Penjegalan Film Dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara, Proyek Pembungkaman Sejarah
Oleh: Ong Hwei Fang (Pemerhati Isu Politik)
Penayangan film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara yang bertepatan dengan perayaan tahun baru Islam 1 Muharram 1442 H mengalami pemblokiran situs dari pihak tertentu. Hal ini menjadi perdebatan publik hingga menduduki trending topic di Twitter. Pasalnya, film yang digadang-gadang sebagai petunjuk hubungan Indonesia dengan Khilafah ini, memiliki animo tersendiri di hati masyarakat.
Dalam belantara pengetahuan, sejarah memiliki posisi yang penting dan signifikan. Bisa dikatakan sebagai mother of knowledge. Berangkat dari sejarah, pengetahuan dapat digali dan dikaji demi kebajikan peradaban pada era yang akan datang. Proses memahami dalam kajian sejarah harus dibarengi pula dengan pendekatan dan metodologi yang memadai, karena jika tidak demikian wajah sejarah tidak lagi indah untuk dinikmati, akan tetapi berubah sebagai sejarah berwajah garang karena diperas untuk kepentingan sebuah kelompok. Oleh karena itu, menempatkan sejarah sebagai ruang yang bersih, obyektif dan bebas kepentingan harus dilalui dengan pendekatan, metodologi ilmiah, dan akademik, sehingga kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan.
Film Jejak Khilafah di Nusantara diinisiasi Sejarawan, Nicko Pandawa bersama Komunitas Literasi Islam JKDN. Film tersebut dikemas secara dokumenter dengan garis besar menceritakan hubungan Indonesia yang dulu disebut nusantara, ternyata memiliki kaitan erat dengan Khilafah Islamiyah. Nicko Pandawa, salah satu tim pembuat film JKDN adalah alumnus Sejarah Peradaban Islam di salah satu perguruan tinggi Islam ternama. Di film ini, Nicko berusaha menyajikan sejarah Islam yang kredibel melalui film dokumenter yang diangkat dari skripsinya berdasarkan data-data otentik yang tersebar di Nusantara.
Menurut sang sutradara, film JKDN ini setidaknya akan membuka gerbang sejarah peradaban Islam di Indonesia atau Nusantara, memberikan kunci yang hilang di masa lalu seolah dikaburkan tertutup pasir. Terlepas dari kontroversinya, tak ada salahnya menyimak film dokumenter tersebut, sebab menjadi bagian khazanah ilmu pengetahuan tentang Islam, baik yang mendukung atau menolak Khilafah.
Teori Masuknya Islam ke Indonesia
Berbicara tentang masuknya Islam ke Indonesia atau Nusantara, paling tidak akan ditemukan tiga teori yang paling masyhur diantara beberapa teori lainnya di kalangan sejarawan baik muslim maupun non-muslim. 3 teori tersebut menyajikan sejarah masuknya Islam ke Indonesia dengan membawa dasar dan argumennya masing-masing. ketiganya mencoba memberikan jawaban tentang waktu masuknya Islam ke Indonesia, negara pembawanya, dan pelakunya. Ahmad Mansur suryanegara dalam bukunya” Api Sejarah “mengklasifikasikannya dengan nama teori Gujarat, teori Persia, dan teori Mekkah. Di samping juga teori Cina dan teori Maritim.
Kelima teori yang dikemukakan ahli sejarah barat tersebut beranggapan bahwa Islam masuk di Indonesia mulai abad 13 adalah tidak benar. Pengungkapan secara sepihak dari para orientalis kolonial barat yang dimotori Snouck Hurgronje mengandung banyak sekali kelemahan. Hal tersebut dibantah oleh beberapa tokoh termasyhur yang memberikan kritiknya terhadap teori di atas disertai fakta-fakta arkeologis tentang masuknya Islam ke Nusantara.
Adalah Prof. Dr. Hamka, yang sejak awal telah memberikan kritiknya terhadap teori Gujarat dan Persia. Beliau berpendapat, pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok mengabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatera (Barus). Pada saat itu wilayah Barus ini masuk ke wilayah kerajaan Sriwijaya. Naskah Tiongkok tersebut dikenal dengan "Berita Dinasti Tang".
Sementara itu Prof. Dr. Uka Tjandrasasmita (2002), dalam "Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Kedatangan dan Penyebaran Islam" menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui selat Malaka yang menghubungkan dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat sejak abad ke-7 M. Adapun Azyumardi Azra, berdasarkan bukti-bukti yang ada menyimpulkan bahwa dengan mempertimbangkan intensitas hubungan antara Muslim Timur Tengah dan Timur Jauh, didukung dengan banyaknya fakta tentang pemukiman-pemukiman muslim di China, maka wajar mengasumsikan bahwa muslim Timur Tengah cukup mengetahui tentang Nusantara.
Prof Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya "Api Sejarah" menulis, walaupun rasulullah wafat 11 H/632 M, Namun hubungan niaga tetap berlangsung antara Khulafaur Rasyidin (11-41 H/ 632-661 M) dengan negara-negara non-muslim di luar Jazirah Arabia atau Nusantara( Indonesia). Seperti yang disejarahkan pada masa Khalifah ke tiga, Utsman bin Affan (24-36 H/644-656 M) mengirim utusan niaga ke China.
Kesempatan kunjungan utusan niaga ke China, dimanfaatkan untuk mengadakan kontak dagang dengan wirausahawan di Nusantara Indonesia. Keterangan sejarahnya terdapat dalam buku Nukhbad ad Dahr ditulis oleh Syaikh Syamsudin Abu Ubaidillah Muhammad Ad-Dimsyaqi yang terkenal dengan nama Syaikh Ar-Rabwah. Menjelaskan bahwa wirausahawan muslim memasuki kepulauan ini (Indonesia) terjadi pada masa Khalifah Ustman bin Affan 24-36 H/644-656 M ( Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta. 2009, hlm. 104).
Itulah sejarah tertua masuknya Islam ke Indonesia. Namun kemudian, ada pula beberapa sumber lain menyatakan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara sejak masa Rasulullah. Hal ini logis, karena hubungan Nusantara dengan Timur Tengah telah terjadi sejak masa pra-Islam dan tentu berlanjut hingga kenabian Rasulullah.
Sejarah Islam Luas dan Kompleks
Demikianlah, memperbincangkan sejarah Islam teramat luas dan kompleks. Tidak sedikit pula akan didapatkan peristiwa yang unik bahkan mengharukan. Islam hadir di tengah kerasnya peradabanan jahiliyah. Melalui nabi Muhammad Saw, Islam selanjutnya berhasil metamorfosa menyebar ke hampir sepertiga bagian jagad ini. Setelah Rasulullah, peran perjuangan dilanjutkan oleh al-Khulafa al-Rasyidun dan dinasti dinasti Islam yang muncul sesudahnya. Mereka berhasil membangun peradaban dan kekuatan politik yang menandingi kekuatan raksasa saat itu, yaitu Bizantium dan Persia.
Khulafaur Rasyidin merupakan kepemimpinan kaum muslim pertama sepeninggal Rasulullah di bawah naungan Kekhilafah islamiyah. Kepemimpinan ini telah berlangsung berapa tahun lamanya, setelah itu dilanjutkan Kekhilafahan Umayyah, Kekhilafahan Abbasiyah, hingga Kekhilafahan Turki Utsmani. Dalam rentang masa itu, kaum muslim dipimpin oleh seorang Khalifah. Jengkal demi jengkal tanah kaum muslim dijaga oleh Khalifah, darah dan kehormatan kaum muslim dijaga dengan penuh kemuliaan. Mereka berjihad dibelakang Khalifah.
Estafet kepemimpinan kaum muslim itu pun berlanjut hingga Kekhilafahan Turki Utsmani yang dipandang oleh dunia Islam sebagai pelindung bagi negara-negara Islam di seluruh dunia. Saat itu kesultanan Turki Usmani sedang berada pada puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaannya diperkirakan lebih dari 10 juta km2, dari Maroko Afrika di ujung barat, semenanjung Jazirah Arabia, semenanjung India di bagian selatan, sampai Kaukasus dan gerbang Wina di Eropa, bahkan hingga semenanjung Malaya dan Nusantara di Asia Tenggara.
Eksistensi Turki Usmani sebagai Kekhilafahan Islam bagi kaum muslim sedunia, terutama setelah berhasil melakukan futuhat atas Konstantinopel, ibukota Romawi Timur, pada 857H/1453M, menyebabkan nama Turki melekat di hati umat Islam Nusantara. Nama yang terkenal bagi Turki di nusantara ialah "Sultan Rum." Istilah "Rum" tersebar untuk menyebut Kesultanan Turki Usmani. Mulai masa itu, supremasi politik dan kultural Rum (Turki Utsmani) menyebar ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk ke Nusantara (Sumber: Indonesia.faithfreedom.org)
Pengakuan Nusantara terhadap Kekhilafahan Turki Utsmani sebagai Penguasa Tunggal Dunia Islam
Kekhilafahan islamiyah merupakan istilah sekaligus institusi yang sangat penting bagi Nusantara. Nama Khilafah begitu membekas dalam kehidupan masyarakat di Nusantara. Keberadaannya benar-benar menjadi harapan dan kehadirannya sangat dirindu. Bahkan untuk menghadirkan mereka di Nusantara, berkali-kali utusan Kesultanan berusaha menemui Khalifah di Istanbul Turki, walau harus menempuh Medan yang sangat berbahaya menembus gelombang berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lamanya. Kehadiran perwakilan maupun tentara Turki Utsmani di Nusantara memberikan spirit luar biasa bagi masyarakat di Nusantara. Bagaimana tidak, kehadiran mereka sungguh-sungguh sangat dinanti untuk mengusir penjajah dari bumi Nusantara. Dunia, terutama penjajah sangat paham bahwa armada tempur Turki Utsmani tak ada yang menandingi kala itu. Walhasil, Khilafah Utsmaniyah bukan hanya familiar bagi Nusantara, bahkan menjadi sahabat dan pelindung Nusantara.
Nusantara telah mengakui secara resmi bahwa Kehilafahan Turki Utsmani adalah pemimpin tunggal umat Islam sedunia. Dalam kaitan utusan Aceh, Farooqi menemukan sebuah arsip Utsmani yang berisi sebuah petisi dari Sultan Ala Al-Din Riayat Syah kepada Sultan Sulaiman Al-Qanuni yang dibawa Huseyn Effendi. Dalam surat ini, Aceh mengakui penguasa Utsmani sebagai Khalifah Islam. Surat ini juga berisi laporan tentang aktivitas militer Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap para pedagang muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Makkah. Karena itu, bantuan Utsmani sangat mendesak untuk menyelamatkan kaum muslim yang terus dibantai Portugis kafir (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,( Jakarta: Prenada Media,2004. hal. 44).
Nusantara Vassal State Kekhilafahan Turki
Istilah vassal state dipakai untuk menyebut negara bawahan. Bisa saja dimaksudkan untuk menyebut negara bagian ataupun sebuah wilayah yang merupakan bagian dari sebuah negara. Azyumardi Azra (2015) dalam bukunya Dari Harvard hingga Mekkah menulis, sejak abad 16 dan 17, Kesultanan Aceh misalnya berusaha menjalin hubungan diplomatik -politik dengan Turki- dalam hal ini dengan Dinasti Turki Utsmani. Bahkan Kesultanan Aceh menyatakan diri sebagai vassal state (negara bawahan) "Khilafah Utsmani". Dari waktu ke waktu Kesultanan Aceh mengirimkan utusan ke Istanbul, bertemu dengan berbagai Sultan Utsmani, termasuk Sulaiman al Qanuni yang agung.
Bagi Kesultanan Aceh dan juga Kesultanan lain di Nusantara, penerimaan Dinasti Utsmani bahwa mereka adalah vassal states sangat penting. Dengan begitu Dinasti Utsmani berkewajiban melindungi mereka dari gangguan dan ancaman Eropa, khususnya Portugis yang kian merajalela di kawasan Lautan Hindia dan Nusantara sejak awal abad ke 16. Sultan Sulaiman keburu wafat, sebelum sempat membantu negara-negara vassalnya di Nusantara, tetapi Sultan Selim ll mengirimkan armada ke Nusantara, meski tak mampu berbuat maksimal (Azyumardi Azra (2005) "Dari Harvard hingga Mekkah" Jakarta: Republika Penerbit. hlm. 11-12).
Nusantara Bagian dari Khilafah
Dari paparan di atas, jelas dan terang benderang bahwa masuknya Islam ke Indonesia abad ke-7 M/1 H sekitar tahun 30 H hanya berselang 20 tahun-an sejak wafatnya Rasulullah. Hal ini sekaligus membantah pendapat yang menyebutkan Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-13. Adapun jejak syariat Islam telah diterapkan di nusantara merata mulai Aceh di ujung barat hingga Kesultana Wanin di Fakfak Papua. Di Aceh saja, syariat Islam telah diterapkan lebih dari 1000 tahun, sejak berdirinya Kesultanan Peurlak tahun 225H/839 M, dilanjutkan Kesultanan Samudra Pasai (1267-1521) hingga Kesultanan Aceh (1496-1903 M).
Fakta-fakta ini tak lepas dari hubungan yang intens
antara Nusantara dengan Kekhilafahan Islam. Bukti sejarah lainnya
adalah mata uang Dinar dan Dirham yang pernah diterapkan di Nusantara.
Diantaranya Mata uang Kasha yang dibuat sekitar tahun 1550-1596 Masehi,
berbentuk koin yang tertulis dalam bahasa Arab, ”Pangeran Ratu Ing Banten”. Di Kerajaan Majapahit telah
diberlakukan mata uang Gobog
sebagaimana dipublikasikan Musium Nasional yang pada satu sisinya tertulis kalimat
syahadat. Selain itu, bahasa Arab telah digunakan sebagai bahasa pergaulan di
Nusantara. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya kosakata Bahasa
Indonesia dan Melayu yang merupakan
serapan Bahasa Arab.
Bukti-bukti arkeologis tentang hubungan Khilafah dan Nusantara dapat kita saksikan hingga saat ini. diantaranya Masjid Menara Kudus, Meriam Lada Sicupak di Aceh, bendera Tauhid di Keraton Jogjakarta, komplek pemakaman tentara Kekhilafahan Turki di Aceh, dokumen-dokumen serta surat penting lainnya. Demikianlah sejarah Nusantara, selama ribuan tahun Islam telah menjadi pijakan hidup, terukir dalam tinta emas sejarah. Negsrs dijalankan atas ketaatan kepada Allah, dengan menjadikan syariat Islam yang bersumber dari Al-Quran dan al Hadits sebagai hukum dan peraturan. Infiltrasi hukum barat merasuk ke Nusantara sejak kedatangan kaum penjajah yang mulai memaksakan agamanya serta ideologi kapitalismenya.
Berbagai kesulitan yang dialami Nusantara, terutama sejak kedatangan penjajah dari bangsa-bangsa Eropa, tumpuannya adalah kepada Khilafah. Para utusan tak pernah putus asa untuk bertemu Khalifah guna mengadu dan meminta bantuan militer untuk mengusir penjajah dari bumi Nusantara. Dan sungguh, dunia menyaksikan armada tempur Turki Utsmani dielu-elukan kehadirannya di Nusantara, hingga membuat goncangan hebat di kalangan penjajah. Walhasil, upaya menghilanhkan jejak Kekhilafahan Islam di Nusantara sesungguhnya merupakan tindakan ahistoris dan justru merusak tatanan sejarah Nusantara. Wall
Posting Komentar untuk "Penjegalan Film Dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara, Proyek Pembungkaman Sejarah"