Politik Dinasti Dan Bayang Kekuasaan
Oleh : Ade Farkah
Perhelatan politik akan digelar secara serentak dipenghujung tahun 2020. Berbagai persiapan telah dilakukan oleh masing-masing pihak. Meski ditengah situasi pandemi, namun tak menyurutkan langkah untuk tetap menggelar agenda rutin sebagai ajang pesta demokrasi.
Serba-serbi pilkada ditengah pandemi masih menjadi sorotan. Namun, satu hal yang menyita perhatian publik yakni, majunya anggota keluarga dari beberapa petinggi negara dalam meramaikan ajang kompetisi tersebut.
Mulai dari anak dan menantu presiden, anak wakil presiden, hingga anak menteri akan berlaga dalam kontes pemilihan kepala daerah (Tempo.co, 20/7/2020). Hal ini menjadi tanda bahwa praktik dinasti politik dianggap telah mencapai puncaknya.
Secara sederhana, politik dinasti diartikan sebagai pergantian kepemimpinan secara turun temurun (hubungan darah atau kekerabatan) dengan tujuan mempertahankan kekuasaan (Wikipedia.org).
Dalam kancah perpolitikan, politik dinasti bukanlah hal baru. Praktik ini telah banyak dilakukan baik di dalam maupun luar negeri. Bahkan hingga level daerah.
Di Amerika Serikat, ada keluarga Bush dan Kennedy yang dianggap sukses berkuasa di negeri paman sam. Di dalam negeri, mantan presiden Soeharto juga mempraktikkan hal yang serupa dengan menjadikan Siti Hardianti Rukmana (Mbak Tutut) sebagai mentri sosial pada tahun 1998. Demikian juga dengan mantan presiden Megawati hingga SBY yang turut melibatkan anggota keluarga dan koleganya didalam kancah perpolitikan nasional.
Pada level daerah, Ratu Atut Chosiyah dianggap sukses membangun dinasti politik di Banten. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah merilis 12 daftar nama bakal calon peserta pilkada 2017 yang juga berasal dari dinasti politik di daerah masing-masing (Tempo.co, 13/1/2017).
Oleh karena itu, politik dinasti atau dinasti politik bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan ada juga yang menilai sebagai ajang aji mumpung dan perluasan daerah kekuasaan. Lalu, apa sebenarnya yang dihawatirkan dari praktik politik dinasti?
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM), Oce Madril yang dikutip dari Tempo.co pada 13 Januari 2017 mengatakan bahwa, munculnya politik dinasti dalam pemerintahan sangat rentan disalahgunakan dan cenderung melahirkan korupsi.
Masih dikutip dari laman yang sama, peneliti ICW Donal Fariz mengungkapkan hal yang senada yakni, ada dua faktor yang memicu korupsi dalam politik dinasti, yaitu : 1) motivasi menguasai aset daerah dan 2) tingginya biaya politik yang telah dikeluarkan.
Jika merujuk pada makna politik seperti yang telah disampaikan, yakni upaya untuk meraih kekuasaan. Maka, potensi adanya praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) tak akan bisa dihindari. Dikarenakan, hal itu merupakan konsekuensi logis atas tingginya biaya politik didalam sistem sekuler seperti demokrasi.
Begitulah gambaran politik dinasti dan bayang-bayang kekuasaan. Sebisa mungkin, kekuasaan tidak boleh berpindah ke tangan orang lain. Karenanya, anggota keluarga juga kolega disiapkan untuk maju dalam ajang pemilu.
Berbeda jika, politik dimaknai sebagai upaya untuk mengurus kepentingan umat. Sebagaimana makna politik dalam pandangan Islam yakni ri'ayah syu'un al-ummah yakni mengatur segala urusan rakyat. Pemerintah/negara berperan sebagai lembaga yang mengatur urusan rakyat secara praktis ('amali). Sedangkan, rakyat mengontrol sekaligus mengoreksi (muhasabah) pemerintah dalam pelaksanaannya.
Dalam praktiknya, baik pemerintah/negara maupun rakyat keduanya terikat dengan aturan Allah Swt. Dengan demikian, adanya kesadaran akan keterikatannya dengan ketentuan sang pencipta akan melahirkan konsekuensi yang berbeda bagi semua pihak. Terlebih bagi seorang pemimpin.
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang masyhur, bahwa setiap orang adalah pemimpin dan kelak akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.
Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa, tidaklah seorang hamba yang ditetapkan oleh Allah untuk mengurus rakyat, lalu mati dalam keadaan menipu mereka, kecuali Allah mengharamkan dirinya masuk ke dalam surga (HR. Bukhari dan Muslim, dari Ma'qil bin Yasar).
Masih banyak dalil-dalil yang menunjukkan beratnya tanggungjawab seorang pemimpin (kepala negara). Hingga hal ini membuat rasa takut yang luar biasa dikalangan para sahabat. Bahkan, sebagian mengucapkan kalimat istirja' yang berarti bahwa terpilihnya menjadi seorang pemimpin (penguasa) adalah suatu ujian bagi dirinya.
Dalam sistem pemerintahan Islam yang benar-benar menjalankan Islam secara sempurna tidak akan didapatkan politik dinasti, seperti masa khulafaur rasyidin. Jangankan untuk mengajukan keluarga atau kolega, bahkan mengajukan diri sendiri untuk meminta jabatan adalah perkara yang dilarang di dalam Islam.
Rasulullah Saw. telah bersumpah untuk tidak memberi jabatan kepada siapa saja yang menginginkan dan berambisi terhadapnya. Hal itu mengindikasikan bahwa, jabatan (kekuasaan) untuk mengelola negeri (bumi dan seisinya) tidaklah diberikan kepada orang yang ambisius terhadap harta dan tahta. Melainkan diberikan kepada orang-orang yang paling bertakwa.
Orang yang paling takut terhadap Allah, dialah yang paling berhak untuk menjalankan amanah kepemimpinan. Karena beratnya tanggung jawab menjadi seorang pemimpin.
Dengan demikian, telah jelas perbedaan antara sistem sekuler (demokrasi) dan sistem Islam dalam memandang politik. Inilah yang kemudian menghasilkan perilaku yang berbeda diantara politisi sekuler dan politisi Islam.
Politisi sekuler akan bekerja keras untuk meraih, dan melanggengkan kekuasaan. Berorientasi pada kepentingan diri sendiri, golongan dan korporasi. Sehingga abai terhadap kesejahteraan rakyat. Adapun politisi Islam, akan mencurahkan segenap jiwa dan raganya demi kesejahteraan rakyat. Bahkan tak segan mengeluarkan hartanya demi kepentingan rakyat. Semata-mata sebagai wujud ketakwaan terhadap perintah Allah Swt. Demikianlah kedudukan politik yang sesungguhnya. [] Wallahu a'lam
Posting Komentar untuk "Politik Dinasti Dan Bayang Kekuasaan"