Antara Hak Pendidikan dan Kesehatan
Oleh: Sri Wahyu Indawati, M.Pd (Inspirator Smart Parents, Founder Smart Islamic Parenting Indonesia)
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) merupakan alternatif pendidikan di masa pendemi. Menjalaninya tidaklah mudah. Perlu kreatifitas dan dukungan dari berbagai pihak agar berjalan efektif. Faktanya penduduk Indonesia yang bisa akses digital mencapai 175,4 juta dari 272 juta orang, tapi 64 persen terpusat di perkotaan.
Pada Juli lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, mengatakan evaluasi pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama masa pandemi Corona ini menunjukkan hasil yang variatif di setiap daerah. Ada yang berjalan efektif dan sebaliknya. Daerah terpencil dan tertinggal, kendala utama siswa dalam PJJ adalah akses internet. Namun secara nasional mayoritas siswa di Indonesia sudah bisa menikmati layanan internet.
Sementara, Wakil Komisi X DPR RI, Agustina Wilujeng mengkritisi bahwa jumlah responden yang disurvei kurang dari 1 persen, sehingga tak dapat menggambarkan kondisi sesungguhnya di lapangan. Kondisi pendidikan selama pandemi yang tak jelas itu, tergambar dari kondisi masyarakat yang kepayahan meladeni sistem pembelajaran baru. (Tirto.id, 28/8)
Miris, para pelajar di daerah masih kesulitan fasilitas telepon genggam, akses internet tak merata, para pendidik yang tak siap belajar dari rumah, juga ketidaksiapan kurikulum darurat. Berbagai problem dan kondisi pandemi yang tak kunjung berakhir membuat pendidikan di Indonesia tak punya pilihan selain harus PJJ, walau dalam kondisi belum siap.
Perlu adanya fleksibilitas kurikulum, penyederhanaan materi ajar dan waktu pelaksanaan serta pengurangan tugas siswa dan tuntutan kerja pendidik. Diharapkan ini juga dapat mengurangi tingkat stres para pendidik, siswa dan orang tua. Kurikulum homeschooling bisa jadi alternatif sebagai kurikulum darurat dalam kondisi saat ini yang lebih fleksibel dan humanis. Karena Nadiem sendiri mengatakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk desain kurikulum baru perlu 3 tahun.
Masyarakat dan negara pun wajib menjaga jiwa seperti yang disyariatkan Islam. Islam menempatkan manusia sebagai makhluk terhormat dan mulia. Perlindungan dan perhormatan terhadap jiwa manusia merupakan tuntutan ajaran islam yang wajib dikerjakan. Karenanya, diantara salah satu dari lima maqashid syariat yang diungkapkan oleh As-syathibi dalam karyanya Al-Muwafaqat adalah hifzhu an-nafs yang diartikan sebagai penjagaan diri/nyawa. Hal ini pun pernah direalisasikan pada masa Rasulullah SAW dan kekhilafahan saat menghadapi pandemi.
Demikianlah, masyarakat harus patuhi protokol kesehatan. Sebagaimana diketahui dari Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda menyebut ada sekitar 53 guru positif COVID-19 saat pendidikan tatap muka dibuka di zona kuning (27/8). Berbagai kebijakan pendidikan yang berubah-ubah memang masyarakat semakin bingung dan menambah kasus penularan.
Sungguh menjadi tugas berat yang harus dipikul pemerintah daerah. Terkait pembukaan sekolah tatap muka, Nadiem melemparkan tanggung jawab kepada pemerintah daerah, karena instruksi dari pemerintah pusat bersifat pilihan dan bukan paksaan (Tirto.id, 28/8).
Di sisi lain, pemerintah pun memberi dukungan PJJ dengan mengeluarkan dana sebesar Rp7,2 triliun antara lain untuk pulsa siswa, guru, mahasiswa hingga dosen. Agar keselamatan merata bagi dunia pendidikan dan masyarakat umum, dukungan tersebut pun harus dilengkapi dengan upaya pemerintah untuk menghentikan pandemi dengan mengunci seluruh akses keluar masuk transportasi darat, laut dan udara. Memang betul ekonomi penting, tapi jika manusia tidak ada, bagaimana ekonomi akan berjalan semestinya?
Wallahu a'lam[]
Posting Komentar untuk "Antara Hak Pendidikan dan Kesehatan"