Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Walaupun Semua Negara Islam Berutang, Riba Tetaplah Haram

Menarik apa yang dikatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam live instagramnya, beliau mengatakan bahwa semua negara itu berutang. Negara Islam di dunia juga berhutang seperti Uni Emirat Arab, Afganistan, Pakistan. Negara islam di Afrika itu banyak yang miskin dan mereka juga berhutang. (ekbis.sindonews.com, 18/07/20).

Pernyataan ini seolah-olah ingin melegitimasi tindakan berutang pemerintah yang semakin lama semakin agresif hingga menimbulkan utang yang semakin menumpuk. Rupanya kritik – kritik atas utang pemerintah cukup membuat sang Menteri panas hingga seringkali ia membela diri atas tindakan berutangnya. Beberapa waktu sebelumnya, ia juga mengatakan bahwa negara - negara maju juga berutang (bisnis.com, 02/05/20), untuk menunjukkan bahwa Indonesia tidaklah sendirian dalam hal utang-utangan ini. Bedanya, pernyataan terbaru yang disampaikan Sri Mulyani sepertinya ditujukan kepada para pengkritik utang yang mendasarkan kritiknya pada keharaman utang riba dalam islam, sehingga dengan menyampaikan bahwa kalau negara – negara islam melakukan utang, maka seharusnya Indonesia juga tidak dipermasalahkan ketika mengambil utang.

Sri Mulyani dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa utang itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, utang seolah-olah menjadi hal wajib yang harus dilakukan agar perekonomian bisa berjalan. Pemikiran ini sangat bisa dipahami apabila kita menggunakan paradigma ekonomi kapitalis. Dalam ekonomi kapitalis sumber utama pendapatan negara adalah penerimaan perpajakan dan pembiayaan utang. Menurut pikiran kaum kapitalis, pemerintah tidak perlu repot-repot mengurusi secara langsung sumber daya alam ataupun potensi dalam negeri lainnya. Pemerintah cukup membuat regulasi, memberikan fasilitas dan menjamin keamanan bagi para pihak swasta pelaku bisnis. Nantinya pihak swasta akan membayar pajak kepada pemerintah sebagai timbal balik atas apa yang telah dilakukan pemerintah. Apabila penerimaan perpajakan tidak tercapai maka pemerintah tinggal mengambil utang dari pihak luar baik dari negara lain, dari lembaga keuangan internasional maupun dari masyarakat melalui obligasi negara.

Selain itu pilihan mengambil utang merupakan pilihan yang sangat kecil risiko politiknya jika dibandingkan dengan mengoptimalkan penerimaan perpajakan. Apabila pemerintah memilih menaikkan pajak, maka dampak negatifnya akan terasa secara cepat bagi masyarakat. Hal ini karena pajak yang dipungut akan langsung terasa oleh masyarakat dengan adanya kenaikan harga barang karena pajak, atau penghasilan mereka yang akan dipotong pajak lebih banyak. Tentu saja hal tersebut bisa menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Namun apabila pemerintah mengambil utang maka efeknya ‘hanya’ terasa pada pembayaran pokok dan bunga utang yang tidak akan terasa langsung oleh masyarakat, karena beban pembayaran utang tersebut seolah-olah berada ditangan pemerintah yang dialokasikan dalam APBN. Padahal sebenarnya ujung-ujungnya masyarakat juga yang akan menanggung pembayaran utang tersebut. Bahkan generasi selanjutnya yang tidak menikmati uang hasil utang akan mendapatkan warisan pembayaran bunga dan pokok utang. 

Riba tetaplah haram

Apakah dengan argumentasi bahwa karena negara-negara islam juga mengambil utang maka utang tersebut menjadi boleh atau halal? 

Memang dalam ajaran islam tidak ada larangan untuk mengambil utang, namun yang dilarang adalah riba.

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba). Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah: 275)

Ayat tersebut menunjukkan dengan jelas keharaman riba. Riba menurut definisi fuqoha’ adalah memberi tambahan dalam hal-hal khusus. Berkaitan dengan utang, riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pengembalian melebihi dari jumlah pinjaman pokok. Selain ayat tersebut diatas banyak sekali dalil-dalil yang menyatakan keharaman riba.

Dalam konteks utang-utang yang dilakukan pemerintah sebagaimana yang disebutkan Menteri Sri Mulyani, utang-utang tersebut bisa dilakukan kepada negara – negara luar negeri, Lembaga – Lembaga keuangan internasional, maupun utang langsung kepada masyarakat. Dapat dipastikan bahwa atas utang – utang tersebut terdapat tambahan (riba) ketika pemerintah harus melunasi utangnya, sehingga utang tersebut termasuk dalam kategori riba yang jelas keharamannya.

Praktik-praktik yang dilakukan oleh negara-negara islam tidaklah bisa dijadikan dasar untuk melegitimasi kegiatan berutang, apalagi melegitimasi kehalalan pengambilan utang ribawi. Ditambah lagi, negeri-negeri islam yang disebutkan tidaklah pantas disebut dengan negara-negara islam karena mereka tidak menggunakan aturan islam yang kaffah dalam mengatur pemerintahannya. Dalam bidang ekonomi, mereka menggunakan paradigma kapitalis dalam mengambil kebijakan ekonomi, sehingga negara-negara tersebut lebih cocok jika disebut negeri islam daripada disebut dengan negara islam.

Bagaimana solusi islam?

Walaupun utang yang tidak ada riba itu tidak dilarang dalam islam, namun dalam kebijakan APBN dalam islam sedapat mungkin tidak mengambil utang. Negara islam, melalui Baitul Maal, akan mengoptimalkan potensi penerimaan negara yang berasal dari dalam negeri baik dari sumber daya alam ataupun pontensi lainnya. Sebagai gambaran umum, bahwa nantinya pendapatan negara islam akan dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu bagian fa’I dan kharaj, bagian kepemilikan umum dan bagian shadaqah.

Penerimaan dari bagian Fa’I dan Kharaj akan digunakan secara khusus untuk mengatur kepentingan kaum muslimin serta kemaslahatan mereka sesuai dengan ijtihad khalifah. Diantara sumber-sumber penerimaan bagian fa’I dan kharaj adalah ghanimah dan anfal (harta rampasan perang), fai (sesuatu yang dikuasai tanpa pengerahan pasukan), khumus (seperlima bagian dari ghanimah), kharaj (pungutan atas tanah), jizyah (pungutan kepada orang kafir), maupun dharibah (pajak) dalam kondisi tertentu.

Penerimaan dari bagian pemilikan umum juga akan digunakan untuk kepentingan kaum muslim berdasarkan keputusan dan ijtihad khalifah dalam koridor hukum syara’. Adapun bagian kepemilikan umum dapat berasal dari bidang minyak dan gas, listrik, pertambangan, kekayaan laut, sungai, perairan, hutan, padang gembalaan dan kepemilikan umum lainnya.
Adapun penerimaan dari shadaqah akan disalurkan secara khusus bagi delapan golongan orang – orang yang berhak menerima zakat. Pendapatan shadaqah berasal dari zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, dan zakat ternak.

Dari gambaran tersebut terlihat bahwa sebenarnya sumber-sumber penerimaan negara islam sangatlah variatif dengan potensi yang besar, dan tanpa mengandalkan utang. Selain itu, praktek-praktek keuangan ribawi akan dilarang sehingga akan mendorong produktifitas di sektor riil. Negara juga tidak akan lupa untuk membangun infrastruktur untuk mendorong kegiatan ekonomi, menyediakan fasilitas pendidikan, kesehatan dan kebutuhan pokok yang terjangkau yang akan membawa masyarakat dalam taraf sejahtera. Sayangnya, paradigma pengelolaan keuangan negara tersebut tidak dapat diterapkan saat ini karena negara-negara di negeri-negeri islam masih terpesona dengan paradigma ekonomi kapitalis yang tidak bisa lepas dari bayang – bayang praktek ribawi yang sudah jelas keharamannya, dan sejatinya praktek tersebut tidak akan membawa pada kesejahteraan masyarakat yang hakiki.

Oleh: Abu Syauqi (Pemerhati Ekonomi)

Posting Komentar untuk "Walaupun Semua Negara Islam Berutang, Riba Tetaplah Haram"