Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PANDEMI TAK KUNJUNG USAI, KONFLIK SOSIAL SEMAKIN MENJADI


Oleh : Abu Yasna (Intelektual Muslim)

Diberitakan, tim pemakaman jenazah pasien Covid-19 BPBD Jember menjadi korban amukan warga saat mengirim jenazah ke Desa Jatisari, Kecamatan Pakusari, Jember. Mereka dihadang lalu dilempar dengan batu serta dipukul oleh sejumlah warga. Peristiwa itu terjadi pada Sabtu (17/7). 

Saat itu, tim pemakaman mendapat permintaan dari camat dan warga untuk mengantar jenazah dari RSD dr Soebandi ke Desa Jatisari. Ketika jenazah tiba di lokasi, sudah banyak warga yang menunggu. Warga berupaya mengambil paksa jenazah untuk dimandikan. Petugas telah memberitahu bahwa pasien meninggal karena Covid-19, tapi tak dihiraukan. Karena situasi tidak kondusif, tim pemakaman memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, ada sejumlah warga yang menghadang hingga melakukan peleparan, pemukulan, dan berusaha membanting tim relawan. (Kompas.com, 24/7/2021)

Di tempat lain, nasib nahas dialami Salamat Sianipar (45), warga Desa Sianipar Bulu Silape, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Pasalnya, gara-gara positif Covid-19 dan ingin melakukan isolasi mandiri di rumah justru diamuk oleh warga sekitar. Peristiwa memilukan itu terjadi pada Kamis (22/7). 

Sebelum Diikat, Diseret, dan Dipukuli Pakai Kayu, Pasien Covid-19 Sempat Dipaksa Isoman di Hutan. Keponakan korban, Jhosua mengatakan, kejadian berawal saat pamannya dinyatakan positif Covid-19 bersama dengan rekan kerjanya. Karena kondisinya dianggap hanya memiliki gejala ringan, oleh pihak petugas kesehatan lalu diminta melakukan isolasi mandiri di rumah. 

Namun, aparat desa yang mengetahui informasi itu tidak berkenan korban melakukan isolasi mandiri di rumah. Aparat desa bersama warga kemudian memaksa korban untuk melakukan isolasi mandiri di sebuah gubuk di dalam hutan yang lokasinya jauh dari desa. Saat itu, korban menuruti permintaan aparat desa tersebut. 

Tapi setelah beberapa hari menjalani isolasi di tengah hutan itu korban tidak betah dan merasa depresi. Akhirnya korban pulang dengan harapan dapat melanjutkan isolasi mandiri di dalam rumahnya. Warga yang mengetahui hal itu geram. Lalu korban dianiaya dan dipukuli dan ada oknum aparat desa yang diduga juga terlibat. (Kompas.com, 24/7/2021)

Konflik sosial horizontal di atas dapat terjadi karena beberapa faktor diantaranya kelemahan pengelolaan pemerintahan, ketidakadilan pemerintah termasuk kecemburuan sosial dan ekonomi. Terlebih lagi ketika negara sedang menghadapi musibah pandemi saat ini, konflik sosial sangat rentan terjadi. 

Konflik-konflik sosial bermuara dari ketidakpercayaan publik pada kebijakan negara (public distrust) karena lemahnya pengelolaan negara. Pemerintah tidak cukup melakukan edukasi yang benar kepada publik. Terlebih lagi juga karena lemahnya penanganan korban, hingga masyarakat mengambil tindakan sendiri yang berujung konflik antar anggota masyarakat. 

Di masa lalu pemerintah Khilafah dalam sejarahnya pernah ada yang berbuat zalim atau tidak adil sehingga dapat memicu munculnya konflik. Misalnya, Khalifah Umar bin Khaththab dalam perjalanannya ke Syam pernah melihat para pegawainya menyiksa orang-orang non-muslim yang tidak membayar jizyah dari Ahludz Dzimmah (warga negara nonmuslim). Khalifah Walid bin Abdul Malik (Bani Umayyah) pernah merampas gereja Yohana dari tangan Nasrani, lalu dijadikan masjid. (Al-Maududi, 1993).

Namun masalah ini dapat diselesaikan dengan wajib menegakkan keadilan dan menghilangkan segala bentuk kezaliman. Dalam kasus di wilayah Syam atas, Khalifah Umar langsung mengambil tindakan dengan melarang penyiksaan atas non-muslim itu (Abu Yusuf, Al-Kharaj, hal. 71). Demikian juga dalam kasus perampasan masjid, ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, beliau mengembalikan gereja yang sudah dijadikan masjid kepada kaum Nasrani (Al-Balazhuri, Futuhul Buldan, hal. 132).

Kecemburuan sosial ekonomi dapat pula memicu konflik atau perselisihan, sebagai akibat kebijakan memprioritaskan kelompok, golongan, suku, atau ras tertentu di atas yang lain tanpa alasan syar’i. Khalifah Al-Mu’tashim (Bani Abbasiyah) misalnya, mengistimewakan orang-orang Turki untuk menjabat posisi-posisi penting. Ini dilakukannya untuk menggeser orang-orang Persia yang menjadi pejabat-pejabat administrasi pemerintahan Abbasiyah sejak Khalifah Al-Makmun (Shalabi, 2004).

Mengatasi masalah ini, maka penguasa wajib berbuat adil tanpa mengutamakan satu kelompok, golongan, ras, atau suku tertentu atas yang lain. Dalam ketentuan mengenai pengangkatan pegawai, diberlakukan hukum ijarah yang bersifat umum dan mutlak. Yaitu setiap orang yang memiliki kewarganegaraan dan memenuhi kualifikasi, laki-laki atau perempuan, muslim atau non-muslim, berhak menjadi pegawai pemerintah (Ajhizah Dawlah Al-Khilafah, 2005).

Dalam konteks yang lebih luas, Khilafah wajib melakukan distribusi kekayaan secara adil kepada seluruh individu masyarakat. Khilafah mengambil berbagai kebijakan ekonomi dalam bidang perdagangan, jasa, pertanian, dan sebagainya agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja (QS Al-Hasyr : 7).

Oleh karena itu penting bagi negara memperhatikan urusan rakyat. Pengelolaan pemerintah yang baik dan benar, bersikap adil dalam pelayanan dan ketegasan dalam penegakan hukum, serta pendistribusian dan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat tanpa pilah pilih adalah kewajiban yang harus dilakukan. Semua ini apabila negara menerapkan syariah dengan kepemimpinan yang memiliki sikap taat kepada Allah SWT yang berlandaskan pada syariah tadi. Maka InsyaAllah konflik sosial pun dapat diminimalisir sejauh mungkin. []

Wallahu’alam Bisshowwab


Posting Komentar untuk "PANDEMI TAK KUNJUNG USAI, KONFLIK SOSIAL SEMAKIN MENJADI"