Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

TATA KELOLA PENGANGGARAN YANG SALAH KAPRAH


Oleh : W.Irvandi (Intelektual Muslim)

Dilansir dari cnbcindonesia.com (26/6) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pelaksanaan Program Indonesia Pintar (PIP) belum memadai. Hal ini disebabkan karena data yang digunakan sebagai sumber pengusulan calon penerima ada ketidaksesuaian. Hal ini mengakibatkan penyaluran bantuan untuk PIP belum tepat sasaran dan masih banyak anak yang seharusnya mendapatkan bantuan justru tidak menerima. BPK mencatat, dana bantuan PIP sebesar Rp 2,86 triliun yang diberikan kepada 5.364.986 siswa tidak tepat sasaran. (cnbcindonesia.com, 26/6/2021)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode sebelumnya, Muhadjir Effendy juga tidak memungkiri alokasi anggaran pendidikan memang tidak tepat sasaran. Artinya salah pemanfaatan meskipun rincian laporannya tidak dijelaskan secara detail. (cnbcindonesia.com, 14/08/2021)

Masalah dana tidak tepat sasaran juga terjadi pada kasus penerima Bantuan Produktif Usaha Mirkro (BPUM). Berdasarkan Laporan Iktisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2020 mencatat penyaluran BPUM Rp1,18 triliun untuk 414.590 penerima pada 2020 salah sasaran. Dana BPUM yang gagal disalurkan ke penerima ini juga belum dikembalikan ke kas negara sebesar Rp23,5 miliar dan double debet pada penerima BPUM ke rekening RPL pada 2 dan 8 Maret 2021 sebesar Rp43.200.000. Sampai dengan pemeriksaan berakhir, dana BPUM gagal salur sebesar Rp42.200.000. (tirto.id, 25/6/2021)

Masih dari sumber yang sama anggota Komisi VI DPR RI, Achmad Baidowi menyatakan tidak heran dengan laporan BPK tersebut. Sebab, ia dan anggota DPR lain sempat menyinggung soal penyempurnaan data besar (big data) UMKM saat rapat kerja awal tahun. Data besar tersebut masih tercecer di 18 kementerian. Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR, Anis Byarwati juga menyarankan agar pemerintah pusat mengoptimalkan kerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengintegrasi data. 

Sudah banyak pengamat menganggap bahwa kelemahan tata kelola terhadap data membuka celah untuk terjadinya potensi koruptif. Semisal kehadiran pelaku-pelaku UMKM fiktif, pungutan liar saat mengurus surat keterangan usaha (SKU), dan pemanfaatan dana yang tidak diperuntukan untuk usaha. Hal ini menjadi tantangan bagi KemenkopUKM untuk segera menyelesaikan perkara teknis tersebut. (tirto.id, 25/6/2021)

Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada Kementrian Dalam Negeri. Bahkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian menegaskan bahwa pihaknya harus memastikan alokasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tepat sasaran. Hal ini menunjukkan berarti selama ini dana yang ada tidak tepat sasaran. Tito juga akan menyisir jangan sampai membuat program tetapi tidak dirasakan oleh masyarakat. 

Namun lagi-lagi alasan teknis selalu jadi batu sandungan dana tidak tepat sasaran tersebut. Anggapan bahwa aturan-aturan investasi terutama untuk lapangan kerja dapat menghambat. Termasuk perkara teknis lain yakni lebih banyak belanja pegawai, barang, atau modal. Jika belanja pegawai dan barang yang banyak, berarti terdapat kepentingan pegawainya, sedangkan yang diterima dan digunakan masyarakat kecil sedikit. Sebaliknya, kalau belanja modalnya besar itu yang bagus. Akan tetapi patut dipertanyakan apakah belanja modal yang besar tersebut betul-betul menyentuh masyarakat atau sekadar pengadaan saja? (ekonomi.bisnis.com, 30/10/2019) Inilah yang masih menjadi masalah. 

Sebenarnya dana tidak tepat sasaran bukan masalah baru di tengah sistem perpolitikan demokrasi hari ini. Karena di dalam sistem demokrasi konsep tata kelola penganggaran menjadi kesepakaan bersama antara pihak eksekutif dan legislatif. Disanalah akan terdapat peluang untuk memainkan anggaran berdasarkan kesepakatan. Artinya masalah ini bukan hanya masalah teknis saja melainkan penyakit bawaan  dalam birokrasi sistem demokrasi. 

Sistem penganggaran di dalam konsep Islam jelas berbeda dengan konsep demokrasi kapitalis. Sistem demokrasi kapitalis menganut konsep pembahasan bersama yang ditetapkan dalam UU APBN, kemudian dibahas oleh pemerintah bersama parlemen. Pembahasan tersebut bisa disetujui dan bisa juga ditolak. Karena asas yang digunakan adalah manfaat dan kepentingan. Jika deadlock maka dampaknya dapat terjadi Goverment Shutdown sebagaimana yang terjadi dalam kasus 1 Oktober 2013 lalu di AS.

Islam menganut konsep bahwa APBN di susun berdasarkan hukum syara’ bukan kesepakatan. Pendapatan dan pengeluarannya juga baku, sehingga tidak memerlukan pembahasan yang berbelit atau tidak perlu dimusyawarahkan. Adapun wewenang penyusunan tersebut diserahkan kepada khalifah (kepala negara) yang tetap wajib mengikuti ketentuan syariah. Besar kecilnya penganggaran saja yang menjadi wewenang khalifah berdasarkan pendpaatnya.

Maka di dalam sistem seperti ini, Negara Islam atau Khilafah tidak akan memiliki permasalahan untuk menyusun anggaran karena menghilangkan potensi konflik kepentingan antara pemerintah dan oposisi serta menghindari terjadinya Goverment Shutdown. Hanya saja memang khalifah dapat menerima saran dan masukan dari siapapun, namun saran dan masukan tersebut tidak bersifat mengikat, artinya dikembalikan lagi kepada keputusan khalifah.

Akan jadi masalah jika kebutuhan APBN membengkak sedangkan dana yang ada tidak mencukupi. Dalam kondisi seperti ini ada langkah yang dibenarkan oleh syariah yang dapat dilakukan oleh khalifah yaitu memberlakukan pajak. Namun pajak tersebut sifatnya sementara sampai dana APBN tercukupi kembali. Pajak ini pun hanya dari kaum Muslim, laki-laki dan dewasa, tidak untuk semua orang.
Dana yang sudah terkumpul tersebut pun akan dialokasikan sesuai kebutuhan yang penting. Diantaranya adalah untuk menutupi kebutuhan fakir, miskin, ibnu sabil dan jihad fi sabilillah. Selain itu juga untuk memenuhi kebutuhan yang merupakan kompensasi seperti gaji PNS, tentara, dan para hukkam yakni Khailfah, Mu’awin dan Wali.

Kebutuhan penting lainnya juga dialihkan untuk kemaslahatan publik yang berat seperti jalan raya, penggalian sumber air, pembangunan masjid, sekolah dan rumah sakit, termasuk jika ada kondisi darurat karena bencana alam seperti paceklik, angin topan dan gempa bumi. Namun, pajak yang diambil pun hanya untuk kondisi darurat, tidak lebih. Kalau pun terasa berat dan masih ada kebutuhan maka negara bisa melakukan pinjaman atau dana talangan yang sesuai syariah.[]

Wallahu’alam Bisshowwab

Posting Komentar untuk "TATA KELOLA PENGANGGARAN YANG SALAH KAPRAH"