Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Umar RA Menolak Mentah-Mentah Politik Dinasti


Menjelang wafat akibat tikaman Abu Lu’lu’ah seorang budak Persia, Umar RA memberikan arahan kepada Kaum Muslimin mengenai pemilihan Khalifah penggantinya. Ketika itu ada yang mengusulkan kepada Umar untuk mencalonkan saja anaknya Abdullah bin Umar menjadi pengganti sebagai Khalifah. Namun usul ini ditolak mentah-mentah oleh Amirul Mu’minin dan memarahi orang yang mengusulkan hal tersebut.

Padahal secara kapasitas, Abdullah bin Umar bukanlah orang sembarangan. Ia adalah salah satu sahabat utama Rasulullah Saw dan termasuk yang banyak meriwayatkan hadits dari beliau karena seringnya mendampingi Rasulullah Saw. Ia juga menjadi tempat meminta fatwa dalam berbagai persoalan karena kefaqihannya dalam agama. Namun itu tak membuat Umar RA  bersedia menominasikan anaknya menjadi penggantinya. Cukup Umar saja dari kalangan keluarga Umar yang menerima amanah berat ini katanya suatu kali.

Dikutip dari Kitab Tarikh Khulafa karya Imam As-Suyuthi, disebutkan justru Umar kemudian memerintahkan agar urusan pemilihan Khalifah dimusyawarahkan oleh 6 orang Sahabat utama yakni Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bi Abi Waqash. Musyawarah itu harus menghasilkan satu orang terpilih untuk kemudian dibai’at oleh Kaum muslimin menjadi Khalifah pengganti Umar bin Khattab. Kelak sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah, pemilihan Khalifah dengan membentuk tim formatur seperti yang diperintahkan Umar RA ini menjadi salah satu model pilihan bagi suksesi kepemimpinan dalam Daulah Islam.

Cuplikan sejarah ini merupakan teladan teramat baik dalam menyikapi kekuasaan. Kekuasan tidak dipandang sebagai prestise yang harus terus direngkuh dan kemudian diwariskan kepada anak keturunan. Kekuasaan harus diperlakukan sebagai amanah teramat berat yang akan membebani hisab di hari akhirat kelak. Sehingga para sahabat dulu tidak suka mengejar kekuasaan, bahkan cenderung menghindarnya.

Kisah ini ada baiknya dihayati oleh para penguasa negeri ini terutama yang sedang sibuk membangun dinasti kekuasaan. Saat sang Bapak menjadi Presiden, anak dan menantu juga ingin berkuasa. Mereka merintis di level Pemerintahan Daerah yang barangkali ini pun hanya sebagai batu loncatan. Ketika banyak suara miring menyerang politik dinasti yang dilakukannya, si anak berkelit dengan dengan dalih bahwa ia hanya ikut kontestasi. Karena bukan penunjukan dan tidak ada paksaan bagi rakyat untuk memilihnya, maka tidak bisa dikatakan sebagai politik dinasti.

Namun publik saat ini sudah tidak mudah dikelabui dengan dalih prosedur demokrasi. Bukankah dipertontonkan secara telanjang bagaimana tidak normalnya proses pencalonan si anak Presiden melalui partai pengusungnya. Faktor apalagi kalau bukan karena statusnya yang membuat ia diperlakukan istimewa. Kader senior partai yang sejak awal sudah dinominasikan pun harus rela digantikan oleh seorang anak muda yang tidak punya pengalaman sama sekali di dunia politik. Entah bagaimana nanti kekuasaan memainkan kekuatannya menyihir suara rakyat agar mayoritas menjatuhkan pilihan sesuai skenario.

Tontonan politik ini memberitahu kita satu bukti bahwa demokrasi hanya kedok untuk melegitimasi kekuasaan bagi segelintir elit politik atau yang dikenal dengan sebutan oligarki. Demokrasi sebagai sebuah konsep harusnya tidak cocok dengan model kekuasaan oligarki. Demokrasi mensyaratkan kedaulatan dan kekuasaan rakyat, bukan segelintir orang. Prosedur demokrasi pun mengharuskan rakyat memilih para pemimpin merekua sendiri sebagai wujud kedaulatan dan kekuasaan rakyat. Namun prosedur ini ternyata bisa dikelabui dengan cara menyajikan calon-calon hasil pilihan para elit. Tentu saja calon-calon ini adalah mereka yang tunduk pada kekuasaan segelintir elit politik tersebut. Maka, demokrasi pun menjadi ilusi.

Jika kesadaran tentang demokrasi yang ilusif ini menyergap kita, sebagai Muslim tentu kita rindu model sistem pemerintahan Islam yang dicontohkan oleh para Sahabat Rasulullah. Maka tunggu apalagi untuk memperjuangkan model pemerintahan Islami. Apakah harus menunggu dikelabui terus menerus segelintir orang yang tidak pernah berhenti memperebutkan kekuasaan. Tentu tidak.[]

 

B. Nawan

Posting Komentar untuk "Umar RA Menolak Mentah-Mentah Politik Dinasti"