DILEMATIS SEKOLAH DI TENGAH PANDEMI
Oleh: Raevita, S.Pd
Daring atau Luring, istilah yang sudah akrab ditelinga kita selama masa pandemi ini. Pesebaran covid-19 yang sangat cepat sehingga menjadi pandemik global, termasuk Indonesia, karena covid-19 terdeteksi masuk pada awal Maret 2020.
Pandemik global tentunya memaksa semuanya untuk membatasi aktivitas dan melaksanakan protokol kesehatan yang telah ditentukan pemerintah.
Hal tersebut diterapkan di semua sektor, termasuk sektor pendidikan. Tepatnya tanggal 17 Maret 2020, sekolah-sekolah diliburkan dan dilanjutkan dengan pembelajaran via daring (dalam jaringan) dan luring (luar jaringan). Namun setelah berjalan kurang lebih 3 bulan ternyata pembelajaran via daring ini tidak efektif dan efisien. Karena aktivitas BDR (belajar di rumah) via online, menggunakan fasilitas hp/android, menyebabkan guru dan orangtua memerlukan budget lebih untuk pulsa atau paket datanya.
Belum lagi ditambah orangtua harus mempunyai keterampilan dalam menggunakan aplikasi zoom, google met, google classroom, dsb dalam mendampingi ananda belajar di rumah.
Kapankah kondisi ini berakhir? Semua diluar kuasa kita sebagai manusia. Namun selama pandemi ini belum berakhir, dunia pendidikan akan terus dengan program BDR nya. Sangat dibutuhkan solusi dalam menghadapi BDR agar tidak membebani guru dan memberatkan orang tua, sehingga pendidikan anak-anak tidak terabaikan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, mengibaratkan pandemi covid-19 sebagai ledakan awal mula kebangkitan pendidikan Indonesia.
"Seperti ledakan yang melontarkan roket ke luar angkasa, pandemi ini adalah ibarat ledakan yang dapat jadi momentum kebangkitan pendidikan Indonesia. Kita semua akan berusaha mewujudkannya," kata Nadiem dalam webinar "Pendidikan Indonesia di Masa Pandemi covid-19", Kamis (30/7). CNN Indonesia.
Nadiem kemudian menyampaikan bahwa salah satu upaya Kemendikbud merespons pandemi covid-19 adalah penerapan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Tujuan utama kebijakan ini untuk mencegah lembaga pendidikan menjadi klaster penyebaran vovid-19.
Selain itu, kata Nadiem, PJJ saat pandemi juga menjadi eksperimen. Menurutnya, praktik PJJ saat ini membuka mata Indonesia terhadap tantangan dan potensi pembelajaran di masa mendatang.
Pemerintah menerapkan kebijakan belajar di rumah atau PJJ akibat pandemi covid-19.
Kebijakan itu resmi diterapkan lewat surat edaran Mendikbud tanggal 24 Maret lalu.
Pandemi virus corona telah menyebabkan "darurat pendidikan yang belum pernah terjadi sebelumnya", dengan 9,7 juta anak yang terkena dampak penutupan sekolah berisiko putus sekolah secara permanen, kata lembaga amal Save the Children pada Senin (BBC News Indonesia, 13/07).
Mereka mengutip data UNESCO yang menunjukkan bahwa pada bulan April, 1,6 miliar pelajar diliburkan dari sekolah dan universitas karena langkah-langkah untuk menekan penyebaran covid-19. Angka tersebut merupakan sekitar 90% dari seluruh populasi siswa di dunia.
"Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, satu generasi anak-anak di seluruh dunia terganggu pendidikannya," kata lembaga itu dalam sebuah laporan baru bertajuk Save our Education, seperti dikutip kantor berita AFP.
Mereka menjelaskan bahwa bencana ekonomi dari krisis ini bisa mendorong 90 hingga 117 juta anak ke dalam kemiskinan, yang berdampak langsung pada penerimaan murid di sekolah.
Dengan banyaknya anak yang dituntut untuk bekerja atau anak perempuan yang dipaksa menikah dini demi menghidupi keluarga mereka, antara 7 juta hingga 9,7 juta anak terancam putus sekolah.
Seharusnya jika kita berkaca kepada sistem Islam dalam mengatasi wabah yang terjadi di tengah-tengah umat seperti saat ini, pastilah kondisi BDR tidak akan kita jalankan dengan waktu yang sangat lama seperti sekarang.
Sebab, dalam sistem Islam wilayah yang tidak terkena dampak wabah tetap bisa menjalankan kehidupan secara normal, termasuk aktivitas belajar dan bekerja seperti biasanya. Kecuali daerah yang terkena wabah, dilarang utk beraktivitas keluar rumah bagi orang-orang yang terdampak wabah tersebut.
Rasulullah bersabda: “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” (HR. al Bukhori)
Berbeda pada sistem hari ini, solusi yang diberikan penguasa dalam menangani wabah tidak kunjung memberikan penyelesaian yang bijak terhadap semua problematika umat, yang ada malah menambah masalah baru, seperti pepatah: sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Termasuklah masalah yang dialami dunia pendidikan saat ini. Beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah tidak ada yang mampu memberikan solusi yang nyata bagi umat.
Selama masa pandemik covid-19 Pendidikan hampir semua Negara menerapkan pola baru dalam sistem pembelajarannya. Salah satu nya dengan menetapkan kebijakan Pembelajaran Jarak jauh (PJJ) atau istilah lainnya Belajar di Rumah (BDR) baik dengan sistem dalam jaringan (daring) maupun luar jaringan (luring).
Pertanyaannya, Bagaimana dengan kondisi siswa yang ekonomi orang tuanya kurang mampu, sehingga tidak mempunyai fasilitas hp/android untuk mengakses pembelajaran dari gurunya? Atau bagaimana dengan siswa yang tinggal di pemukiman pedalaman yang tidak ada sinyal internetnya?
Maka wajar jika kondisi pandemik saat ini banyak anak-anak yang putus sekolah akibat tidak bisa melakukan BDR secara optimal seperti yang diharapkan.
Proses BDR ini sangat berbeda sekali dengan pembelajaran langsung (tatap muka). Kondisi BDR membuat siswa tidak belajar secara langsung bertemu dengan gurunya, melainkan siswa belajar secara online di mana materi pembelajaran diberikan guru melalui virtual.
Sehingga kondisi ini mengharuskan setiap siswa menggunakan hp/android/gadget. Jika pun ada pertemuan tatap muka secara langsung akan menggunakan aplikasi zoom, goggle meet, atau goggle classroom. Dengan demikian orangtua harus mempunyai budget lebih untuk biaya pulsa atau paket data, dan orang tua juga dituntut untuk bisa menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut.
Belum selesai dengan masalah sarana dalam BDR, orang tua juga dibebankan untuk mendampingi ananda belajar dan mengerjakan tugas. Iya jika orangtuanya paham tentang pelajaran yang diberikan gurunya, namun ada juga orang tua yang kurang menguasai materi sehingga mengalami kesulitan ketika mengajari anak-anaknya belajar, belum lagi ditambah dengan tugas rumah tangga yang seabrek.
Walhasil sistem belajar daring ini membuat orangtua darting (darah tinggi). Belum selesai memikirkan penyelesaian tugas anak-anaknya, orang tua juga dihadapkan dengan dampak negatif gadget jika digunakan anak-anak yang belum cukup umur. Diantaranya, bahaya radiasi hp, merusak mata dan mengganggu syaraf-syaraf otak, kecanduan game, kekhawatiran membuka situs porno, dan lain sebagainya.
Jadi, pendidikan dengan sistem kurikulum darurat yang direncanakan alih-alih menjadi ledakan momentum kebangkitan pendidikan Indonesia, yang ada malah akan menjadi bom waktu bagi kehancuran generasi umat.
Namun dalam kondisi serba dilematis ini, belum ada solusi konkrit dari pemerintah untuk mengatasinya. Inilah salah satu dampak penerapan sistem kapitalis sekuler di negeri ini. Dalam sistem pendidikan tidak ada visi dan misi bagaimana agar selama pandemi peserta didik tetap mendapatkan haknya dalam pendidikan yang berkualitas.
Negara seakan abai terhadap masalah rakyat dalam hal pendidikan. Tidak ada disediakan fasilitas pendukung, baik alat virtual, kuota gratis dan akses internet bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Islam sebagai sebuah agama dan juga sistem kehidupan sangat memperhatikan masalah pendidikan. Dalam al Qur’an dan Sunnah Rosulullah, dapat diketahui bahwa Islam mewajibkan setiap umat Islam baik laki-laki ataupun perempuan untuk menuntut ilmu. Bahkan Allah memberikan derajat yang lebih tinggi kepada setiap orang yang berpengetahuan. Seperti dalam terjemahan QS. Al Mujadalah: 11 yang artinya ”Allah mengangkat derajat orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Dan Rosulullah juga bersabda: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, Abu Daud, Ibn Adi, al Baihaqi dan ath Thabrani).
Pendidikan adalah kewajiban bagi setiap individu. Penguasa harusnya bertanggung jawab terhadap rakyatnya agar setiap warga mampu melakukan kewajiban tersebut. Maka dari itu, biaya pendidikan menjadi tanggung jawab negara, dengan kesempatan yang sama kepada setiap warga negaranya (walaupun seorang warga yang miskin) sehingga dia tidak akan tertinggal dari siapapun. Hal ini sudah dibuktikan selama berabad-abad pada masa Kekhalifahan Islam.
Kondisi pandemi saat ini tidak bisa kita hindari, masalah covid-19 ini berhubungan dengan kesehatan bahkan nyawa, sehingga mengharuskan setiap aktivitas dikerjakan di rumah dalam rangka mengurangi penyebaran wabah. Jadi meskipun dalam kondisi pandemic, kita tidak boleh meninggalkan kewajiban kita dalam hal menuntut ilmu.
Maka seharusnya negara bertanggung jawab untuk menyediakan segala sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan umat saat pandemi seperti sekarang ini.
Semisal, jika pemerintah mengharuskan PJJ, maka setiap guru difasilitasi dengan hp/android, laptop bahkan paket data yang memadai dalam hal memberikan pembelajaran kepada peserta didiknya, sehingga tidak ada guru yang harus bersusah payah memikirkan sarana prasarana dan hanya fokus menyiapkan pembelajaran yang kreatif dan berkualitas untuk peserta didiknya.
Sedangkan kepada setiap peserta didik, dalam hal ini orangtua difasilitasi hp/android yang baik dalam rangka memudahkan anak-anak mereka untuk menerima pembelajaran dari gurunya selama Pandemi, mengingat kondisi pandemi ini peluang untuk bekerja/mencari nafkah juga terbatas geraknya. Dengan demikian guru ataupun orang tua bisa fokus dalam memberikan pendidikan anak-anaknya tanpa harus merasa beban dalam mendampingi ananda belajar di rumah lagi, dan tanpa harus memilih apakah mau meneruskan hidup atau mementingkan pendidikan anak-anaknya.
Kepala negara (Khalifah) sebagai pemimpin tunggal kaum Muslim di seluruh dunia memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam mengurusi urusan umat. Rasulullah Saw. bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. al-Bukhari).
Sangat jelas, keberhasilan sistem pendidikan darurat covid-19 saat ini tergantung kepada peran serta negara. Dan negara akan sangat mudah mengatasi masalah pendidikan di tengah pandemi jika negara menerapkan sistem Islam dalam mengatasi problematika kehidupan umat.
Wallahu a’lam bi ashshowab.
Posting Komentar untuk "DILEMATIS SEKOLAH DI TENGAH PANDEMI"