Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Telaah RUU Haluan Ideologi Pancasila


Pancasila kembali diperdebatkan ketika ada usulan di DPR untuk membahas RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila). Sejak pancasila ditetapkan menjadi dasar negara, dan sejak awal kemunculnya perdebatan terus-menerus terjadi tentang dasar negara tersebut.

Berdasarkan sejarah, ada dua perdebatan yang terjadi. Menurut As’ad Said Ali (2009) yang menyatakan bahwa pancasila sesuatu yang tidak bisa diubah, ada perspektif substansial dan perspektif literalis tampak dominan dalam rapat-rapat BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Golongan agama yang dimotori Ki Bagus Hadikoesomo mengusulkan dasar negara Indonesia adalah islam, sedangkan golongan nasionalis yang dimotori Bung Hatta dan Soepomo mengusulkan dasar negara adalah persatuan. Sejak sidang pertama BPUPKI 28 Mei 1945 – 1 Juni 1945.[1]

Menurut para pengusul adapun tujuan dari RUU HIP ini bukan bertujuan memberi ruang bagi komunisme melainkan untuk memperkuat Pancasila sebagai ideologi negara. Tap MPR Nomor XXV Tahun 1966 itu sudah mengatur tentang Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang. Tap tersebut juga memuat larangan menyebarkan paham komunisme, Leninisme, dan Marxisme. Sehingga tidak ada satu lembaga di negeri ini yang dapat mencabut Tap MPR tersebut.

Sejumlah kritikan bermunculan diantaranya dari fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang khawatir terhadap bahaya komunisme apabila TAP MPRS tersebut tak dicantumkan dalam RUU HIP yang menyatakan bakal menolak jika TAP MPRS tentang larangan Komunisme tak dimasukkan ke RUU tersebut. Selain PKS, Fraksi PAN juga bertekad menarik diri dari pembahasan apabila dalam perkembangan selanjutnya TAP MPRS tentang larangan ajaran komunisme itu diabaikan. Mereka tak ingin bermain-main dengan isu sensitif itu.

Jika merujuk draf RUU HIP ada 58 pasal dan delapan peraturan yang dijadikan konsideran. Sementara TAP MPRS Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme itu tak masuk pada peraturan di dalamnya. Delapan peraturan itu yakni UUD 1945, TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, TAP MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.

Kemudian TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, TAP MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan. Selanjutnya yakni TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Sedangkan menurut pakar hukum Prof Suteki menyatakan ada 4 kedudukan pokok Pancasila itu dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila hendak didistorsi menjadi satu kedudukan pokok yakni sebagai ideologi saja. Hal ini akan berakibat fatal terhadap bahasan tidak menyeluruh terhadap Pancasila bagi bidang-bidang kehidupan manusia Indonesia. Belum lagi telah dilakukannya pemerasan sila-sila Pancasila menjadi trisila dan bahkan ekasila. Cara-cara ini sebenarnya kalau kita amati merupakan langkah mengaburkan sendi pokok Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.

Termasuk juga RUU HIP ini memiliki politik hukum yang cacat, misalnya pada bagian konsiderans menimbang bahwa saat ini belum ada undang-undang sebagai landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika bentuknya UU memang belum ada, tetapi perlu diingat bahwa UUD NRI 1945 adalah terjemahan langsung Pancasila sebagai Dasar Negara. Jadi, cukup dengan UUD (Pembukaan, Batang Tubuh dan seharusnya Penjelasannya) menjadi pedoman bagaimana penyelenggaraan negara ini diterapkan. Dan juga ada pada Tap MPR No. VI Tahun 2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang mengatur pedoman bidang kehidupan berbudaya, bermasyarakat, politik pemerintahan, penegakan hukum, perekonomian dan lain-lain.

Sedangkan menurut Daniel Mohammad R– RCAM bagian menimbang RUU HIP sudah mencerminkan bahwa UU ini dimaksudkan untuk menafsirkan Pancasila yang tersurat dalam paragraf 4 Pembukaan, seolah-olah ingin mengamandemen konstitusi. Dan pada pasal 1 ayat 3 menempatkan UU ini setara dengan UUD yang menjadi pedoman bagi penyelenggaraan negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di semua bidang serta arah bagi seluruh warga negara dan penduduk Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasal 1 ayat 3 ini menjadi Omnibus Law Cipta Rezim Otoriter untuk membentuk sebuah Masyarakat Pancasila (ayat 10) sesuai kehendak rezim berkuasa.

Selanjutnya Pasal 3:a menempatkan HIP sebagai Pancasila itu sendiri. Pasal 3:3c menyamakan kedudukan Pemerintah yang sah setara dengan Negara KRI. Tampak sekali bahwa RUU ini memberi peluang kelahiran pemerintah otoriter yang mengaku dirinya sama dengan NKRI. Padahal Pemerintah berganti setiap 5 tahun, sedang NKRI tidak.

Pasal 4 :a, b, c, d, e menempatkan RUU ini sebagai omnibus law yang sekaligus pengganti batang tubuh UUD2002. Pasal 6 : 1, 2 menunjukkan upaya untuk mengganti Pancasila sesuai kesepakatan para pendiri bangsa pada sidang PPKI tgl 18/8/1945 dengan konsep Pancasila yang diajukan Bung Karno dalam pidato sidang BPUPKI 1/6/1945. Dan Pasal 7: e dan f mengutip ulang paragraf Pembukaan UUD1945. Serta Pasal 9 : mengajukan visi yang berbeda dengan cita-cita proklamasi yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD1945. Hingga Pasal 18 : a, b, c praktis menempatkan UU ini sebagai konstitusi, artinya melakukan amandemen secara diam2 tanpa melalui prosedur yang seharusnya.

RUU HIP ini juga cenderung dipaksakan dan harus kejar tayang untuk mengokohkan sesuatu. Padahal di masa pandemi ini, pemerintah dan DPR seharusnya memprioritaskan keselamatan masyarakat dan tetap berproduktivitas dalam perekonomian untuk menjaga kestabilan negeri. Namun alih-alih memikirkan hal tersebut para pejabat malah membahas sesuatu hal yang tidak ada manfaatnya secara langsung.

Secara teoritis sebenarnya pancasila tidak tepat dikatakan sebagai ideologi. Kalau ingin mengatakan pancasila sebagai idoelogi maka harus diketahui dulu apa makna ideologi tersebut. Menurut Muhammad Hiwari (2007) ideologi (mabda’) adalah merupakan akidah rasional yang memancarkan aturan untuk semua aspek kehidupan. Sedangkan akidah itu sendiri adalah pemikiran yang menjelaskan hakikat kehidupan dunia yang terdiri dari manusia, alam semesta, dan kehidupan; hakikat realitas yang ada sebelum kehidupan dunia dan realitas yang ada sesudahnnya, serta hubungan ketiganya dengan realitas yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia.[2]

Dan didalam ideologi (mabda’) itu sendiri mencakup fikrah dan thariqah. Fikrah itu sendiri adalag pemikiran menyeluruh dan aturan sebagai pemikiran cabang untuk seluruh aspek kehidupan. Sedangkan thariqah adalah tatacara penerapan aturan akidah, tatacara pemeliharaan, dan tatacara pengembanan akidah. Atau dengan kata lain fikrah dan thariqah itu adalah konsep dan metode.[3] Dan adapun ideologi (mabda’) di dunia ini ada yaitu Komunisme-Sosialisme, Sekulerisme-Kapitalisme, dan Islam.

Hal ini berarti Pancasila bukan ideologi namun dapat disebut sebagai pandangan terhadap nilai-nilai tertentu. Karena ideologi mencakup pemikiran menyeluruh, artinya pemikiran lain adalah bagian dari ideologi tersebut. Sehingga Pancasila dapat termasuk ke dalam ideologi manapun karena termasuk pemikiran cabang. Maka dari itu, Pancasila bisa di bawa ke arah Sosialisme, sebagaimana dulu di Indonesia ada pandangan Nasakom (Nasionalis, Agama & Komunis) oleh Bung Karno sendiri. Dan bisa di bawa ke arah Sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan), sebagaimana Pancasila di masa Soeharto dan masa kini. Yaitu menolak Sosialisme-komunis, namun juga tidak menjadikan agama Islam sebagai pengatur seluruh sendi kehidupan.

Dari sisi praktik, maka tidak ada tataran praktis bagaimana Pancasila itu diamalkan. Ketika manusia itu berbuat pasti akan merujuk kepada pandangan hidupnya sebagai manusia yang berlandaskan ketiga ideologi tadi. Bagi umat islam tentulah akan mengacu kepada islam sebagai pedoman kehidupannya sehari-hari. Jika ada menjalankan dengan landasan Pancasila, maka Pancasila itu harus sesuai dengan islam itu sendiri.

Bahkan para pemikir di negeri ini juga sudah berupaya menyusun bagaimana praktik Pancasila baik dalam Undang-undang maupun sistem dan aturan. Namun tidak ada satupun yang berdasarkan Pancasila, namun semuanya merujuk kepada asas manfaat, mudharat, kebersamaan, musyawarah dan kesepakatan. Kalau seakan-akan sesuai dengan Pancasila maka itu hanya dipaksakan cocok saja.

Kita ambil contoh misalnya, apakah dengan menjual pengelolaan SDA kepada asing termasuk sesuai dengan Pancasila? Apakah hutang yang berkaitan dengan ribanya termasuk sesuai dengan Pancasila? Kalau di jawab sesuai, maka tentu saja ini akan menjadikan Pancasila itu sendiri bertentangan dengan Islam, karena Islam melarang itu semua. Namun kalau tidak sesuai, maka negeri ini tidak pernah mengamalkan Pancasila.

Walhasil perlu kembali kita menelaah dan mendalami konsep dasar dari ideologi itu sendiri. Termasuk bagaimana ideologi itu bisa nejadi aturan dan mengatur kehidupan masyarakat, tanpa ada kepentingan manusia manapun. Karena munculnya ideologi ini berasal dari dua macam cara. Yang pertama dari akal dan benak manusia, dan yang kedua berasal dari wahyu Allah swt. Maka kalau kita lihat aturan yang mengatur negeri ini berasalkan dari akal manusia biasa, dan kesepakatan bersama atau karena suara terbanyak hasil dari voting ketika tidak mencapai kesepakatan. Disana tidak ada Pancasila apalagi agama khususnya agama Islam.
Wallahu’alam

[1] As’ad Said Ali. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa. LP3ES : Jakarta. Hal : 157
[2] Muhammad Hawari. 2007. ReIdeologi Islam. Al-Azhar Press : Bogor. Hal : 112-113.
[3] Ibid. Hal : 113-114.



Posting Komentar untuk "Telaah RUU Haluan Ideologi Pancasila"