Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita dalam Walimah
Tanya :
Ustadz, mohon diberi pencerahan secara detail dalil mengenai
pemisahan antara pria dan wanita pada walimahan agar saya bisa menjelaskan
kepada orang tua. (Rahadian Rihadi, bumi Allah).
Jawab :
Pemisahan (infishal) tamu pria dan wanita dalam walimah
wajib hukumnya menurut syariah Islam. Dengan kata lain, dalam walimah haram
hukumnya terjadi ikhtilat (campur baur pria wanita), yakni adanya
pertemuan (ijtima’) dan interaksi antara pria dan wanita di satu tempat. (Sa’id
Al Qahthani, Al Ikhtilath Baina Ar Rijal wa An Nisaa`, hlm. 7)
Wajibnya pemisahan tamu pria dan wanita dalam walimah
didasarkan pada dua alasan, yaitu ;
Pertama, adanya hukum umum yang mewajibkan pemisahan pria
dan wanita, baik dalam kehidupan khusus (seperti di rumah, kos-kosan,
apartemen, kamar hotel, dsb) maupun dalam kehidupan umum (seperti di jalan
raya, pasar, mal, sekolah, kampus, sekolah, pantai, dsb). Hukum umum ini
berlaku untuk segala macam kegiatan dan tempat, seperti shalat jamaah di
masjid, belajar di sekolah, berolahraga di lapangan, rapat di kantor, piknik di
pantai, dan sebagainya. Termasuk keumuman hukum ini adalah walimah di suatu
tempat, misalnya di rumah, gedung, aula, hotel, dan sebagainya. (Taqiyuddin An
Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).
Kedua, tidak terdapat dalil syariah dari Alquran dan As
Sunnah yang mengecualikan walimah dari hukum umum tersebut, yaitu wajibnya
memisahkan tamu pria dan wanita. Dengan kata lain, tidak terdapat dalil syariah
yang membolehkan terjadinya ikhtilat antara pria dan wanita dalam acara
walimah. Maka haram hukumnya terjadi ikhtilat dalam acara walimah. (Taqiyuddin
An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, 1/321-322).
Hukum umum wajibnya pemisahan pria dan wanita tersebut
didasarkan pada sejumlah dalil syariah, di antaranya : (1) Rasulullah SAW telah
memisahkan jamaah pria dan jamaah wanita di masjid ketika shalat jamaah, yaitu
shaf-shaf pria berada di depan, sedangkan shaf-shaf wanita berada di belakang
shaf-shaf pria. (HR Bukhari no 373, dari Anas bin Malik); (2) Rasulullah SAW
memerintahkan para wanita untuk keluar masjid lebih dulu setelah selesai shalat
di masjid, baru kemudian para laki-laki. (HR Bukhari no 828, dari Ummu
Salamah); (3) Rasulullah SAW telah memberikan jadwal kajian Islam yang berbeda
antara jamaah pria dengan jamaah wanita (dilaksanakan pada hari yang berbeda).
(HR Bukhari no 101, dari Abu Said Al Khudri). (Taqiyuddin An Nabhani, An
Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).
Berdasarkan dalil-dalil tersebut dan dalil-dalil lain
semisalnya, dapat disimpulkan sebuah hukum umum, yaitu dalam kehidupan Islam
terdapat kewajiban memisahkan jamaah pria dengan jamaah wanita. Dan pemisahan
ini berlaku secara umum, yaitu tidak ada perbedaan antara kehidupan umum dengan
kehidupan khusus. Maka dari itu, keumuman hukum ini berlaku pula pada kasus
walimah sehingga dalam walimah wajib ada pemisahan tamu pria dan wanita.
(Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).
Hanya saja, hukum umum tersebut dapat dikecualikan jika
terdapat dalil syariah yang mengecualikannya. Dalil ini harus memenuhi dua
kriteria, yaitu : (1) menunjukkan adanya kebutuhan (hajat) yang dibenarkan
syariah, dan (2) pelaksanaan kebutuhan syar’i itu mengharuskan pertemuan pria
dan wanita. Maka jika ada dalil yang memenuhi dua kriteria itu, barulah hukum
umum tersebut berubah, yakni yang semula pria dan wanita wajib terpisah (infishal),
lalu menjadi boleh ada pertemuan (ijtima’) di suatu tempat, baik pertemuan itu
tetap disertai pemisahan (infishal) seperti shalat jamaah di masjid, maupun
disertai ikhtilat (campur baur), seperti pelaksanaan manasik haji dan
jual-beli. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).
Dalam kasus walimah, tidak terdapat dalil yang mengecualikan hukum umum yang
mewajibkan adanya pemisahan antara pria dan wanita. Dengan kata lain, ikhtilat
dalam walimah adalah suatu pelanggaran syariah yang hukumnya haram. (Al
Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 45/242; Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Al Thuruq Al
Hukmiyyah, hlm. 333-335). Wallahu a’lam.[]
Oleh: KH. M Shiddiq Al Jawi
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 163
Posting Komentar untuk "Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita dalam Walimah"