Pageblug Belum Reda, Wisata Dibuka?
Wacana new normal life sudah mulai
menampakkan dampaknya. Terbangun narasi bahwa Indonesia sudah siap untuk
membuka sektor ekonomi tak terkecuali pariwisata. Bahkan bagi ASITA (Association
of The Indonesia Tours and Travel Agencies) Kalbar, new normal bulan Juni 2020 menjadi
harapan baru sektor pariwisata (29/5). Anggota DPRD Kota Pontianak Zulfydar Zaidar Mochtar
menilai bahwa sektor usaha meeting incentive, convention dan exhibition (MICE)
harus mulai digerakkan (18/6). MICE terdiri dari setidaknya 16 garapan di Professional
Exhibition Organizer (PEO), event organizer, hall owner, Biro Perjalanan Wisata
(BPW), perhotelan, florist hingga cinderamata.
Meski angka kesembuhan covid-19 di Kalbar
mencapai 76 persen dari total kasus positif yakni 313 kasus, namun secara
nasional kurva jumlah jiwa terpapar covid-19 terus meningkat. Ketika sektor
pariwisata dibuka, wisatawan bisa datang dari kabupaten bahkan pulau mana saja
dan negara mana saja. Sudahlah kita sempat direpotkan dengan transmisi lokal
paparan virus, jika pariwisata dibuka maka zonasi pencegahan penyebaran
covid-19 jadi tidak ada gunanya dan kluster baru akan menambah kerepotan bagi
tenaga medis. Mengingat Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Kalimantan
Barat, dr. Rifka mengatakan bahwa kemungkinan COVID-19 ini akan masih terjadi
12 sampai 24 bulan ke depan.
Sementara itu, masyarakat Kalbar sendiri
nampaknya masih kurang disiplin di masa pageblug (pandemi) ini. Terlihat dari
ramainya wisatawan lokal Pantai Serayi, Jawai Kabupaten Sambas sejak hari
keenam lebaran. Demikian juga Gunung Senujuh di Kecamatan Sejangkung
pertengahan bulan Mei sudah ramai dikunjungi pendaki bahkan bermalam disana. Pengelola
Kakap Explore di Kabupaten Kuburaya pun telah mempromosikan lokasi wisatanya
dengan janji penyambutan wisatawan dengan protokol kesehatan. Juga Komunitas
Pencinta Alam Tana'k Panyanggar Kalbar sebagai pengelola Bukit Sepancong dan
kebun anggrek Kecamatan Sungai Betung Kabupaten Bengkayang, telah resmi membuka
lokasi wisatanya pada 19 Juni lalu.
Wisata pada dasarnya bukanlah sektor
tercela. Semua orang berhak rekreasi atas beban hidup yang mungkin bisa diobati
dengan mengunjungi lokasi wisata. Apalagi sempat diberitakan ada 662 orang
Kalbar di PHK bulan Mei, deretan aduan kenaikan tagihan listrik, bertambahnya
kerentanan akan kemiskinan, masih kerapnya terjadi kriminalitas termasuk sejak 769
narapidana Kalbar diasimilasi dan banyak lagi masalah yang membuat masyarakat
cemas dan memerlukan rehat sejenak.
Sebelum wabah, banyak alasan yang
memotivasi Kalbar berbenah memenuhi unsur sapta pesona pariwisata dan memiliki
Kelompok Sadar Wisata hingga tingkat desa dan kelurahan. Ragam wisata indoor dan
outdoor pun berkembang semisal wisata alam, wisata kuliner, wisata bahari,
wisata sungai, wisata budaya, hingga wisata religi.
Motivasi utama dalam mengembangkan
pariwisata tidak lepas dari keuntungan ekonomi. Devisa negara sepanjang tahun
2019, mendapatkan 280 Triliyun Rupiah dari sektor pariwisata. Mampu menarik 20
juta kunjungan wisatawan mancanegara, 275 juta perjalanan wisatawan nusantara
dan menyerap 13 juta tenaga kerja. Dari perhotelan dan restoran di Kota
Pontianak saja telah memberi kontribusi pada Pendapatan Asli Daerah mencapai
lebih dari Rp. 100 Miliar tiap tahun. Dan dari gerbang perbatasan antar negara
dicatat oleh BPS Kalbar tahun 2019 ada sekitar 69 ribu kunjungan pertahun.
Padahal, sisi lain dari motivasi ekonomi
ini adalah tidak dapat terhindarnya dari kebocoran (leakage) keuangan. Karena
bahan baku dalam penyediaan barang dan jasa masih banyak yang impor, kehadiran
tenaga kerja asing di top manajemen wisata dengan gaji tarif internasional
memperlebar kesenjangan, jika kemampuan domestik minim dalam infrastruktur maka
akan bergantung pada investasi swasta dan asing yang tidak sedikit. Ini sangat
khas sistem kapitalisme, karena pemilik modal terbesarlah yang kemudian akan
menguasai pasar dan mekanisme pasar bebas tidak memperkenankan usaha kecil menengah
bisa bangkit signifikan kecuali dengan jebakan hutang.
Kalau kita detailkan dampak ekonomi
pariwisata ini, justru kita menemukan banyak pekerjaan yang dibayar murah dan
musiman, ketimpangan daerah wisata dengan yang bukan sangat terasa karena adanya
subsidi, harga tanah melonjak dan harga bahan makanan meningkat disekitar
lokasi wisata. Ketergantungan berlebihan pada pariwisata menyebabkan bangkrutnya
pun paling pertama jika wabah atau problem sosial politik terjadi. Tak heran di
Februari 2020 demi mengamankannya dari dampak wabah covid-19, pemerintah pusat menyiapkan
4,7 Triliyun Rupiah bagi sektor wisata dan alokasi influencer wisata sebanyak
Rp. 72 Milyar.
Sejak pageblug, para wisatawan mancanegara
memang tidak diberhentikan total. Terlihat dari masih beroperasinya beberapa
maskapai internasional. Banyak daerah yang nampaknya belum begitu berani
menolak kebijakan new normal atau berdamai dengan corona seperti yang
disarankan WHO. Padahal pemerintah daerah yang paling mengetahui status
zonasinya dengan memperhatikan indikator yang realitasnya bisa diukur oleh
epidemiolog, surveilans dan tenaga kesehatan lokal. Seperti Gubernur Bali yang
sementara ini menolak dibukanya lokasi wisata didaerahnya meski didesak
pemerintah pusat.
Penelusuran tidak cukup sampai disitu,
karena regulasi internasional dengan standar kapitalisme jugalah yang
memberikan penekanan agar negara menjadikan pariwisata ini sebagai sektor
pembangunan nasional. Sangat jelas bahwa walaupun di tengah wabah sekalipun,
para kapitalis dengan janji menepati protokol kesehatan turut memberikan
desakan politik dengan alasan ekonomi rakyat. Kapitalisme sangat menginginkan
liberalisasi pariwisata. Indonesia tak bisa berbuat banyak bisa jadi karena
mega proyek yang terlanjur terikat dengan kapitalis atau tekanan hutang luar
negeri. Selain dorongan ekonomi yang tak pernah puas mengeksploitasi alam dan
manusia, perilaku liberal membuat manusia hanya menjadikan dunia sebagai tempat
bersenang-senang semata.
Kapitalis asing telah membangun Social
Inclusion (penyatuan sosial budaya antara warga dan wisatawan mancanegara)
sehingga daerah atas kearifan lokal pun latah mengangkat budaya meski
mengandung kemusyrikan. Industri wisata bahkan sudah lekat dengan westernisasi yang
menyuburkan kebutuhan akan minuman keras dan prostusi. Maka tambah sedih jika
kita membaca data Ending The Sexual Exploitation of Children (ECPAT) Indonesia
bahwa 30 persen pekerja seks komersial adalah anak-anak. Nampak masyarakat pun
mengalami perubahan gaya hidup, bahasa, cara berpakaian, hingga sikap toleransi
masyarakat terhadap wisatawan atau gegar budaya yang berujung peniruan budaya,
berkembang profesi baru yang mengubah visi tentang pendidikan serta merusak
aqidah lebih disayangkan lagi keberhasilan sekulerisasi merusak nilai budaya
Islami yang telah dikenal sejak lama.
Dari sini maka kita perlu menantang
propaganda kapitalisme akan pariwisata ini dengan serius. Nafas kapitalisme
adalah liberalisme dan sekulerisme. Keuntungan besar hanya ditelan capital global
karena mereka memiliki sumber keuangan besar sekaligus telah mendapatkan akses
yang sangat luas diberikan negara. Lihatlah urusan nyawa manusia dinomorduakan
oleh kebijakan new normal saat pageblug yang masih membuat tenaga medis kalang
kabut. Ironinya malah ada daerah di Kalbar yang diberi apresiasi Rp. 7 Milyar akan
inovasinya di sektor transportasi dan wisata dalam menyiapkan tatanan normal
baru, produktif dan aman covid-19 oleh Kementrian Dalam Negeri.
Layaklah kita renungkan, dapatkah kita
campakkan kapitalisme ini karena ianya bukan sistem yang lahir dari konsep dan
metode yang memberikan solusi. Karena kapitalisme mengabaikan nyawa dan
kesehatan manusia, sarat kepentingan kapitalis swasta asing, mendahulukan ambisinya
meraih untung sebesar-besarnya. Adopsilah sistem Islam dengan holistik karena
telah terbukti secara historis memberikan daya upaya insitusi negara secara
optimal dalam melayani kesehatan masyarakatnya hingga sukses melaksanakan lockdown
disaat wabah serta memberikan stabilitas ekonomi karena sistem syariah yang
dipedomaninya tidak menjadikan pariwisata sebagai sumber kas utama. Indonesia jangan
lagi mengadopsi kapitalisme karena sudah terbukti membinasakan dan telah lama
menjadikan Indonesia dibawah gurita kekuasaan global yang merugikan
rakyatnya.***
Oleh Zawanah Filzatun Nafisah
(Leader of Muslimah Ideologis Khatulistiwa)
Posting Komentar untuk "Pageblug Belum Reda, Wisata Dibuka?"