap Khilafah
terhadap keberadaan orang-orang non-muslim?
Dari sudut pandang kemasyarakatan, islam memandang semua
warga negara sebagai manusia tanpa membedakan etnik, ras, maupun suku.
Hasilnya, mereka akan di anggap warga negara Khilafah, tinggal didalam
wilayahnya dan melaksanakan aturan-aturan yang diterapkan. Secara umum aturan tersebut
akan diterapkan kepada semuanya tanpa diskriminasi.
Negara Khilafah juga wajib melindungi semua warga negaranya
tanpa terkecuali, mengelola urusan mereka, dan memberikan hak-hak kepada muslim
maupun non-muslim, terutama dalam kebutuhan yang pokok harus dipenuhi dan
termasuk diantaranya adalah pendidikan, kesehatan dan keamanan. Semua diberikan
dengan harga yang murah bahkan gratis. Aturan ini berlaku secara umum untuk
kehidupan publik. Termasuk apabila ada diantara non-muslim yang mungkin miskin
dan kekurangan harta maka kebutuhan pokok mereka di tanggung oleh negara secara
cuma-cuma.
Sedangkan dalam kehidupan private, maka non-muslim diberikan
kebebasan untuk menjalankan agama, ibadah dan kepercayaannya masing-masing. Dan
mereka tidak akan dipaksa untuk memeluk agama islam. Negara tidak akan campur
tangan dalam urusan akidah dan peribadahan non-muslim. Dalam hal ini status
mereka sebagai kafir dzimmi (ahlu dzimmah) dan tidak akan pernah dipaksa
meninggalkan agama mereka.
Mereka hanya diwajibkan membayar jizyah. Jizyah itu sendiri
adalah pungutan yang dikenakan secara bertingkat sesuai dengan tingkat
kesejahteraannya. Dengan pemungutan jizyah tersebut negara bertanggung jawab
atas keamanan, kehidupan, harta, keyakinan, dan kehormatan warga negara
non-muslim (kafir dzimmi). Mereka tidak dipungut biaya-biaya lain, kecuali jika
hal itu merupakan syarat yang disebut dalam perjanjian.
Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair:
وَكَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ: وَمَنْ كَانَ عَلَى يَهُودِيَّتِهِأَوْ
نَصْرَانِيَّتِهِ فَإِنَّهُ لاَ يُفْتَنُ عَنْهَا، وَعَلَيْهِ الْجِزْيَة
Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Yaman:
“Siapa saja yang tetap memeluk agama Nasrani dan Yahudi, mereka tidak akan
dipaksa untuk keluar dari agamanya. Mereka hanya wajib membayar jizyah.” (HR
Abu ‘Ubaid).
Ketentuan ini juga berlaku bagi orang musyrik. Dari Hasan
bin Muhammad bin ‘Ali bin Abi Thalib berkata:
كَتَبَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِلَى مَجُوسِ هَجَرَ
يَدْعُوهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ فَمَنْ أَسْلَمَ قُبِلَ مِنْهُ، وَمَنْ لاَ ضُرِبَتْ
عَلَيْهِ الْجِزْيَةُ فِي أَنْ لاَ تُؤْكَلَ لَهُ ذَبِيحَةٌ وَلاَ تُنْكَحَ لَهُ امْرَأَةٌ
Rasulullah saw. pernah mengirim surat kepada Majuzi Hajar.
Beliau mengajak mereka masuk Islam. Siapa saja yang memeluk Islam, diterima.
Jika tidak, dipungut atas dia jizyah. Sembelihannya tidak boleh dimakan dan
wanita-wanitanya tidak boleh dinikahi (HR Abu ‘Ubaid).
Jizyah juga hanya dikenakan atas laki-laki yang telah balig.
Jizyah juga tidak dipungut dari orang-orang yang miskin, lemah dan membutuhkan
sedekah.
Dari Nafi’ dari Aslam Maula ‘Umar:
أَنَّ عُمَرَ كَتَبَ إِلَى أُمَرَاءِ الأَجْنَادِ: أَنْ يَضْرِبُوا
الْجِزْيَةَ، وَلا يَضْرِبُوهَا عَلَى النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ وَلا يَضْرِبُوهَا
إِلا عَلَى مَنْ جَرَتْ عَلَيْهِ الْمُوسَى
Umar pernah menulis surat kepada para pemimpin pasukan agar
mereka memungut jizyah. Mereka tidak boleh memungut jizyah dari wanita dan anak
kecil. Mereka juga tidak diperkenankan memungut jizyah kecuali atas orang yang
telah tumbuh mawasi (pubis)-nya.”
Lebih dari itu, negara Khilafah tidak mengenal adanya
istilah minoritas untuk menyebut kalangan non-muslim atau siapapun. Islam telah
mengenalkan konsep “ahlu adz-dzimmah”. Kata dzimmah berarti “menanggung
keamanan’ sebagaimana terdapat dalam hadis Sunan Abu Dawud “Orang (muslim )
yang paling rendah boleh menanggung keamanan (seorang kafir) atas nama kaum
Muslim”. Dalam kamus Lisanul Arab kata dzimmah bisa juga didefinisikan sebagai
perjanjian, perlindungan, jaminan, kesucian dan kewajiban.
Apabila ada pelanggaran hak kepada ahlu dzimmah, maka mereka
dapat mengadukan hal tersebut kepada hakim dan penguasa. Bahkan apabila ada
kezaliman yang dilakukan penguasa kepada mereka maka dapat dilaporkan kepada
Mahkamah Madzalim sebagai lembaga yang berfungsi untuk menyelesaikan kezaliman
yang terjadi antara penguasa terhadap rakyatnya.
Oleh karena itu ahlu dzimmah dalam wilayah negara islam
dapat memilih wakil-wakilnya untuk duduk sebagai anggota Majelis Umat yang
memiliki hak untuk menyampaikan persoalan-persoalan yang terkait dengan
penerapan hukum islam atas mereka. Mereka juga berhak untuk menduduki dan
memiliki jabatan di beberapa tempat yang memang dibolehkan oleh syariah.
Beberapa jabatan yang dapat diduduki oleh non-muslim adalah
jabatan administratif atau jabatan non-pemerintahan (kekuasaan). Karena jabatan
ini tidak membuat keputusan dan tidak untuk menjalankan hukum, tapi lebih
bersifat terknis atau pelaksanaan. Seperti kepala departemen, bidang, biro,
sekretaris dan sebagainya. Namun ada juga jabatan-jabatan yang tidak termasuk
pemerintahan namun tetap tidak boleh bagi non-muslim, misalnya pada lembaga
peradilan, ketentaraan, dan kepolisian.
Dalam hal ini, orang non-muslim tidak dibenarkan menjadi
hakim (qadhi). Ini adalah pendapat jumhur ahli fikih, kecuali Imam Abu Hanifah
yang membolehkan non-muslim menjadi hakim, namun hanya mengadili kasus orang
yang seagama, itupun jika kasusnya terkait dengan agamanya, misalnya yang
berkaitan dengan pernikahan dan perceraian di antara mereka.
Sedangkan posisi panglima tentara, kepala polisi, dan ketua
majelis umat tidak boleh dijabat oleh non-muslim. Meski mereka boleh menjadi
tentara, polisi dan anggota majelis umat. Bahkan mereka tidak akan dipaksa
untuk ikut berperang, tapi sebaliknya bagi setiap muslim laki-laki wajib untuk
beperang ketika diperintah oleh Kholifah. Bahkan khilafah akan melindungi dan
menjaga non-muslim (ahlu dzimmah) apabila ada yang mau menyerang dan mengancam
mereka.
Bagi umat islam sendiri secara individu juga diperintahkan
untuk berbuat baik kepada mereka. Rasulullah saw menyatakan dalam banyak hadis,
bahwa siapa menyakiti kafir dzimmi tak ubahnya menyakiti kaum Muslim.
Diriwayatkan Al-Khathib dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah
saw. pernah bersabda:
مَنْ اَذَى ذِمِّيًا فَأَناَ خَصَمَه يَوْمَ القِيَامَةِ، وَمَنْ
خَاصَمْتُه خَصَمْتُه
“Siapa saja yang menyakiti dzimmi maka aku berperkara dengan
dia. Siapa saja yang berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakan dia
pada Hari Kiamat” (Imam al-Jalil Abu Zahrah, Zuhrat at-Tafasir, 1/1802. Lihat
juga: Fath al-Kabir, 6/48; hadis nomor 20038 [hadis hasan]).
Islam juga mengajarkan jangan sampai membiarkan tetangganya
dalam kelaparan. Tetangga yang dimaksud siapa saja baik muslim maupun
non-muslim.
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائْعٌ
إِلٰى جَنْبِهِ
“Tidaklah mukmin, orang yang kenyang sementara tetangganya
lapar sampai ke lambungnya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam
Al-Adab Al-Mufrad. Al-Hakim menilai, hadis itu sanadnya sahih.
Ada dua kesalahan fatal yang dilakukan orang yang kenyang
tersebut sehingga dicela oleh Rasulullah dalam hadis ini. Pertama, ia tidak
peduli terhadap orang lapar, sedangkan ia bisa merasakan kenyang dan mampu
berbagi makanan. Kedua, ia tidak peduli dengan tetangganya. Orang paling dekat
rumahnya dengan dirinya. Seharusnya, dialah orang pertama mengetahui keadaan
tetangganya sehari-hari.
Islam juga melarang umatnya melakukan pembunuhan tanpa
alasan yang haq (dibenarkan) termasuk kepada non-muslim.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي
الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
“Sesungguhnya barang siapa yang membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya”.[Al-Mâidah [5] :32]
Bahkan kepada non-muslim yang bukan ahlu dzimmah namun
merupakan bagian dari “al-musta’minû” yaitu mereka non-muslim yang memiliki hak
mendapatkan perlindungan dari kaum Muslimin dalam waktu dan tempat yang telah
ditentukan.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ
حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ
“Dan jika salah seorang kaum musyirikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman
Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya” [At-Taubah [9] :6]
Termasuk juga non-muslim yang terikat perjanjian dengan kaum
muslimin yaitu bagian dari “al-mu’âhad”, maka bagi mereka berhak mendapatkan
pelaksanaan perjanjian dari umat islam dalam waktu yang sudah disepakati,
selama mereka tetap berpegang pada janji mereka tanpa menyalahinya sedikitpun,
tidak membantu musuh untuk menyerang umat islam serta tidak mencela agama
islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ
لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ
عَهْدَهُمْ إِلَىٰ مُدَّتِهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“Kecuali orang-orang musyirikin yang kamu mengadakan
perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi
perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu,
maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa” [At-Taubah [9] :4]
Termasuk kedudukan non-Muslim yang wajib dijaga di dalam
Daulah Islam telah diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya,
“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang
mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang hak, maka ia tidak akan mencium
wangi syurga, walaupun dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun” [HR
Ahmad].
Dengan melakukan kajian atas peraturan Islam terhadap kaum
non-Muslim, kita dapat melihat bahwa Negara Khilafah bukanlah sesuatu yang
perlu ditakuti oleh kaum non-Muslim. Khilafah adalah sebuah negara yang akan
membawa mereka keluar dari kegelapan dan penindasan sistem kapitalis, menuju
cahaya dan keadilan Islam. Dan menjadikan rahmat islam atas mereka.
Termasuk juga sikap umat islam sendiri kepada non-muslim,
yang diantaranya ada ahlu dzimmi, almusta’min dan almu’ahad. Wajib menjaga
hubungan dengan mereka dan memberikan hak-hak yang memang sudah ditetapkan atas
mereka.
Perlakuan Khilafah dan umat islam kepada kaum non-Muslim
semacam inilah yang kemudian membuat banyak orang memeluk agama Islam. Pada
masa lalu jumlah orang yang pindah agama sangat besar sekali hingga akhirnya
seluruh suku di Jazirah Arab memeluk Islam. Para penguasa negara pada masa lalu
pun banyak yang menulis surat kepada Khalifah agar menerapkan Islam atas
mereka.
Inilah sebabnya mengapa orang Kristen Ashsham berperang di
sisi umat Islam dalam menghadapi serangan Tentara Salib Eropa yang hendak
menyerang negara mereka. Di India pada 1920M, bahkan banyak umat Hindu yang
bergabung dengan gerakan Khilafah yang mencoba mengembalikan tegaknya Negara
Khilafah.
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (1) وَرَأَيْتَ النَّاسَ
يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (2) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ
إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (3)
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan
kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Penerima taubat. (TQS. an-Nashr [110]: 1-3)
Wallahu’alam.[]
Posting Komentar untuk "Sikap Khilafah dan Umat Islam Terhadap Non Muslim"