OLIGARKI DAN DINASTI KEKUASAAN PADA SISTEM DEMOKRASI
Diawali zaman kerajaan, raja memiliki kekuasaan dan kedaulatan, artinya raja lah sebagai pembuat hukum dan aturan sekaligus pelaksana aturan tersebut. Kekuasaan yang dimiliki raja berpeluang besar menjadi raja menjadi kekuasaan yang diktator. Sebut saja nama-nama diktator seperti Fir’aun, diktator Romawi Julius Cesar, Raja Kisra penguasa Persia hingga kerajaan-kerajaan di China pada Kaisar Tiongkok berbentuk dinasti kerajaan. Sudah dapat dipastikan bagaimana kesengsaraan akan di alami oleh masyarakat khususnya mereka yang miskin dan tertindas.
Seiring berjalannya waktu, perubahan terjadi di zaman kegelapan Eropa. Kerajaan bekerjasama dengan gerejawan, agar mendapat legalitas formal terhadap apa yang mereka lakukan. Namun , perubahan ini bukannya menghilangkan kediktatoran, justru memunculkan oligarki kekuasaan baru, yaitu kerjasama antara sekelompok orang untuk mendapatkan keuntungan. Dalam hal ini, kaum bangsawan dan gerejawan mendominasi pemerintahan.
Reinaisance pun muncul, merubah bentuk dan sistem politik. Tetapi tetap tidak merubah bentuk oligarki kekuasaan. Kekuasaan oligarki baru dikendalikan oleh kepentingan dari para pemilik modal dan penguasa melalui sistem demokrasi. Sistem demokrasi melahirkan penguasa dan pengusaha membentuk politik kartel dalam meraih keuntungan. Lebih jauh lagi pengusaha berperan menjadi penguasa. Donald Trump salah satu contoh produk nyata, pengusaha yang menjadi penguasa untuk membangun oligarki keuasaan di Amerika Serikat, sekaligus mereguk keuntungan bisnis yang tidak sedikit.
Sebagaimana diberitakan sejak awal pemerintahan Donald Trump tercipta keuntungan besar akan didapatkan oleh perusahaan yang memiliki pasar sebagian besar pasar domestik di Amerika Serikat. Kenaikan daya beli konsumen di AS akan mendorong kinerja perusahaan ketimbang perusahaan bergantung dari pasar luar negeri. Demikian mengutip laman CNN Money (21/1/2017).
Berdasarkan data FactSet Research, setengah dari perusahaan yang masuk indeks S&P 500 mendapatkan penjualan sekitar 70 persen dari AS. Perusahaan itu antara lain AT&T, Verizon, Disney, Comcast, dan Home Depot. Juga Berkshire Hathaway, Starbucks, dan kontraktor Lockheed Martin. Perusahaan lainnya yang ekspansi ke luar negeri dan punya pasar besar di AS juga masih dapat keuntungan, seperti Waltmart, American Express, UPS dan Netflix. (liputan6.com, 21/01/2017).
Apa yang dilakukan Trump? Mengapa peran penting kekuasaan terhadap bisnis atau bagi keuntungan ekonomi? Sebagaimana dinyatakan oleh Joseph Song, ekonom AS dari Bank of America Merrill Lynch melansir CNBC. “Pemotongan pajak Trump harus memberikan keringanan pajak yang lebih besar di daerah pedesaan AS. Di mana, ada lebih banyak pelaku usaha kecil dan menengah yang akan mendapat manfaat dari pemotongan pajak yang menguntungkan.” Kebijakan pemotongan pajak hanya dapat dilakukan oleh seorang penguasa.
Kebijakan pemotongan pajak itu telah membuat keuntungan perusahaan dan kepercayaan pelaku usaha berlipat. Lonjakan laba perusahaan, membuat pasar saham ikut gembira. Indeks Dow Jones Industrial Average (DIJA) menyentuh level 20.000 per saham pada 25 Januari 2017 atau berselang lima hari setelah pelantikan resmi Donald Trump pada 20 Januari 2017. (Tirto.id, 12/11/2018)
Tidak jauh di dalam negeri Indonesia sendiri, istilah-istilah rezim dan dinasti kekuasaan kembali mencuat pasca pemerintahan Soeharto dan SBY. Sebagaimana dilansir dari bbc.com (9/10/2019) bahwa terjadi dinasti politik di pemerintahan Jokowi. Tidak hanya puteranya bahkan hingga menantunya pun ikut bergabung dengan mesin politik partai PDIP. Awalnya PDIP menyatakan punya calon sendiri. Namun pada jumat 17/07/2020, Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) akhirnya resmi mengusung Gibran Rakabuming Raka, putra pertama Presiden Joko Widodo, untuk maju sebagai calon wali kota Solo pada Pilkada 2020. (cnnindonesia.com, 17/07/2020)
Di sisi lain, Menteri BUMN Erick Thohir menolak memenuhi permintaan politikus PDI Perjuangan Adian Napitupulu, soal pengisian komisaris di perusahaan pelat merah. Ia mengaku kerap mendapatkan titipan calon komisaris dari kementerian dan lembaga lain. Parahnya lagi, Erick Thohir menyatakan “saya harus fair juga dengan yang lain” sebagaimana dilansir melalui majalah.tempo.co (18/07/2020). Artinya pembagian kekuasaan dan kepentingan telah terjadi dengan bagi-bagi posisi jabatan.
Mengapa sistem demokrasi akan mudah untuk membentuk oligarki kekuasaan?. Jawaban hanya satu, karena UU dibuat oleh manusia. Ketika manusia mengusulkan UU maka pasti dan tentu saja akan selalu ada kepentingan. Apa lagi tidak semua kepentingan manusia bisa dipuaskan oleh manusia. Akhirnya terjadi tarik menarik kepentingan yang satu dengan yang lain.
Maka dari itu islam mengusulkan bahwa UU harus bersumber kepada yang menciptakan manusia yaitu Allah SWT melalui Alquran maupun hadis. Meskipun UU yang bernuansa islam belum tentu akan memuaskan semua manusia, akan tetapi dalam aturan islam akan menahan dan menjaga kepentingan dan oligarki kekuasaan. Kalaupun ada itu semua karena penyimpangan yang dilakukan. Berbeda dengan sistem demokrasi, oligarki kekuasaan menjadi keharusan.
Hasil studi ilmiah menjelaskan hubungan eksekutif dan legislatif dalam pemerintahan Presiden Yudhoyono, telah dilakukan oleh Djayadi Hanan (2012). Dominasi kewenangan di tangan presiden ke semakin banyak kewenangan di tangan DPR [Dewan Perwakilan Rakyat] yang merupakan representasi partai politik. Pergeseran bandul kewenangan ke DPR tak diiringi dengan penguatan checks and balances. Sistem pengawasan sangat lemah untuk mengoreksi DPR dan partai politik, sehingga menimbulkan oligarki politik yang membuat aspirasi rakyat makin terbenam” (hlm. 49). Namun masalahnya apakah kewenangan di tangan Presiden atau DPR akan tetap bisa bebas dari oligarki? Tentu saja tidak.
Kekuasaan pada sistem demokrasi berbicara masalah kepentingan, maka tidak jauh dari kekuatan sumber dana yang dimiliki. Untuk menjadi pejabat dalam sistem demokrasi memerlukan biaya yang tidak sedikit, lantas darimana biaya tersebut? satu-satunya cara adalah dengan menjalin hubungan dengan pemilik modal atau dana yaitu para pengusaha.
Akhirnya negara akan membentuk oligarki sendiri dengan sekelompok orang yang sudah membiayai kekuasaannya. Para pemilik modal tersebut tentulah ingin mendapatkan keuntungan, maka dari itu kebijakan dari para penguasa akan mudah disetir, dan atau berbagai kebijakan dan UU akan berpijak kepada kepentingan pengusaha. Misalnya, UU Minerba, atau Omnibus Law Cipta kerja diusulkan sebagai bentuk untuk menjaga kepentingan investasi para pengusaha. Oleh karenanya oligarki suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari dalam sistem demokrasi yaitu berbentuk politik kartel.
Politik kartel dikenalkan oleh Richard Katz dan Peter Mair pada 1995 pada edisi pertama jurnal Party Politics. Mereka beranggapan bahwa orientasi perjuangan partai dari catch-all party bergeser menjadi cartel party. Tipologi catch-all party, mengharuskan partai melakukan banyak perubahan kebijakan untuk merebut suara pemilih dan partai akan berkompetensi secara bebas. Cartel Party, menekankan pada profesionalitas dari politisi yang berupaya untuk mememangkan partainya dengan segala cara. Akses dan sumber daya dalam pemerintahan tidak boleh lepas dari genggaman, dan berada dalam lingkup kekuasaan negara adalah suatu keharusan. (Dyah Ayu Widyarni, 2019)
Sistem check and balance kemudian terganggu, karena realisasi dari politik kartel adalah saling merangkul partai politik yang berbeda secara ideologi untuk menghindari konflik dalam pengambilan keputusan dalam parlemen. Praktik ini yang kemudian merugikan negara demokrasi. (Dyah, 2019).
Walhasil, sistem demokrasi tidak akan pernah hadir membela kepentingan rakyat, tetapi kepentingan segelintir orang. Lebih tepatnya kepentingan para penguasa yang menjalin politik kartel dan melaksanakan bisnis bersama dengan para pengusaha.
Wallahu’alam
Oleh : W.Irvandi
Direktur Lembaga Kajian Analisis dan Pemikiran Islam (ANSPI)
Posting Komentar untuk "OLIGARKI DAN DINASTI KEKUASAAN PADA SISTEM DEMOKRASI"