Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MERDEKA YANG SEBENARNYA - BULETIN DAKWAH KAFFAH 206

BULETIN DAKWAH KAFFAH – 206
11 Muharram 1443 H/20 Agustus 2021


MERDEKA YANG SEBENARNYA

Pekan ini kita merayakan 76 tahun kemerdekaan negeri ini dari penjajahan. Dengan usia kemerdekaan 76 tahun semestinya tujuan kemerdekaan sudah bisa diwujudkan. 

Namun, faktanya tidak demikian. Tujuan kemerdekaan masih jauh terwujud. Eksploitasi atas negeri ini dan penduduknya masih begitu terasa. Layaknya zaman penjajahan dulu atau bahkan lebih. Saat ini rakyat terbebani beragam pajak yang mungkin malah lebih banyak jumlahnya dari zaman penjajahan dulu. Kekayaan alam negeri ini juga belum dirasakan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. Sebagian besar masih dikuasai swasta asing atau dalam negeri. Berbagai kebijakan juga banyak dipengaruhi (atau didikte) oleh asing atau oligarki. Kekayaan negeri ini juga masih banyak yang mengalir kepada pihak asing, segelintir konglomerat atau sekelompok kecil yang diistilahkan sebagai oligarki.

Betul. Penjajah tidak lagi hadir dalam secara fisik. Namun, tangan-tangannya tetap mencengkeram dengan berbagai mekanisme dan cara. Termasuk melalui _proxy-proxy_-nya (agen dan komprador). Akibatnya, terasa penjajahan itu dioperasikan justru oleh bangsa sendiri. Mungkin benar peringatan orang-orang dulu, bahwa zaman dulu lebih mudah melawan penjajah yang jelas, yakni _“londo putih”_. Sebaliknya, sekarang lebih sulit karena harus melawan “operator penjajah” dari kalangan anak negeri ini sendiri, yakni _“londo ireng”_.


*Makna Merdeka*

Di dalam _Kamus Besar Bahasa Indonesia_, kata _merdeka_ berarti bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri; tidak terikat; tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Merdeka juga berarti bisa berbuat sesuai kehendak sendiri.

Dulu zaman Belanda digunakan istilah _Masdijker_, kata dalam bahasa Belanda yang diturunkan secara tidak tepat dari versi bahasa Portugis; dari kata asli dalam bahasa Sanskerta _maharddhika_. Kata ini digunakan oleh penjajah Portugis dan Belanda untuk menunjuk mantan budak di Hindia Belanda yang dimerdekakan. Dari situ kata _merdeka_ lantas dimaknai _bebas dari perbudakan_, lalu diperluas menjadi _bebas dari penjajahan_.

Penjajahan berarti eksploitasi, pengekangan dan perampasan kehendak. Pihak yang dijajah dieksploitasi semata demi kepentingan penjajah. Pihak yang dijajah dikekang dan dirampas kehendaknya. Mereka tidak berdaulat. Mereka tidak bisa bebas bertindak sesuai kehendaknya sendiri. Sebaliknya. Kehendak mereka dibatasi dan diatur oleh pihak yang menjajah. Keputusan dan tindakan mereka ditentukan, bahasa halusnya diarahkan oleh pihak yang menjajah. Kekayaan dan potensi yang mereka miliki dieksploitasi lebih untuk kemakmuran pihak yang menjajah. Semua itu hakikatnya merupakan esensi dari perbudakan atau penghambaan. 

Dengan demikian merdeka maknanya adalah ketika kehendak tidak dikekang oleh bangsa lain atau sesama manusia lainnya. Merdeka itu ketika keputusan dan tindakan tidak ditentukan dan dikendalikan oleh pihak lain baik bangsa, individu atau sekelompok individu. Merdeka itu ketika kekayaan dan potensi yang kita miliki sepenuhnya digunakan untuk kepentingan, kesejahteraan dan kemakmuran kita.


*Misi Kemerdekaan Islam*

Islam diturunkan dengan membawa misi kemerdekaan umat manusia dalam makna yang paling jauh, yakni memerdekakan umat manusia dari penghambaan kepada sesama manusia dan dari segala bentuk penghambaan kepada selain Allah SWT. 

Misi itu dinyatakan di dalam surat Rasulullah saw. yang dikirimkan kepada penduduk Najran. Di antara isinya berbunyi:

«... أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ ...»

_...Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)…_ (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553).

Misi Islam mewujudkan kemerdekaan untuk seluruh umat manusia itu juga terungkap kuat dalam dialog Jenderal Persia, Rustum, dengan Rib’i bin ‘Amir yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash ra. setelah Mughirah bin Syu’bah pada Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia. Jenderal Rustum bertanya kepada Rib’i bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rib’i bin ‘Amir menjawab, _“Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang bersedia, dari penghambaan kepada sesama hamba (sesama manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju kelapangannya; dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam…”_ (Ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, II/401).


*Merdeka dari Belenggu Hukum Manusia*

Islam diturunkan oleh Allah SWT memang untuk memerdekakan umat manusia secara hakiki dari segala bentuk penjajahan. Penjajahan itu hakikatnya merupakan bagian dari bentuk penghambaan kepada manusia. Penghambaan kepada sesama manusia tidak hanya diartikan secara harfiah sebagai perbudakan seperti dulu. Penghambaan kepada sesama manusia juga terwujud dalam bentuk penyerahan wewenang pembuatan aturan, hukum dan perundang-undangan kepada manusia, bukan kepada Allah SWT. Inilah yang menjadi doktrin demokrasi: kedaulatan di tangan rakyat (manusia). Lebih parah lagi jika aturan, hukum dan perundang-undangan tersebut diimpor dari pihak asing/penjajah. 

Allah SWT melukiskan penghambaan ini dalam firman-Nya:

﴿اِتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ …﴾

_Mereka (Bani Israel) menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah…_ (TQS at-Taubah [9]: 31).

Makna ayat tersebut dijelaskan dalam riwayat dari jalur Adi bin Hatim ra. Ia menuturkan bahwa setelah Rasulullah saw. membaca ayat tersebut, ia (Adi bin Hatim) berkata, “Kami tidak menyembah (menghambakan diri kepada) mereka.” Namun, Rasulullah saw. bersabda:

«أَلَيْسَ يُحَرِّمُونَ مَا أَحَلَّ اللهُ فَتُحَرِّمُونَهُ، ويُحِلُّونَ مَا حَرَّمَ اللهُ فَتَسْتَحِلُّونَهُ؟» قُلْتُ: بَلَى، قَالَ: «فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ»

_Bukankah mereka (para rahib dan pendeta) itu telah mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, lalu kalian pun mengharamkannya, dan mereka pun telah menghalalkan apa yang telah Allah haramkan, lalu kalian menghalalkannya?” Aku (Adi bin Hatim) berkata, “Benar.” Rasulullah saw. bersabda, “Itulah bentuk penyembahan (penghambaan diri) mereka (kepada para rahib dan pendeta)”_ (HR ath-Thabarani dan al-Baihaqi).

Pada zaman modern ini, pembuatan aturan hukum menjadi jalan penjajahan atau eksploitasi yang paling mematikan. Dalam doktrin sistem politik demokrasi yang dijalankan saat ini, sekelompok manusia yang diklaim sebagai wakil rakyat diberi kekuasaan membuat aturan hukum mewakili aspirasi rakyat. Namun faktanya, dalam banyak sekali kasus, mereka lebih mewakili kepentingan mereka, kelompok mereka dan bahkan lebih mengutamakan kepentingan oligarki para kapitalis yang menjadi cukong mereka atau pihak asing yang mengarahkan (mendikte) mereka. Mereka mengesahkan aturan hukum yang lebih menguntungkan oligarki, para kapitalis cukong dan pihak asing meski banyak ditentang oleh rakyat dan lebih merugikan rakyat. Dengan jalan pembuatan aturan hukum itulah, sekelompok kecil manusia bisa membatasi dan mengatur kehendak manusia lainnya. Masyarakat dikekang untuk menyampaikan aspirasinya. Masyarakat juga dibebani dengan berbagai pajak dan pungutan lainnya. Pada saat yang sama, kekayaan alam yang sejatinya milik mereka justru dikuasakan kepada pihak asing dan para kapitalis cukong. 

Islam bisa membebaskan masyarakat dari semua penghambaan dan “penjajahan” dan eksploitasi modern itu. Caranya dengan mengembalikan hak membuat hukum kepada Allah SWT; mengembalikan kedaulatan kepada syariah. Dengan begitu kedudukan semua manusia setara. Sama-sama menghambakan diri kepada Allah dan tunduk pada syariah-Nya. Inilah bentuk kemerdekaan yang hakiki.


*Buah Kemerdekaan Hakiki*

Allah SWT berfirman:

﴿الر.كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ﴾

_Alif, laam raa. (Inilah) Kitab yang Kami turunkan kepada kamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji_ (TQS Ibrahim [14]: 1).

Firman Allah SWT ini terbukti dalam sejarah Islam dan umat Islam. Ketika kemerdekaan hakiki terwujud melalui Islam dengan jalan penerapan syariah Islam secara menyeluruh di tengah masyarakat, kehidupan terang-benderang pun terwujud. 

Dalam sejarah terbukti, ketika sebuah negara menerapkan syariah Islam maka negara yang semula kumuh, menjadi berkemajuan dan penuh cahaya. Masyarakat Arab yang dulunya jahiliah dan terbelakang, begitu mewujudkan kemerdekaan hakiki dengan menerapkan syariah Islam di bawah pimpinan Rasul saw., mereka dalam waktu singkat berbalik menjadi pemimpin dunia serta menjadi mercusuar yang menyinari kehidupan umat manusia dan menyebarkan kebaikan, keadilan dan kemakmuran kepada umat-umat lain. 

Yang harus dilakukan saat ini adalah menyempurnakan kemerdekaan yang sudah kita rasakan dengan berusaha sungguh-sungguh mewujudkan kemerdekaan hakiki itu. Caranya dengan mewujudkan ketundukan sepenuhnya pada semua aturan Allah SWT, melepaskan diri dari belenggu sistem yang bertentangan dengan tauhid, yakni kapitalisme maupun komunisme dan ide-ide turunannya, seraya menegakkan pelaksanaan syariah Islam secara menyeluruh. Dengan itu kehidupan terang-benderang, kehidupan berkemakmuran dan mulia akan dapat dirasakan oleh semua anggota masyarakat. _WalLâh a’lam bi ash-shawâb._[]


*Hikmah:*

Allah SWT berfirman:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

_Hanya kepada-Mu kami menghambakan diri dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan._ (TQS al-Fatihah [1]: 5). []

Posting Komentar untuk "MERDEKA YANG SEBENARNYA - BULETIN DAKWAH KAFFAH 206"