Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Polemik Rencana Program Vaksinasi mandiri/berbayar

Oleh: Naim Sulaiman,M.Pd.*

Setelah “bergerilya” selama hampir 2 minggu “hunting’ kuota vaksinasi massal di sekitar Bogor, mencoba mendaftar di 7 kesempatan lokasi vaksin tapi selalu kuota penuh, akhirnya Selasa, 13 Juli 2021 dapat jatah vaksin di RSAU dr.M.Hassan Toto, Bogor setelah 3 jam mengantri berkat info dari kolega dekat. Sengaja datang 1 jam lebih awal dari jadwal mengingat tidak ingin terulang lagi kejadian 2 kali gagal dapat no.antrian di Kompi Yonif Garuda kemudian terpaksa balik arah. Terus secara aktif menghubungi kolega yang ada di Bogor sebagai upaya ikhtiar optimal di wilayah “amal” yang dikuasai, kemudian dapat beberapa link daftar online kemudian coba daftar dan dapat diduga semua penuh alias kuota habis. Ini menunjukkan animo masyarakat yang cukup tinggi untuk mendapatkan jatah vaksin, entah itu untuk alasan kesehatan atau untuk alasan kelengkapan administrasi beraktivitas dan berpergian di musim pandemi ini hanya para peserta vaksinasi yang tahu. 

Satu hari sebelumnya sempat membaca indikasi lewat media bahwa program Vaksinasi ke depan akan ada alternatif Vaksin berbayar/vaksin mandiri dengan narasi Vaksin Gotong Royong dan terlihat rencana tarif per dosis vaksin yang dipatok BUMN PT Kimia Farma cukup mencengangkan yaitu mulai Rp.321.660 sampai Rp.800.000-an (teropongsenayan.com 11 Juli 2021). Kemudian majalah Tempo edisi senin, 12 Juli 2021 memasang cover cukup “berani” menampilkan karikatur sesosok tokoh nasional memegang dua botol jenis vaksin bertuliskan GRATIS dan DIJUAL dengan judul cover BISNIS VAKSIN BERBAYAR mungkin sebagai bentuk kritik atas rencana tersebut.

Beberapa tokoh nasional juga menyampaikan kritik bahkan sangat “tajam” menyamakan rencana vaksin berbayar ini dengan Tindakan BIADAB. Sungguh diksi yang menggambarkan perbuatan yang sangat tidak layak dilakukan. Mungkin di tengah beban hidup rakyat yang sudah tinggi 2 tahun ini akibat pandemi ditambah rencana pemberlakuan tarif atas vaksin yang sangat dibutuhkan tidak hanya oleh kalangan menengah atas tapi juga mayoritas rakyat yang masuk kategori menengah bawah. 

Mengutip dari CNN Indonesia.com 12 Juli 2021 “ Ekonom Senior Indef Faisal Basri menilai program vaksin berbayar sebagai tindakan biadab. Apalagi, pasokan vaksin covid-19 masih terbatas dan kini dijual oleh BUMN.
Jika rencana ini benar-benar dilaksanakan maka Apakah pemerintah mampu memastikan tidak ada “penyelewengan” pasokan vaksin gratis yang memang terbatas jumlahnya ini dialihkan kuotanya menjadi vaksin berbayar oleh oknum yang punya kepentingan bisnis ini?

Apakah pemerintah tidak memikirkan efek rencana vaksin berbayar ini menimbulkan perlakuan yang berbeda/diskriminatif antara kalangan yang dengan sumber daya/uang dengan mudah mendapatkan akses vaksin dengan kalangan yang hanya bisa antri vaksin tanpa kepastian pasokan kuota terpenuhi yang kemudian semakin membuat bangsa ini makin terbelah?

Apakah rencana vaksin berbayar ini di tengah kondisi darurat yang semua rakyat sangat memerlukannya ini tidak dikategorikan sebagai perbuatan mencari kesempatan mendapatkan pundi-pundi rupiah di tengah kesusahan rakyat sehingga layak dikriminalkan seperti perbuatan oknum yang sengaja menimbun masker dan menaikkan harga semaunya di tengah kondisi orang banyak membutuhkan seperti awal-awal pandemi menyerang negeri ini sehingga wajar diksi BIADAB disandingkan dengan perbuatan seperti ini?

Jawaban atas pertanyaan di atas layak dijadikan pertimbangan pengambil kebijakan agar meninjau ulang kebijakan “sensitif” ini.

Dalam pandangan ekonomi saat ini demi meningkatkan pertumbuhan mungkin bisa dijadikan alasan logis untuk memastikan rencana ini terlaksana karena yang berhak menjual vaksin ini kan hanya BUMN bukan perusahaan swasta. Tapi apakah tetap etis “berjualan” kebutuhan darurat rakyat (vaksin) di tengah pandemi ini dilakukan oleh perusahaan negara? 

Mengutip CNN Indonesia.com: Wakil Menteri BUMN I Budi Gunadi Sadikin menyebut pihaknya mendapat tugas dari Kementerian Kesehatan untuk mengadakan dan mendistribusikan sekitar 172,61 juta dosis vaksin corona (covid-19) melalui skema vaksin mandiri.

Mengutip pernyataan Faisal Basri di pikiranrakyat.com : Berdasarkan skenario awal, bayangkan betapa menggiurkan bisnis vaksin BUMN. Kalau untungnya Rp100.000 per suntikan, rentenya senilai Rp17,2 triliun. Makanya ada vaksin "gotong royong" (lebih tepat vaksin rente).

Jika narasi yang coba dibangun agar rakyat menerima yaitu selisih dari harga produksi dan harga jual vaksin gotong royong ini tetap masuk ke kas negara dalam rangka menambal beban operasional negara yang selama ini ditopang oleh pajak dan utang mungkin sebagian rakyat akan berempati dan menerima kebijakan ini dengan lapang dada. Diduga akan lebih berempati lagi rakyat jika negara mendesain ulang lagi sumber pemasukan negara dari pengelolaan SDA yang tergolong kepemilikan Umum dalam konteks pandangan ekonomi Islam ketimbang menyerahkan pada mekanisme pasar bebas seperti yang dilakukan saat ini.

Apakah cukup menopang operasional negara berpenduduk 271,3 juta jiwa ini jika diterapkan sistem ekonomi Islam dalam pengelolaan kepemilikan umum saja tanpa pajak yang kian mencekik?

Mengutip data Kompas.com, 2018 terkait pendapatan Freeport : Terkait pengembangan komunitas, PTFI telah berkomitmen sepanjang 2018 untuk menyediakan 1 persen dari total pendapatan untuk pengembangan masyarakat lokal di daerah operasional PTFI. PTFI telah menyumbangkan 44 juta dollar AS pada 2017 dan 33 juta dollar AS di tahun 2016.

Artinya potensi pendapatan tambang ini jika dikelola 100% oleh negara dengan amanat syariah untuk kepentingan rakyat maka ada sebesar 44 juta dolar kali 100 = 4.400juta dolar dengan kurs saat itu Rp. 13.000/dolar dapat total potensi Rp. 57.200 Triliyun bandingkan dengan APBN saat itu Rp1.894,7 Triliun (berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.618,1 triliun) sumber: kemenkeu.go.id

Belum lagi SDA lain yang terbentang dari Sabang sampai Merauke jika dikelola secara Syariah oleh negara pasti akan mensejahterakan rakyat sesuai amanat UUD 45 dan yang lebih penting tentu sesuai dengan keinginan fitrah manusia yang berkah saat diatur oleh Syariah Islam.

Lantas bagaimana pengelolaan secara syariah ini dan langkah nyata mewujudkannya tentu menjadi “PR” bersama umat Islam untuk mengkajinya bersama serta mendakwahkannya secara intelektual tanpa kekerasan ke semua level termasuk ke level penguasa muslim saat ini agar “melirik’ solusi syariah untuk mengatasi carut-marut kondisi negeri yang kita cintai ini dalam bentuk kebijakan yang Islami.  Wallahu’alam

*Naim Sulaiman,M.Pd. Pimred pontianakbertauhid.com

Posting Komentar untuk "Polemik Rencana Program Vaksinasi mandiri/berbayar"