Realitas Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Bagian 2
MORATORIUM DAN ANCAMAN BOIKOT UNI EROPA
Ancaman Uni Eropa untuk memboikot produk sawit dari Indonesia akhirnya dijawab pemerintah lewat moratorium sawit. Presiden menginstruksikan jajarannya melakukan perbaikan tata kelola sawit. Instruksi Presiden menyisakan tugas berat bagi banyak pihak. Pemerintah baru-baru ini telah menelurkan kebijakan moratorium sawit, melalui Inpres nomor 8 tahun 2018 Tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit dan Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.
Sebelumnya pada 17 Januari 2018, sebuah laporan berjudul Report on the Proposal for a Directive of the European Parliament and of the Council on the Promotion of the use of Energy from Renewable Sources menyebut pembatasan bahan bakar dan makanan dari tanaman yang diduga penyumbang deforestasi.
Tanaman sawit yang menjadi landasan laporan tersebut mengundang debat yang berujung pada ancaman boikot Uni Eropa atas produk sawit asal Indonesia. Masalah yang diangkat bukan hanya deforestasi. Tapi juga termasuk korupsi, pekerja anak, sampai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
Sebagai contoh adalah ancaman boikot yang dilakukan Parlemen Prancis dengan mewacnakan akan memungut tarif impor (import levy) pajak progresif ekspor minyak kelapa sawit (CPO) dimulai pada tahun 2016. ICELAND Foods Ltd, perusahaan ritel makanan di Inggris juga berencana menghentikan penjualan seluruh produk yang memiliki kandungan minyak sawit di seluruh jaringan swalayannya. Saat ini perusahaan itu mengklaim telah menghentikan 50 persen produk mengandung minyak sawit. Targetnya, penjualan semua produk mengandung minyak sawit akan dihentikan akhir 2018.
Alasan yang dikemukakan Iceland Foods Ltd sebenarnya tidak berbeda dengan alasan yang disampaikan Uni Eropa. Mereka menuding perluasan perkebunan kelapa sawit akan merusak hutan (deforestasi). Direktur Pelaksana Iceland Foods Ltd Richard Walker mengungkapkan deforestasi seluas 146 kali lapangan sepak bola per jam atau 3.500 kali lapangan sepak bola per hari terjadi di Indonesia. Jika permintaan terhadap minyak sawit terus meningkat maka deforestasi akan semakin meningkat pula.
Memang di samping dalih deforestasi, ada alasan lain kenapa negara Eropa termasuk Amerika Serikat mulai menolak keberadaan minyak sawit. Minyak nabati negara-negara tersebut seperti minyak kedelai, bunga matahari dan lainnya kalah bersaing dengan minyak sawit. Produksi minyak sawit lebih efisien dibanding dengan minyak nabati lainnya. Sementara kelapa sawit tidak bisa hidup dengan baik di negara-negara tersebut.
Prancis dan uni eropa tampak hanya menggunakan isu lingkungan untuk menutupi praktik perdagangan tidak adil dan perang dagang. Alasan di balik itu sesungguhnya Prancis hendak melindungi produksi minyak nabati domestik yang dibuat dari biji bunga matahari, rapeseed, dan kedelai. Sudah lebih dua tahun petani setempat mengeluh minyak nabati mereka kalah bersaing dari minyak sawit. Harga rata-rata minyak biji bunga matahari di Eropa pada 2015 mencapai US$1.000 per ton, sementara harga CPO CIF Rotterdam hanya US$565 per ton. Jika Prancis tidak memberlakukan tarif impor tinggi pada CPO, minyak nabati mereka kalah bersaing.
Sekitar 45 tahun lalu kelapa sawit masih merupakan komoditas pinggiran. Saat itu neraca minyak pangan dunia didominasi minyak kedelai, rapeseed, bunga matahari, atau jagung yang diproduksi AS dan Uni Eropa. Kini sawit jadi jawara dan mengalahkan para pendahulu. Ini terjadi karena minyak sawit lebih komp betitif ketimbang minyak pangan lain.Produktivitas sawit amat tinggi: 5.830 liter per hektare, jauh melampaui produktivitas minyak kedelai (446 liter/hektare), kanola (1073), dan bunga matahari (952).
Dengan produktivitas 5-13 kali lebih besar daripada minyak pangan lain, Indonesia, Malaysia, dan dua jawara minyak sawit dunia kini telah menguasai pasar minyak pangan di dunia. Sejatinya, amendemen UU 367, Renewable Fuel Standards, Renewable Energy Directive, dan Food Standards Amendment Truth in Labeling-Palm Oil Bill 2010 tak lebih daripada taktik dagang. Sebab, dasar dan metode perhitungan ditentukan sepihak.
Alasan emisi dan kesehatan tidak lebih dari nontarrif barier karena syarat-syarat serupa tak berlaku bagi minyak pangan kompetitor sawit. Taktik dagang juga diberlakukan lewat standar ketat dan sertifikasi, salah satunya RSPO (roundtable on sustainable palm oil). Sertifikasi tidak mengindahkan produsen. Tak mengherankan muncul gugatan serius, produk apa yang harus disertifikasi dan siapa yang menyusun sertifikasi (Cabarle and Freitas, 2007). Kini sertifikasi menjadi ladang bisnis menggiurkan. Pelakunya lembaga-lembaga asing dari negara maju. Di Inggris saja setidaknya ada 600 jenis sertifikasi, yang sebagian besar diinisiasi korporasi, bukan negara. Bagi Pehnet dan Vietze (2009), Renewable Energy Directive ialah kebijakan industri, bukan kebijakan lingkungan.
Ini kamuflase proteksionisme berkedok lingkungan.
Posting Komentar untuk "Realitas Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Bagian 2"