Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Manajemen Bencana Alam dalam Islam

Wilayah Indonesia merupakan gugusan kepulauan terbesar di dunia. Wilayah yang juga terletak di antara benua Asia dan Australia dan Lautan Hindia dan Pasifik ini memiliki 17.508 pulau. Meskipun tersimpan kekayaan alam dan keindahan pulau-pulau yang luar biasa, perlu juga menyadari bahwa wilayah nusantara ini memiliki 129 gunung api aktif, atau dikenal dengan ring of fire, serta terletak berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia: Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.

Ring of fire dan berada di pertemuan tiga lempeng tektonik menempatkan negeri kepulauan ini berpotensi terhadap ancaman bencana alam. Di sisi lain, posisinya yang berada di wilayah tropis serta kondisi hidrologis memicu terjadinya bencana alam lainnya, seperti angin puting beliung, hujan ekstrim, banjir, tanah longsor, dan kekeringan.

Banyak contoh bencana alam besar yang pernah terjadi di Indonesia seperti gempa, tsunami, dan letusan gunung dengan korban jiwa serta harta benda yang sangat besar. Gunung Karakatau meletus pada 1883, kemudian gempa yang disusul tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 dengan jumlah korban 130 ribu jiwa. Gempa yang berkekuatan 8,7 SR di Nias menimbulkan korban sekira 900 orang, gempa Yogya menewaskan 300 jiwa, gempa Padang pada 2009 dengan jumlah korban 500 orang. Gempa di Mentawai pada Oktober 2010 menyebabkan 509 jiwa melayang, belum termasuk yang hilang. Semua itu belum termasuk bencana alam yang diakibatkan banjir bandang di Wasior yang menelan korban sampai ratusan orang.

Tentu saja, bencana tersebut sangat menyedihkan umat Islam dan seluruh elemen bangsa ini, bahkan masyarakat dunia pun ikut berduka karena bencana tersebut. Pasalnya, setelah Lombok yang dijuluki pulau seribu masjid diluluhlantakkan gempa bumi yang belum terbenahi secara sempurnya, tak lama kemudian Donggala Palu Sulawesi Tengah dilanda Tsunami dan gempa yang teramat dahsyat. Menurut pemberitaan Republika 2/10/2018 dilaporkan korban meninggal mencapai 884 orang, hilang 90 orang, luka-luka 632 orang, dan 48.025 orang terpaksa mengungsi di 103 titik. Yang lebih menyedihkan penyikapan dan penanganan korban oleh pihak yang berwenang masih sangat jauh dari harapan.

Memahami bencana alam

Keith Smith & David N. Petley dalam buku “Environmental Hazards: Assessing risk and reducing disaster” mendefinisikan bencana sebagai berikut: Disasters are social phenomena that occur when a community suffers exceptional levels of disruption and loss due to natural processes or technological accidents. Berdasarkan definisi tersbut dapat dipahami bahwa bencana alam sesungguhnya merupakan fenomena sosial akibat peristiwa alam. Tidak semua peristiwa alam seperti gempabumi atau tanah longsor dapat disebut bencana alam. Namun ketika bersentuhan dengan manusia dan menimbulkan kerugian harta dan jiwa maka itulah yang disebut bencana alam.

Bencana alam yang menimpa manusia merupakan qadha’ dari Allah SWT. Namun, di balik qadha’ tersebut ada fenomena alam yang bisa dicerna. Termasuk ikhtiar untuk menghindarinya sebelum bencana alam terjadi. Dalam suatu kejadian bencana alam ada domain yang berada dalam kuasa manusia dan yang berada di luar kuasa manusia. Segala upaya yang dapat meminimalisir bahkan dapat menghindarkan dari bahaya dan risiko bencana alam ialah domain yang berada dalam domain kuasa manusia. Peristiwa alam yang menghasilkan bencana alam tidak dapat dicegah ataupun dihilangkan. Namun segala usaha menghindarkan interaksi antara peristiwa alam yang menimbulkan bencana alam dengan manusia, inilah yang termasuk ke dalam upaya manajemen dan mitigasi bencana alam.

Menyelamatkan diri atau orang lain dari bahaya termasuk dalam kategori ikhtiar (usaha) yang wajib dilakukan. Umar bin Khattab RA dikisahkan menghindari suatu daerah yang sedang dilanda wabah penyakit. Ketika ditanya apakah perbuatan seperti itu tidak berarti menghidar dari takdir karena terkena penyakit adalah sebuah takdir yang jika Allah telah menetapkannya, maka manusia tidak akan bisa menghindar. Maka ’Umar menjawab bahwa ia menghindari suatu takdir untuk menuju takdir yang lain. Kisah ini menggambarkan bahwa fatalisme (pasrah) dalam situasi bencana alam adalah sikap yang tidak dibenarkan oleh Islam. Allah melarang orang-orang yang beriman untuk putus asa ketika ditimpa bencana alam dan mengharuskan bersikap positif (husn al-dhann) terhadap pertolongan Allah (wa la tai’asu min rauhillah). Dalam semangat yang sama walaupun dalam konteks yang berbeda, Nabi Muhammad ﷺ mengharuskan umatnya untuk memenuhi hak-hak keselamatan diri, misalnya larangannya terhadap puasa wisal (bersambung tanpa buka) dan menyatakan bahwa badan dan mata manusia punya hak istirahat agar tetap dalam keadaan sehat. Dalam makna yang lebih luas, ini berarti kewajiban untuk menyelamatkan nyawa manusia.

Secara teknis, upaya manajemen bencana alam dalam Islam tidaklah banyak berbeda dengan banyak metode yang telah diterapkan saat ini di seluruh dunia. Namun perbedaan dalam memandang sumber pencipta bencana alam, yaitu dengan adanya ketetapan Allah azza wa jalla, mengakibatkan ada sedikit perbedaan dalam langkah awal ketika terjadi suatu kejadian bencana alam, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah  ﷺ  dan khalifah setelahnya, Umar bin Khattab RA.

Suatu kali di Madinah terjadi gempa bumi. Rasulullah  ﷺ  lalu meletakkan kedua tangannya di atas tanah dan berkata, “Tenanglah … belum datang saatnya bagimu.” Lalu, Nabi  ﷺ  menoleh ke arah para sahabat dan berkata, “Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian … maka jawablah (buatlah Allah ridha kepada kalian)!”

Sepertinya, Umar bin Khattab RA mengingat kejadian itu. Ketika terjadi gempa pada masa kekhalifahannya, ia berkata kepada penduduk Madinah, “Wahai Manusia, apa ini? Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, aku tak akan bersama kalian lagi!”

Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga tak tinggal diam saat terjadi gempa bumi pada masa kepemimpinannya. Ia segera mengirim surat kepada seluruh wali negeri, Amma ba’du, sesungguhnya gempa ini adalah teguran Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan saya telah memerintahkan kepada seluruh negeri untuk keluar pada hari tertentu, maka barangsiapa yang memiliki harta hendaklah bersedekah dengannya.”

Langkah awal yang dilakukan ketika terjadi bencana alam ialah bertaubat sambil mengingat kemaksiatan apa yang dilakukan sehingga Allah menurunkan bencana alam tersebut kepada suatu kaum. Hal ini juga menjadi penjaga kesadaran dan kondisi ruhiyah masyarakat, khususnya yang berada pada daerah rawan bencana alam untuk senantiasa menjaga ketaatan pada syariah dalam lingkup individu dan masyarakat, karena bencana alam dapat datang sewaktu-waktu dan memusnahkan setiap orang yang berada di daerah tersebut baik yang taat pada syariah maupun ahli maksiat.

Siklus manajemen bencana alam dan peran Khilafah

Tujuan dari Manajemen Bencana alam menurut The Global Development Research Center ialah:

  1. Mengurangi atau menghindarkan dampak kerugian dari bahaya bencana alam;
  2. memastikan sampainya bantuan dengan cepat pada korban;
  3. mencapai pemulihan masyarakat yang cepat dan efektif.

Manajemen bencana alam bertujuan untuk mengurangi atau menghindari potensi kerugian dari bahaya yang ditimbulkan oleh bencana alam, memastikan bantuan yang cepat dan tepat untuk korban bencana alam, dan melakukan proses pemulihan yang cepat dan efektif. Siklus manajemen bencana alam menggambarkan proses berkelanjutan dimana khilafah dan masyarakat sipil berencana untuk mengurangi dampak bencana alam, bereaksi ketika dan setelah bencana alam, dan mengambil langkah-langkah untuk pemulihan setelah bencana alam terjadi. Tindakan yang tepat pada semua tahapan dalam siklus ini menghasilkan sebuah kesiapan yang lebih baik, kesadaran yang lebih baik, dan akan mengurangi tingkat kerentanan terhadap bencana alam pada periode pengulangan berikutnya dari siklus ini. Siklus manajemen bencana alam yang lengkap mencakup aspek penyusunan kebijakan publik dan perencanaan yang baik dalam memodifikasi faktor penyebab bencana alam atau mengurangi dampak bencana alam pada manusia, properti, dan infrastruktur.

Fase mitigasi dan kesiapsiagaan dilakukan untuk mengantisipasi peristiwa bencana alam. Perspektif pembangunan yang berkelanjutan memainkan peran kunci dalam memberikan kontribusi bagi mitigasi dan persiapan masyarakat untuk secara efektif menghadapi bencana alam. Ketika bencana alam terjadi, pihak yang terlibat dalam penanggulangan bencana alam terlibat dalam fase respon cepat dan pemulihan jangka panjang. Empat fase manajemen bencana alam yang digambarkan di sini tidak selalu dilaksanakan dalam urutan yang tetap. Seringkali fase dalam siklus ini tumpang tindih dan lamanya setiap tahap sangat tergantung pada tingkat keparahan bencana alam.

  1. Mitigasi – Meminimalisir dampak dari bencana alam. Contoh: standar bangunan dan zonasi rawan bencana alam; analisis kerentanan; edukasi publik.
  2. Kesiapsiagaan – Perencanaan menanggapi datangnya bencana alam. Contoh: rencana kesiapsiagaan; pelatihan kondisi darurat; perdiksi dan sistem peringatan dini.
  3. Tanggap darurat – Upaya untuk meminimalkan bahaya yang diciptakan oleh bencana alam. Contoh: pencarian dan penyelamatan; bantuan darurat.
  4. Pemulihan – Normalisasi kehidupan masyarakat. Contoh: perumahan sementara; hibah; perawatan medis.

Mitigasi

Menurut ADPC Primer Team (2005), mitigasi merupakan tindakan-tindakan struktural dan non-struktural untuk membatasi dampak yang merugikan dari bencana alam, degradasi lingkungan, dan bencana alam teknologis. Mitigasi struktural ialah tindakan – tindakan struktural berkenaan dengan berbagai konstruksi fisik untuk mengurangi atau mungkin menghindarkan dampak bencana alam, yang mencakup tindakan – tindakan rekayasa dan konstruksi tahan-bencana alam, bangunan, pelindung dan prasarana lainnya. Mitigasi non-struktural ialah tindakan-tindakan non-struktural berkenaan dengan kebijakan, kesadaran, pengembangan pengetahuan, komitmen publik, serta metode dan praktik operasional, yang mencakup mekanisme partisipatori serta persediaan informasi, yang dapat mengurangi risiko dan dampak-dampak yang berhubungan. Mitigasi nonstruktural ini juga mencakup praktik-praktik seperti zonasi lahan, perencanaan penggunaan lahan, perencanaan perkotaan, dan forensic terhadap bencana alam sebelumnya.

Inti dari kegiatan mitigasi ialah untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya bencana alam, atau mengurangi efek dari bencana alam yang tidak dapat dihindari. Langkah-langkah mitigasi yang umum dilakukan termasuk dengan menyusun standar minimal bangunan yang tahan bencana alam; memperbarui analisis bahaya dan risiko bencana alam; penetapan zonasi rawan bencana alam dan pengaturan tataguna lahan; menyusun peraturan penggunaan bangunan dan standar keamanan; dan pendidikan masyarakat.

Khilafah harus bertindak tegas dalam kegiatan mitigasi ini dalam aspek pembangunan infrastruktur maupun bangunan privat serta pengaturan tata guna lahan dalam pemanfaatan lahan yang dapat dijadikan tempat bermukim atau tidak dibolehkan sama sekali. Selain itu, penjaminan atas kerusakan akibat bencana alam juga harus dipastikan, selama standar bangunan dan pemanfaatan lahan ditaati dengan baik. Praktek asuransi tidak diperbolehkan dalam hal penjaminan ini. Penyediaan alokasi dana pun harus ditetapkan berdasarkan peniaian yang dilakukan oleh ahli mengenai potensi bahaya yang ada pada daerah tertentu dan potensi kerugian yang mungkin diderita ketika terjadi bencana alam.

Mitigasi akan tergantung pada keselarasan yang tepat dalam perencanaan pembangunan nasional dan di daerah. Efektivitasnya juga akan tergantung pada ketersediaan informasi tentang bahaya bencana alam, risiko darurat, dan langkah penanggulangan yang akan diambil. Tahap mitigasi, dan siklus manajemen bencana alam secara keseluruhan, harus menjadi acuan dalam penyusunan kebijakan dan perencanaan publik, dalam hal merekayasa faktor penyebab bencana alam secara struktural atau mengurangi dampak bencana alam pada manusia, properti, dan infrastruktur.

Kesiapsiagaan

Target dari tahapan kesiapsiagaan adalah mencapai tingkat kesiapan yang memuaskan untuk menanggapi situasi darurat bencana alam melalui program-program yang akan memperkuat kapasitas teknis dan manajerial bagi aparat khilafah, organisasi, dan masyarakat. Langkah-langkah ini dapat digambarkan sebagai kesiapan logistik untuk menangani bencana alam dan dapat ditingkatkan dengan mekanisme dan prosedur dalam merespon bencana alam, latihan, membangun strategi jangka panjang dan jangka pendek, pendidikan masyarakat, dan membangun sistem peringatan dini. Kesiapsiagaan juga bisa berupa penjaminan bahwa cadangan strategis makanan, peralatan, air, obat-obatan dan kebutuhan lainnya dapat dimaanfatkan sewaktu-waktu ketika terjadi bencana alam nasional atau lokal.

Termasuk ke dalam fase kesiapsiagaan ialah menyiapkan mental masyarakat ketika terjadi bencana alam, terkait dengan risiko hilangnya harta benda dan jiwa. Hal ini juga harus sering ditanamkan dalam pelatihan dan simulasi yang dilakukan secara berkala hingga tercapai kesiapan yang mantap ketika suatu waktu terjadi bencana alam.

Selama fase kesiapsiagaan, khilafah dan masyarakat menyiapkan rencana untuk menyelamatkan nyawa, meminimalisir kerusakan akibat bencana alam, dan meningkatkan kualitas operasi tanggap bencana alam. Tindakan-tindakan yang termasuk rencana kesiapsiagaan di antaranya; pelatihan menghadapi kondisi darurat; sistem peringatan dini; sistem komunikasi darurat; rencana dan pelatihan evakuasi; penyiapan cadangan sumber daya; daftar kontak/personil darurat; perjanjian untuk saling membantu antar kelompok masyarakat; dan penyediaan informasi publik/pendidikan. Serupa dengan tahapan mitigasi, kesiapsiagaan bergantung pada keselarasan langkah yang tepat dalam rencana pembangunan nasional dan daerah. Selain itu, efektivitasnya bergantung pada ketersediaan informasi tentang bahaya, risiko darurat, dan langkah penanggulangan yang akan diambil. Lembaga di bawah khilafah, organisasi masyarakat dan masyarakat umum harus dapat mengakses dan memanfaatkan informasi ini

Tanggap darurat

Tujuan dari tanggap darurat adalah untuk memberikan bantuan segera untuk mempertahankan hidup, memulihkan kesehatan, dan dukungan moral untuk penduduk yang terkena bencana alam. Bantuan tersebut dapat berupa pemberian bantuan khusus, namun bersifat terbatas, seperti sarana transportasi, tempat tinggal sementara, makanan, pemukiman semi permanen di kamp-kamp, dan lokasi lainnya. Hal ini juga dapat melibatkan perbaikan awal untuk infrastruktur publik yang rusak.

Fokus pada tahapan ini adalah pada pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sampai solusi yang lebih permanen dan berkelanjutan dapat ditemukan. Organisasi kemanusiaan seringkali terlibat dalam fase ini. Namun khilafah harus dapat memastikan bahwa organisasi kemanusiaan yang terlibat dalam fase ini tidak sampai disusupi oleh kepentingan-kepentingan yang dapat merusak aqidah umat ataupun memecah belah persatuan di dalam masyarakat.

Khilafah harus mengambil porsi yang besar dalam tahapan ini, selain karena kewajiban tersebut ada padanya, juga untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan buruk yang masuk bersama dengan bantuan-bantuan dari pihak asing. Segala macam bantuan harus diserahkan pada khilafah sekaligus bertanggung jawab dalam menyalurkannya pada orang-orang yang membutuhkan bantuan beserta jenisnya dengan tepat.

Jika di baitul mal tidak lagi tersedia dana untuk masa tanggap darurat ini, dapat menggunakan alokasi dana penanggulangan bencana dari bagian lain dari wilayah khilafah. Sebagaimana ketika khilafah di bawah pimpinan Umar RA mengalami paceklik, yang diriwayatkan oleh Ibn Syabbah dalam Akhbârul-Madînah dari jalan Al-Haitsam bin Adi, juga dari jalan Al-Walîd bin Muslim Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: ”Aku telah diberitahukan oleh Abdurahmân bin Zaid bin Aslam Radhiyallahu ‘anhu dari ayahnya dari kakeknya bahwa Umar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu untuk mengirim makanan dari Mesir ke Madinah melalui laut Ailah pada tahun paceklik”. Instrumen pajak bisa digunakan ketika baitul mal dan bantuan dari wilayah lain dalam khilafah tidak mencukupi. Dengan syarat ditariknya pajak hanya dari golongan masyarakat yang mampu.

Pemulihan

Seiring dengan dapat dikendalikannya kondisi darurat, penduduk yang terkena dampak akan mampu melakukan semakin banyak kegiatan yang memulihkan kehidupan normalnya. Kegiatan pemulihan berlanjut sampai semua sistem kehdupan kembali normal atau lebih baik. Langkah-langkah pemulihan, baik jangka pendek dan jangka panjang, termasuk mengembalikan sistem yang mendukung kehidupan masyarakat yang bersifat penting; perumahan sementara; informasi publik; pendidikan; dan program konseling.

Penutup

Khilafah sudah selayaknya mengambil peran sentral dalam upaya menghindarkan masyarakat dari dampak bencana alam atau meminimalisirnya. Sejak sebelum terjadinya bencana alam, ketika masa tanggap darurat, hingga masa pemulihan dan kehidupan kembali normal. Sebagaimana yang dicontohkan oleh khalifah Umar bin Khattab RA pada saat daerah Hijaz benar-benar kering kerontang akibat musibah paceklik pada akhir tahun ke 18 H, tepatnya pada bulan Dzulhijjah, dan berlangsung selama 9 bulan yang diceritakan dalam At-Thabaqâtul-Kubra karya Ibnu Sa’ad. Penduduk-penduduk pedesaan banyak yang mengungsi ke Madinah dan mereka tidak lagi memiliki bahan makanan sedikitpun. Mereka segera melaporkan nasib mereka kepada Amîrul Mukminîn Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.

Umar Radhiyallahu ‘anhu cepat tanggap dan menindaklanjuti laporan ini. Dia segera membagi-bagikan makanan dan uang dari baitul mâl hingga gudang makanan dan baitul mâl kosong total. Dia juga memaksakan dirinya untuk tidak makan lemak, susu maupun makanan yang dapat membuat gemuk hingga musim paceklik ini berlalu. Jika sebelumnya selalu dihidangkan roti dan lemak susu, maka pada masa ini ia hanya makan minyak dan cuka. Dia hanya mengisap-isap minyak, dan tidak pernah kenyang dengan makanan tersebut. Hingga warna kulit Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadi hitam dan tubuhnya kurus; dan dikhawatirkan dia akan jatuh sakit dan lemah. Kondisi ini berlangsung selama 9 bulan. Setelah itu keadaan berubah kembali menjadi normal sebagaimana biasanya. Akhirnya para penduduk yang mengungsi tadi, bisa pulang kembali ke rumah mereka.

Adanya potensi bencana alam pada suatu tempat adalah ketetapan dari Allah yang tidak bisa dihindari. Namun ada ikhtiar yang dapat dilakukan untuk menghindar dari keburukan yang dapat ditimbulkan, dan upaya-upaya tersebut sudah dicontohkan sebelumnya oleh Rasulullah dan para sahabat ridwanullah alaihim. Sehingga potensi bencana alam dapat dihindari dengan kebijakan Negara khilafah yang tidak saja didasarkan pada pertimbangan rasional, tetapi juga oleh nash syariah.

Manajemen penanganan bencana alam disusun dan dijalankan dengan berpegang teguh pada prinsip “wajibnya seorang Khalifah melakukan ri’ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya”. Pasalnya, khalifah adalah seorang pelayan rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban atas pelayanan yang ia lakukan. Jika ia melayani rakyatnya dengan pelayanan yang baik, niscaya ia akan mendapatkan pahala yang melimpah ruah. Sebaliknya, jika ia lalai dan abai dalam melayani urusan rakyat, niscaya, kekuasaan yang ada di tangannya justru akan menjadi sebab penyesalan dirinya kelak di hari akhir. 

Wallahu a’lam bish shawab.

Oleh: Habibi (Kontributor Kolom Analisis) 

Posting Komentar untuk "Manajemen Bencana Alam dalam Islam "