Drama ReShuffle atau Kenyataan Re-Republic?
Di tengah politik elektoral saat ini, kedudukan seseorang pada posisi jabatannya sangat sarat dengan kepentingan-kepentingan. Belum lagi transaksi bagi-bagi kekuasaan adalah perkara yang biasa pada sistem republic democracy. Baru-baru ini juga isu reshuffle kembali muncul di tengah perjalanan pemerintahan.
Menurut hemat penulis ada beberapa analisa kenapa isu reshuffle ini diangkat. Diantaranya adalah untuk mengakomodasi perubahan peta politik, atau pengalihan isu terhadap kinerja pemerintah lebih khusus kepada isu RUU HIP, atau memang untuk meningkatkan kinerja kementrian yang memang terpukul karena pandemi.
Isu reshuffle sendiri muncul saat rapat kabinet pada 18 Juni 2020--yang videonya dirilis secara resmi 10 hari kemudian. Saat itu Jokowi mengatakan mungkin saja ada perombakan kabinet karena pada masa krisis COVID-19 seperti sekarang "enggak ada progres yang signifikan" dari masing-masing kementerian. (tirto.id, 7/7/2020). Isu reshuffle ini akhirnya menghilangkan pembahasan RUU HIP, dan tidak perlu lagi dilanjutkan pembahasan. Dan para pengusul RUU HIP pun terselamatkan dari isu hukum.
Apabila kita merujuk kepada definisi sederhana reshuffle adalah perubahan susunan. Artinya pergantian kabinet yang ada hanya berubah pada susunan, bisa terjadi perubahan dengan adanya perpindahan antar kementrian atau digantinya orang lama dengan orang baru. Mudahnya pergantian akan membuat program-program juga dapat berubah dalam waktu singkat, apalagi setiap kementrian punya kewenangan melakukan perubahan dan kebijakan baru, bahkan sampai ada istilah “ganti menteri ganti kebijakan”. Maka benarkah reshuffle semata-mata untuk perbaikan kinerja atau sebatas pada kepentingan elektoral saja?.
Terkait perubahan peta politik sangat dapat dipastikan tidak ada perubahan yang berarti, walaupun peluang akan selalu ada. Karena hampir seluruh elemen mesin politik sudah bergabung kepada penguatan kekuasaan dan pemerintahan. Yang tersisa adalah individu para aktivis yang memiliki pemahaman dan kesadaran akan perubahan. Namun perubahan seperti apa yang diinginkan?
Perubahan hakiki dan mendasar telah dilakukan di masa kegelapan Eropa dengan munculnya sistem republic-democracy. Alih-alih republic-democracy menjadi harapan, justru malah semakin mengokohkan kekuasaan rezim tertentu dengan oligarki kekuasaan dan tunduk pada cengkeraman asing dalam menghisap sumber daya alam negeri.
Republic sendiri secara sederhana adalah suatu sistem politik yang kekuatan tertinggi ada pada rakyat yang merepresentasikan suara pemilih terbanyak dalam berbagai keputusan dan kebijakan. Namun ketika tidak lagi menjadi solusi atas perubahan justru terjadi masalah dan kerusakan baru. Jadi wajar saja muncul pemikiran akan adanya perombakan total terhadap perubahan yang asasi, atau kita sebut dengan re-republic (baca : bukan republic). Berarti perubahan pada sistem politik bukan sekedar reshuffle.
Menurut M.M. Ramadhan (2005) dalam melakukan aktivitas perubahan, seseorang akan dilandasi oleh suatu kesadaran. Kesadaran tersebut berlandaskan kepada pemikiran (al-wa’yu al-fikry) yang menjadi faktor utama. Pemikiran untuk melakukan perubahan adalah dengan memahami bahwa dalam kehidupannya terdapat realita yang rusak atau buruk, atau tidak berjalan sebagaimana mestinya. Agar mendapatkan gambaran dan memahami realita tersebut maka harus ada penginderaan atas kerusakan realita.
Penginderaan suatu realita menjadi syarat dasar terjadinya sebuah proses berfikir (al’amaliyah al-fikriyah), apalagi berfikir akan perubahan. Sehingga mustahil seseorang bisa memahami sebuah realita tanpa adanya penginderaan atas sesuatu atau kesan dan pengaruh dari sesuatu tersebut. Sehingga tatkala kerusakan menjadi sebuah realita, maka ia akan memiliki kesan dan pengaruh yang bisa dirasakan dan diindera.
Namun berbeda penginderaan terhadap benda materil dan penginderaan terhadap sesuatu yang bersifat non-materill seperti kerusakan atau keburukan. Penginderaan kepada sesuatu non-materiil memerlukan pemikiran awal (al-fikr as-sabiq) yang menjadikan seseorang bisa menentuakn tatacara untuk menetapkan status hukumnya, inilah yang disebut sebagai penginderaan berlandaskan kepada pemikiran (al-ihsas al-fikry).
Penginderaan terhadap non-materil setiap orang bisa memiliki penginderaan yang berbeda-beda, karena ada orang yang memiliki pemikiran awal, ada juga yang tidak. Berikutnya juga seseorang ada yang bisa mengindera sebuah kerusakan dengan mudah namun sebagian lain merasa kesulitan. Dengan demikian, manusia akan berbeda-beda pula kemampuannya dalam melakukan penginderaan.
Dari sisi penginderaan yang berlandaskan kepada pemikiran, maka manusia terkategorikan dalam tiga golongan. Pertama, mereka penginderaannya tajam (murhif al-ihsas), yakni mereka yang dapat mengindera kerusakan dan apapun yang menyerupainya dnegan cepat. Kedua, mereka yang penginderaannya normal atau biasa saja (‘adiy al-ihsas) yakni perlu sedikit kerja keras agar bisa menginderanya. Dan ketiga, mereka yang penginderaannya lemah dan lamban (balid al-ihsas), yakni mereka harus mengerahkan segenap daya upaya agar bisa mengindera dengan penginderaan jenis ini.
Berdasarkan hal ini maka kesadaran (al-wa’yu) dan pemikiran awal (al-fikr as-sabiq) menjadi sebuah keharusan untuk mewujudkan penginderaan yang berlandaskan pada pemikiran. Yang selanjutnya sampai pada proses berfikir melakukan perubahan, kemudian aktivtias perubahan. Apabila penginderaan terhadap kerusakan atau sebuah realita itu kuat, maka akan kuat pula aktivitas untuk melakukan perubahan.
Selanjutnya, adanya kesadaran dan pemahaman atas kerusakan atau realita yang rusak tidaklah cukup untuk melakukan aktivitas peubahan. Hal ini harus dibarengi dengan pemahaman atas sebuah realita alternatif yang bisa menjadi pengganti realita yang rusak tersebut. Dan hal ini menjadi bagian kedua. Bagian bertama adalah pemahaman dan kesadaran pada realita yang rusak, dan bagian kedua adalah pemahaman dan kesadaran sebuah realita pengganti dari realita yang rusak tersebut.
Pemahaman dan kesadaran ini dapat juga disebut debagai kesadaran intelektual (al-wa’yu al-fikriy) dengan kedua unsurnya baik realita yang rusak dan realita pengganti. Apabila kesadaran intelektual itu meningkat maka meningkat pula penginderaan terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan pemkiran (al-qadhaya al-fikriyah), menuju kepada penginderaan yang cepat.
Maka dari itu, bagi orang-orang yang merupakan aktivis perubahan harus mampu memahami dan menjelaskan kerusakan realita saat ini sekaligus menjelaskan realitas lain sebagai pengganti realitas yang rusak tersebut dan memaparkan dengan pemaparan yang gamblang dan jelas. Lantas perubahan seperti apa yang ingin kita raih saat ini? Apakah cukup dengan reshuffle? Dapat juga diistilahkan apakah perubahan parsial ataukah perubahan mendasar?
Pada dasarnya yang menentukan apakah perubahan harus parsial atau mendasar adalah fakta atau realita yang sedang dihadapi saat ini. Namun tidak cukup berlandaskan pada fakta, sebagai seorang muslim maka sikap berikutnya adalah mengkaji dalil-dalil syara’ yang berkaitan dengan fakta tersebut dan menetukan hukum yang tepat kepada fakta tersebut.
Perubahan hakiki tentulah perubahan dari asasnya. Dan asaslah yang melahirkan pemikiran serta tingkah laku dan aturan yang mengatur tingkah laku sekaligus menentukan persepsi atas kehidupan ini. Bagi setiap muslim, asas kita adalah aqidah islam. Dengan aqidah inilah menjadi landasan dalam berfikir dan berbuat serta lahirnya berbagai aturan-aturan untuk mengatur segala hal.
Sedangkan dalil syara’ berkaitan dengan fakta adalah dengan merujuk kepada bagaimana Rasulullah saw memulai aktivitas perubahan dengan menjadikan aqidah islam sebagai asas bagi landasan suatu masyarakat, serta memperhatikan pemikiran dan kecenderungan masyarakat kepada islam semata. Inilah yang akhirnya menghasilkan wujudnya sistem politik baru yang tidak pernah ada sebelumnya yaitu Daulah Islam di Madinah. Dengan demikian perubahan yang beliau lakukan adalah perubahan yang mendasar, karena perubahan pada asas.
Perubahan parsial hanya perubahan pada cabang bukan asas. Reshuffle adalah perubahan pada cabang yaitu sekedar mengganti orang atau bertukar posisi jabatan. Padahal fakta saat negeri ini masih menerapkan asas sekulerisme yang darinya lahirlah berbagai macam pemikiran dan tingkah laku serta aturan yang mengatur masyarakat berdasarkan sudut pandang sekulerisme.
Sedangkan realita masyarakat kita hidup bukanlah masyarakat islam, baik dari sisi asas, aturan, perasaan, pemikiran dan hukum yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat bukan bersumber kepada islam. Kalau pun ada hanya bersifat ritual ibadah semata. Artinya perlu perubahan mendasar atau asasi terhadap realitas yang rusak tersebut. Walhasil, apakah kita lanjutkan drama _reshuffle_ nya atau kita akui saja dan hadapi kenyataan akan kerusakan dari sistem republic-democracy ini dan menuju kepada sistem politik pengganti?
Wallahu’alam
Oleh : W.Irvandi
Posting Komentar untuk "Drama ReShuffle atau Kenyataan Re-Republic?"