Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pemikiran Ideologis

Pemikiran merupakan unsur terpenting yang menentukan hidup dan matinya umat islam. Bagi umat islam, pemikirna merupakan ruh umat. Hanya saja, tidak semua pemikiran dapat menjadi ruh bagi umat. (Maghfur, 2002). Misalnya adalah pemikiran ketika mencari makanan saat lapar atau mencari minuman ketika haus. Pemikiran seperti ini bukanlah pemikiran yang menjadi ruh bagi umat.

Lantas apa pemikiran yang menjadi ruh bagi umat? Pemikiran yang dapat menjadi ruh bagi umat adalah pemikiran ideologis. Yaitu akidah rasional islam yang melahirkan sistem-sistem kehidupan untuk mengatur kehidupan umat. 

Akidah rasional berupa akidah islam yang menjadi asas kehidupannya. Sedangkan sistem-sistem kehidupan untuk mengatur kehidupan tidak lain tidak bukan adalah hukum-hukum syariah, baik secara global maupun rinci hingga saling terintegrasi (baca: berkaitan) antara satu hukum dengan hukum yang lainnya sehingga menjadi sistem aturan kehidupan.

Akidah lain selain akidah islam tidak poduktif karena tidak menghasilkan sistem kehidupan, misalnya akidah Nasrani dan Yahudi. Di sisi lain akidah ini akan menghasilkan kepribadian yang terbelah karena akan mengambil sistem lain untuk mengatur kehidupan mereka. Dan sistem lain tersebut dapat berupa sistem kapitalisme (sekuler) atau sistem sosialisme (komunis) sebagai pengaturan yang mengatur kehidupan mereka.

Untuk menjadi pemikiran ideologis, khususnya pemikiran islam ideologis maka pemikiran tersebut harus memiliki pemikiran islam (_islamic thought_) dan metode islam (_islamic method_). Pemikiran islam atau _islamic thought_ adalah berupa konsep baik berupa akidah islam maupun hukum syara. Akidah islam yaitu keyakinan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, para nabi dan rosul, hari kiamat serta qada’ dan qadar yang dibangun secara rasional.

Sedangkan hukum syara’ dalam konstes islamic thought adalah meliputi semua hukum taklifi yang menjelaskan wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram serta hukum wadh’i yang menjelaskan sebab ‘azimah (hukum asal), rukhsah (hukum dispensasi), mani’ (hukum protektif/pencegah/terhalang), syarat, sah, batal dan fasad (rusak). Hukum-hukum ini meliputi seluruh permasalahan manusia dan  ibadah. Baik ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, atau mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, ataupun mengatur hubungan manusia manusia lainnya. Misalnya seperti ibadah (shalat, puasa, zakat, haji, dan jihad), politik dan pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, pengadilan, politik dalam dan luar negeri.

Adapun yang dimaksud dengan metode islam (islamic method) merupakan hukum syara’ yang berfungsi sebagai metode untuk menerapkan pemikiran islam, melestarikan dan menjaga pemikiran islam dan untuk mengemban risalah islam. Adapun yang berfungsi sebagai metode penerapan pemikiran islam yatu hukum syara’ mendirikan partai politik islam, dan menegakkan khilafah islam. 

Berikutnya hukum syara’ yang berfungsi sebagai metode untuk melestarikan dan menjaga pemikiran islam. Pada aspek ini berarti hukum syara’ tentang  kewajiban untuk mempertahankan eksistensi khilafah islam sebagai penjaga agama, mempertahankan partai politik islam untuk mengontrol dan muhasabah kepada penguasa atau pemerintahan, dan adanya mahkamah pengadilan yang akan memberikan sanksi dan hukum bagi para pelaku yang melanggar hukum dan pemikiran islam. 

Adapun hukum syara’ yang berfungsi sebagai metode untuk mengemban risalah islam, misalnya seperti berdakwah, baik dakwah secara individu maupun berjamaah. Dan dakwah berjamaah itu berkaitan dengan aktivitas suatu kelompok partai politik dalam rangka aktivitas politik, mendidik umat dan memahamkan umat.  Dan juga mengemban risalah islam dalam rangka dakwah dna jihad yang dilakukan oleh institusi Khilafah islamiyah. Penyebaran risalah islam islam diemban oleh Khilafah islam ke seluruh penjuru dunia.

Pemikiran ideologis juga apabila dilihat dari jenis dan fungsi maka terdiri dari mafahim, maqayis dan qana’ah. Klasifikasi ini berdasarkan ketiga jenis pemikiran tersebut sebagai pemikiran rasional. Adapun yang dimaksud dengan mafahim (konsep) adalah pemikiran terhadap fakta dan realitasnya dapat dideskripsikan di dalam otak orang yang memikirkannya. Kadangkala pemikiran tersebut mempunyai makna riil, yang realitasnya dapat dijangkau oleh akal manusia secara langsung. Misalnya pemikiran mengenai alquran adalah kalamullah (firman Allah). Kadangkala juga pemikiran tersebut dapat dijangkau oleh akal namun melalui bukti-bukti qath’i msialnya pemikiran terhadap adanya malaikat, rasul dan nabi terdahulu yang dibuktikan melalui dali qath’i dari alqur’an. Mafahim akan melahirkan keyakinan, kemudian akan mempengaruhi tingkah laku seseorang.

Namun, mafahim tidak dapat dijadikan standar dalam menentukan halal dan haram. Adapun yang menjadi standar baik terhadap benda halal atau haram. Ataupun terhadap perbuatan wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Maka standar tersebut berdasarkan pemikirna yang disebut dengan maqayis. Maka adapun yang dimaksud dengan maqayis adalah jenis pemikiran yang berfungsi sebagai tolok-ukur perbuatan manusia dan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan. Pemkiran yang mempunyai fungsi seperti ini adalah hukum, baik hukum standar pada perbuatan maupun benda.

Selanjutnya Qana’ah sebagai bagian dari pemikiran ideologis. Qana’ah berarti rela pada sesuatu, tunduk kepadanya dengan sikap patuh, khusyu dan mencurahkan pengorbanan untuk merealisasikannya. Adapun maksud dari qana’ah adalah pemikiran yang berfungsi untuk menghasilkan kepercayaan dan keyakinan pada sesuatu yang diyakini, serta mempertahankan, mengemban dan mencurahkan seluruh kemampuan dalam rangka merealisasikannya. 

Pemikiran qana’ah tidak dapat diwujudkan hanya dengan mempengaruhi perasaan, tetapi harus dibuktikan dengan burhan (argumentasi yang meyakinkan). Sedangkan burhan yang dikaitkan dengan perasaan dan perasaan tersebut dapat merasakan kebenaran realitasnya. Misalnya keyakinan kepada Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah yang dapat dibuktikan melalui mukjizat alqur’an. Alqur’an menjadi salah satu bukti dengan argumentasi yang meyakinkan (burhan).

Kadangkala juga burhan dapat dirasakan namun untuk membuktikannya tidak dibangun berdasarkan argumentasi rasional, sebab pemikiran ini sudah diaplikasikan di tengah-tengah mereka secara riil, sehingga menjadi keyakinan pelaksanannya. Misalnya orang-orang kafir yang meyakini keadilan islam karena mereka hidup dibawah naungan khilafah islam yang menerapkan aturan-aturan islam. Mereka merasakan keadilan, makmur dan ketentaraman sehingga terdorong untuk mempertahankan islam walapun mereka bukan beragama islam.

Dalam kondisi hari ini lah maka perlu kita melakukan penanaman pemikiran ideologis ini ke tengah-tengah umat. Dan ini menjadi kewajiban setiap pengemban maupun aktivis dakwah dan kelompok dakwah. Oleh karena itu, setelah para pengemban dan aktivis dakwah  memahami pemikiran ideologis, selanjutnya bagaimana pemikiran ideologis ini diemban oleh umat islam. Maka harus ada proses berinteraksi dengan umat, dan umat menerima pemikiran idelogis ini serta mau mengamalkannya.

Wallahu’alam

penulis : Wandra Irvandi, M.Sc

Posting Komentar untuk "Pemikiran Ideologis"