Telaah RUU Haluan Ideologi Pancasila
Pancasila kembali diperdebatkan ketika ada usulan di DPR
untuk membahas RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila). Sejak pancasila ditetapkan
menjadi dasar negara, dan sejak awal kemunculnya perdebatan terus-menerus
terjadi tentang dasar negara tersebut.
Berdasarkan sejarah, ada dua perdebatan yang terjadi.
Menurut As’ad Said Ali (2009) yang menyatakan bahwa pancasila sesuatu yang
tidak bisa diubah, ada perspektif substansial dan perspektif literalis tampak
dominan dalam rapat-rapat BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia). Golongan agama yang dimotori Ki Bagus Hadikoesomo mengusulkan dasar
negara Indonesia adalah islam, sedangkan golongan nasionalis yang dimotori Bung
Hatta dan Soepomo mengusulkan dasar negara adalah persatuan. Sejak sidang
pertama BPUPKI 28 Mei 1945 – 1 Juni 1945.[1]
Menurut para pengusul adapun tujuan dari RUU HIP ini bukan
bertujuan memberi ruang bagi komunisme melainkan untuk memperkuat Pancasila
sebagai ideologi negara. Tap MPR Nomor XXV Tahun 1966 itu sudah mengatur
tentang Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang. Tap tersebut
juga memuat larangan menyebarkan paham komunisme, Leninisme, dan Marxisme.
Sehingga tidak ada satu lembaga di negeri ini yang dapat mencabut Tap MPR
tersebut.
Sejumlah kritikan bermunculan diantaranya dari fraksi PKS
(Partai Keadilan Sejahtera) yang khawatir terhadap bahaya komunisme apabila TAP
MPRS tersebut tak dicantumkan dalam RUU HIP yang menyatakan bakal menolak jika
TAP MPRS tentang larangan Komunisme tak dimasukkan ke RUU tersebut. Selain PKS,
Fraksi PAN juga bertekad menarik diri dari pembahasan apabila dalam
perkembangan selanjutnya TAP MPRS tentang larangan ajaran komunisme itu
diabaikan. Mereka tak ingin bermain-main dengan isu sensitif itu.
Jika merujuk draf RUU HIP ada 58 pasal dan delapan peraturan
yang dijadikan konsideran. Sementara TAP MPRS Larangan Ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme itu tak masuk pada peraturan di dalamnya. Delapan
peraturan itu yakni UUD 1945, TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, TAP MPR No.
XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
Kemudian TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan
dan Kesatuan Nasional, TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa, TAP MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
Selanjutnya yakni TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan TAP MPR No.
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Sedangkan menurut pakar hukum Prof Suteki menyatakan ada 4
kedudukan pokok Pancasila itu dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila hendak
didistorsi menjadi satu kedudukan pokok yakni sebagai ideologi saja. Hal ini
akan berakibat fatal terhadap bahasan tidak menyeluruh terhadap Pancasila bagi
bidang-bidang kehidupan manusia Indonesia. Belum lagi telah dilakukannya
pemerasan sila-sila Pancasila menjadi trisila dan bahkan ekasila. Cara-cara ini
sebenarnya kalau kita amati merupakan langkah mengaburkan sendi pokok Pancasila
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Termasuk juga RUU HIP ini memiliki politik hukum yang cacat,
misalnya pada bagian konsiderans menimbang bahwa saat ini belum ada
undang-undang sebagai landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila
untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika bentuknya UU
memang belum ada, tetapi perlu diingat bahwa UUD NRI 1945 adalah terjemahan
langsung Pancasila sebagai Dasar Negara. Jadi, cukup dengan UUD (Pembukaan,
Batang Tubuh dan seharusnya Penjelasannya) menjadi pedoman bagaimana
penyelenggaraan negara ini diterapkan. Dan juga ada pada Tap MPR No. VI Tahun
2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang mengatur pedoman bidang kehidupan
berbudaya, bermasyarakat, politik pemerintahan, penegakan hukum, perekonomian
dan lain-lain.
Sedangkan menurut Daniel Mohammad R– RCAM bagian menimbang
RUU HIP sudah mencerminkan bahwa UU ini dimaksudkan untuk menafsirkan Pancasila
yang tersurat dalam paragraf 4 Pembukaan, seolah-olah ingin mengamandemen
konstitusi. Dan pada pasal 1 ayat 3 menempatkan UU ini setara dengan UUD yang
menjadi pedoman bagi penyelenggaraan negara dalam menyusun dan menetapkan
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional
di semua bidang serta arah bagi seluruh warga negara dan penduduk Indonesia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasal 1 ayat 3 ini menjadi Omnibus Law
Cipta Rezim Otoriter untuk membentuk sebuah Masyarakat Pancasila (ayat 10)
sesuai kehendak rezim berkuasa.
Selanjutnya Pasal 3:a menempatkan HIP sebagai Pancasila itu
sendiri. Pasal 3:3c menyamakan kedudukan Pemerintah yang sah setara dengan
Negara KRI. Tampak sekali bahwa RUU ini memberi peluang kelahiran pemerintah
otoriter yang mengaku dirinya sama dengan NKRI. Padahal Pemerintah berganti
setiap 5 tahun, sedang NKRI tidak.
Pasal 4 :a, b, c, d, e menempatkan RUU ini sebagai omnibus
law yang sekaligus pengganti batang tubuh UUD2002. Pasal 6 : 1, 2 menunjukkan
upaya untuk mengganti Pancasila sesuai kesepakatan para pendiri bangsa pada sidang
PPKI tgl 18/8/1945 dengan konsep Pancasila yang diajukan Bung Karno dalam
pidato sidang BPUPKI 1/6/1945. Dan Pasal 7: e dan f mengutip ulang paragraf
Pembukaan UUD1945. Serta Pasal 9 : mengajukan visi yang berbeda dengan
cita-cita proklamasi yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD1945. Hingga Pasal 18 :
a, b, c praktis menempatkan UU ini sebagai konstitusi, artinya melakukan
amandemen secara diam2 tanpa melalui prosedur yang seharusnya.
RUU HIP ini juga cenderung dipaksakan dan harus kejar tayang
untuk mengokohkan sesuatu. Padahal di masa pandemi ini, pemerintah dan DPR
seharusnya memprioritaskan keselamatan masyarakat dan tetap berproduktivitas
dalam perekonomian untuk menjaga kestabilan negeri. Namun alih-alih memikirkan
hal tersebut para pejabat malah membahas sesuatu hal yang tidak ada manfaatnya
secara langsung.
Secara teoritis sebenarnya pancasila tidak tepat dikatakan
sebagai ideologi. Kalau ingin mengatakan pancasila sebagai idoelogi maka harus
diketahui dulu apa makna ideologi tersebut. Menurut Muhammad Hiwari (2007)
ideologi (mabda’) adalah merupakan akidah rasional yang memancarkan aturan
untuk semua aspek kehidupan. Sedangkan akidah itu sendiri adalah pemikiran yang
menjelaskan hakikat kehidupan dunia yang terdiri dari manusia, alam semesta, dan
kehidupan; hakikat realitas yang ada sebelum kehidupan dunia dan realitas yang
ada sesudahnnya, serta hubungan ketiganya dengan realitas yang ada sebelum dan
sesudah kehidupan dunia.[2]
Dan didalam ideologi (mabda’) itu sendiri
mencakup fikrah dan thariqah. Fikrah itu sendiri
adalag pemikiran menyeluruh dan aturan sebagai pemikiran cabang untuk seluruh
aspek kehidupan. Sedangkan thariqah adalah tatacara penerapan aturan
akidah, tatacara pemeliharaan, dan tatacara pengembanan akidah. Atau dengan
kata lain fikrah dan thariqah itu adalah konsep dan metode.[3] Dan
adapun ideologi (mabda’) di dunia ini ada yaitu Komunisme-Sosialisme,
Sekulerisme-Kapitalisme, dan Islam.
Hal ini berarti Pancasila bukan ideologi namun dapat disebut
sebagai pandangan terhadap nilai-nilai tertentu. Karena ideologi mencakup
pemikiran menyeluruh, artinya pemikiran lain adalah bagian dari ideologi
tersebut. Sehingga Pancasila dapat termasuk ke dalam ideologi manapun karena
termasuk pemikiran cabang. Maka dari itu, Pancasila bisa di bawa ke arah
Sosialisme, sebagaimana dulu di Indonesia ada pandangan Nasakom (Nasionalis,
Agama & Komunis) oleh Bung Karno sendiri. Dan bisa di bawa ke arah
Sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan), sebagaimana Pancasila di masa
Soeharto dan masa kini. Yaitu menolak Sosialisme-komunis, namun juga tidak
menjadikan agama Islam sebagai pengatur seluruh sendi kehidupan.
Dari sisi praktik, maka tidak ada tataran praktis bagaimana
Pancasila itu diamalkan. Ketika manusia itu berbuat pasti akan merujuk kepada
pandangan hidupnya sebagai manusia yang berlandaskan ketiga ideologi tadi. Bagi
umat islam tentulah akan mengacu kepada islam sebagai pedoman kehidupannya
sehari-hari. Jika ada menjalankan dengan landasan Pancasila, maka Pancasila itu
harus sesuai dengan islam itu sendiri.
Bahkan para pemikir di negeri ini juga sudah berupaya
menyusun bagaimana praktik Pancasila baik dalam Undang-undang maupun sistem dan
aturan. Namun tidak ada satupun yang berdasarkan Pancasila, namun semuanya
merujuk kepada asas manfaat, mudharat, kebersamaan, musyawarah dan kesepakatan.
Kalau seakan-akan sesuai dengan Pancasila maka itu hanya dipaksakan cocok saja.
Kita ambil contoh misalnya, apakah dengan menjual
pengelolaan SDA kepada asing termasuk sesuai dengan Pancasila? Apakah hutang
yang berkaitan dengan ribanya termasuk sesuai dengan Pancasila? Kalau di jawab
sesuai, maka tentu saja ini akan menjadikan Pancasila itu sendiri bertentangan
dengan Islam, karena Islam melarang itu semua. Namun kalau tidak sesuai, maka
negeri ini tidak pernah mengamalkan Pancasila.
Walhasil perlu kembali kita menelaah dan mendalami konsep
dasar dari ideologi itu sendiri. Termasuk bagaimana ideologi itu bisa nejadi
aturan dan mengatur kehidupan masyarakat, tanpa ada kepentingan manusia
manapun. Karena munculnya ideologi ini berasal dari dua macam cara. Yang
pertama dari akal dan benak manusia, dan yang kedua berasal dari wahyu Allah
swt. Maka kalau kita lihat aturan yang mengatur negeri ini berasalkan dari akal
manusia biasa, dan kesepakatan bersama atau karena suara terbanyak hasil dari voting
ketika tidak mencapai kesepakatan. Disana tidak ada Pancasila apalagi agama
khususnya agama Islam.
Wallahu’alam
[1] As’ad
Said Ali. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa. LP3ES : Jakarta.
Hal : 157
[2] Muhammad
Hawari. 2007. ReIdeologi Islam. Al-Azhar Press : Bogor. Hal : 112-113.
[3] Ibid.
Hal : 113-114.
Pancasila kembali diperdebatkan ketika ada usulan di DPR
untuk membahas RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila). Sejak pancasila ditetapkan
menjadi dasar negara, dan sejak awal kemunculnya perdebatan terus-menerus
terjadi tentang dasar negara tersebut.
Berdasarkan sejarah, ada dua perdebatan yang terjadi.
Menurut As’ad Said Ali (2009) yang menyatakan bahwa pancasila sesuatu yang
tidak bisa diubah, ada perspektif substansial dan perspektif literalis tampak
dominan dalam rapat-rapat BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia). Golongan agama yang dimotori Ki Bagus Hadikoesomo mengusulkan dasar
negara Indonesia adalah islam, sedangkan golongan nasionalis yang dimotori Bung
Hatta dan Soepomo mengusulkan dasar negara adalah persatuan. Sejak sidang
pertama BPUPKI 28 Mei 1945 – 1 Juni 1945.[1]
Menurut para pengusul adapun tujuan dari RUU HIP ini bukan
bertujuan memberi ruang bagi komunisme melainkan untuk memperkuat Pancasila
sebagai ideologi negara. Tap MPR Nomor XXV Tahun 1966 itu sudah mengatur
tentang Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang. Tap tersebut
juga memuat larangan menyebarkan paham komunisme, Leninisme, dan Marxisme.
Sehingga tidak ada satu lembaga di negeri ini yang dapat mencabut Tap MPR
tersebut.
Sejumlah kritikan bermunculan diantaranya dari fraksi PKS
(Partai Keadilan Sejahtera) yang khawatir terhadap bahaya komunisme apabila TAP
MPRS tersebut tak dicantumkan dalam RUU HIP yang menyatakan bakal menolak jika
TAP MPRS tentang larangan Komunisme tak dimasukkan ke RUU tersebut. Selain PKS,
Fraksi PAN juga bertekad menarik diri dari pembahasan apabila dalam
perkembangan selanjutnya TAP MPRS tentang larangan ajaran komunisme itu
diabaikan. Mereka tak ingin bermain-main dengan isu sensitif itu.
Jika merujuk draf RUU HIP ada 58 pasal dan delapan peraturan
yang dijadikan konsideran. Sementara TAP MPRS Larangan Ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme itu tak masuk pada peraturan di dalamnya. Delapan
peraturan itu yakni UUD 1945, TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, TAP MPR No.
XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
Kemudian TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan
dan Kesatuan Nasional, TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa, TAP MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
Selanjutnya yakni TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan TAP MPR No.
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Sedangkan menurut pakar hukum Prof Suteki menyatakan ada 4
kedudukan pokok Pancasila itu dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila hendak
didistorsi menjadi satu kedudukan pokok yakni sebagai ideologi saja. Hal ini
akan berakibat fatal terhadap bahasan tidak menyeluruh terhadap Pancasila bagi
bidang-bidang kehidupan manusia Indonesia. Belum lagi telah dilakukannya
pemerasan sila-sila Pancasila menjadi trisila dan bahkan ekasila. Cara-cara ini
sebenarnya kalau kita amati merupakan langkah mengaburkan sendi pokok Pancasila
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Termasuk juga RUU HIP ini memiliki politik hukum yang cacat,
misalnya pada bagian konsiderans menimbang bahwa saat ini belum ada
undang-undang sebagai landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila
untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika bentuknya UU
memang belum ada, tetapi perlu diingat bahwa UUD NRI 1945 adalah terjemahan
langsung Pancasila sebagai Dasar Negara. Jadi, cukup dengan UUD (Pembukaan,
Batang Tubuh dan seharusnya Penjelasannya) menjadi pedoman bagaimana
penyelenggaraan negara ini diterapkan. Dan juga ada pada Tap MPR No. VI Tahun
2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang mengatur pedoman bidang kehidupan
berbudaya, bermasyarakat, politik pemerintahan, penegakan hukum, perekonomian
dan lain-lain.
Sedangkan menurut Daniel Mohammad R– RCAM bagian menimbang
RUU HIP sudah mencerminkan bahwa UU ini dimaksudkan untuk menafsirkan Pancasila
yang tersurat dalam paragraf 4 Pembukaan, seolah-olah ingin mengamandemen
konstitusi. Dan pada pasal 1 ayat 3 menempatkan UU ini setara dengan UUD yang
menjadi pedoman bagi penyelenggaraan negara dalam menyusun dan menetapkan
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional
di semua bidang serta arah bagi seluruh warga negara dan penduduk Indonesia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasal 1 ayat 3 ini menjadi Omnibus Law
Cipta Rezim Otoriter untuk membentuk sebuah Masyarakat Pancasila (ayat 10)
sesuai kehendak rezim berkuasa.
Selanjutnya Pasal 3:a menempatkan HIP sebagai Pancasila itu
sendiri. Pasal 3:3c menyamakan kedudukan Pemerintah yang sah setara dengan
Negara KRI. Tampak sekali bahwa RUU ini memberi peluang kelahiran pemerintah
otoriter yang mengaku dirinya sama dengan NKRI. Padahal Pemerintah berganti
setiap 5 tahun, sedang NKRI tidak.
Pasal 4 :a, b, c, d, e menempatkan RUU ini sebagai omnibus
law yang sekaligus pengganti batang tubuh UUD2002. Pasal 6 : 1, 2 menunjukkan
upaya untuk mengganti Pancasila sesuai kesepakatan para pendiri bangsa pada sidang
PPKI tgl 18/8/1945 dengan konsep Pancasila yang diajukan Bung Karno dalam
pidato sidang BPUPKI 1/6/1945. Dan Pasal 7: e dan f mengutip ulang paragraf
Pembukaan UUD1945. Serta Pasal 9 : mengajukan visi yang berbeda dengan
cita-cita proklamasi yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD1945. Hingga Pasal 18 :
a, b, c praktis menempatkan UU ini sebagai konstitusi, artinya melakukan
amandemen secara diam2 tanpa melalui prosedur yang seharusnya.
RUU HIP ini juga cenderung dipaksakan dan harus kejar tayang
untuk mengokohkan sesuatu. Padahal di masa pandemi ini, pemerintah dan DPR
seharusnya memprioritaskan keselamatan masyarakat dan tetap berproduktivitas
dalam perekonomian untuk menjaga kestabilan negeri. Namun alih-alih memikirkan
hal tersebut para pejabat malah membahas sesuatu hal yang tidak ada manfaatnya
secara langsung.
Secara teoritis sebenarnya pancasila tidak tepat dikatakan
sebagai ideologi. Kalau ingin mengatakan pancasila sebagai idoelogi maka harus
diketahui dulu apa makna ideologi tersebut. Menurut Muhammad Hiwari (2007)
ideologi (mabda’) adalah merupakan akidah rasional yang memancarkan aturan
untuk semua aspek kehidupan. Sedangkan akidah itu sendiri adalah pemikiran yang
menjelaskan hakikat kehidupan dunia yang terdiri dari manusia, alam semesta, dan
kehidupan; hakikat realitas yang ada sebelum kehidupan dunia dan realitas yang
ada sesudahnnya, serta hubungan ketiganya dengan realitas yang ada sebelum dan
sesudah kehidupan dunia.[2]
Dan didalam ideologi (mabda’) itu sendiri
mencakup fikrah dan thariqah. Fikrah itu sendiri
adalag pemikiran menyeluruh dan aturan sebagai pemikiran cabang untuk seluruh
aspek kehidupan. Sedangkan thariqah adalah tatacara penerapan aturan
akidah, tatacara pemeliharaan, dan tatacara pengembanan akidah. Atau dengan
kata lain fikrah dan thariqah itu adalah konsep dan metode.[3] Dan
adapun ideologi (mabda’) di dunia ini ada yaitu Komunisme-Sosialisme,
Sekulerisme-Kapitalisme, dan Islam.
Hal ini berarti Pancasila bukan ideologi namun dapat disebut
sebagai pandangan terhadap nilai-nilai tertentu. Karena ideologi mencakup
pemikiran menyeluruh, artinya pemikiran lain adalah bagian dari ideologi
tersebut. Sehingga Pancasila dapat termasuk ke dalam ideologi manapun karena
termasuk pemikiran cabang. Maka dari itu, Pancasila bisa di bawa ke arah
Sosialisme, sebagaimana dulu di Indonesia ada pandangan Nasakom (Nasionalis,
Agama & Komunis) oleh Bung Karno sendiri. Dan bisa di bawa ke arah
Sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan), sebagaimana Pancasila di masa
Soeharto dan masa kini. Yaitu menolak Sosialisme-komunis, namun juga tidak
menjadikan agama Islam sebagai pengatur seluruh sendi kehidupan.
Dari sisi praktik, maka tidak ada tataran praktis bagaimana
Pancasila itu diamalkan. Ketika manusia itu berbuat pasti akan merujuk kepada
pandangan hidupnya sebagai manusia yang berlandaskan ketiga ideologi tadi. Bagi
umat islam tentulah akan mengacu kepada islam sebagai pedoman kehidupannya
sehari-hari. Jika ada menjalankan dengan landasan Pancasila, maka Pancasila itu
harus sesuai dengan islam itu sendiri.
Bahkan para pemikir di negeri ini juga sudah berupaya
menyusun bagaimana praktik Pancasila baik dalam Undang-undang maupun sistem dan
aturan. Namun tidak ada satupun yang berdasarkan Pancasila, namun semuanya
merujuk kepada asas manfaat, mudharat, kebersamaan, musyawarah dan kesepakatan.
Kalau seakan-akan sesuai dengan Pancasila maka itu hanya dipaksakan cocok saja.
Kita ambil contoh misalnya, apakah dengan menjual
pengelolaan SDA kepada asing termasuk sesuai dengan Pancasila? Apakah hutang
yang berkaitan dengan ribanya termasuk sesuai dengan Pancasila? Kalau di jawab
sesuai, maka tentu saja ini akan menjadikan Pancasila itu sendiri bertentangan
dengan Islam, karena Islam melarang itu semua. Namun kalau tidak sesuai, maka
negeri ini tidak pernah mengamalkan Pancasila.
Walhasil perlu kembali kita menelaah dan mendalami konsep
dasar dari ideologi itu sendiri. Termasuk bagaimana ideologi itu bisa nejadi
aturan dan mengatur kehidupan masyarakat, tanpa ada kepentingan manusia
manapun. Karena munculnya ideologi ini berasal dari dua macam cara. Yang
pertama dari akal dan benak manusia, dan yang kedua berasal dari wahyu Allah
swt. Maka kalau kita lihat aturan yang mengatur negeri ini berasalkan dari akal
manusia biasa, dan kesepakatan bersama atau karena suara terbanyak hasil dari voting
ketika tidak mencapai kesepakatan. Disana tidak ada Pancasila apalagi agama
khususnya agama Islam.
Wallahu’alam
[1] As’ad
Said Ali. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa. LP3ES : Jakarta.
Hal : 157
[2] Muhammad
Hawari. 2007. ReIdeologi Islam. Al-Azhar Press : Bogor. Hal : 112-113.
[3] Ibid.
Hal : 113-114.
Posting Komentar untuk "Telaah RUU Haluan Ideologi Pancasila"