Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Angka Putus Kuliah Melonjak, Bagaimana Negara Berperan Bijak?


Oleh :Tyas ummu Rufaidah

Masih di suasana pandemi yang belum kunjung usai. Langkah PPKM pun diperpanjang guna menekan jumlah korban covid-19. Namun, ternyata jumlah kasusnya tidak menunjukan penurunan. Pandemi bukan hanya memporak-porandakan sektor kesehatan, tetapi dunia pendidikan juga menjadi korban lanjutan, yakni banyak mahasiswa putus kuliah. Penyebab yang mendominasi tidak lain faktor ekonomi.


Dilansir dari JawaPos.com, pandemi covid-19 tidak hanya membawa dampak di sektor kesehatan. Tetapi juga di bidang ekonomi dan pendidikan. Termasuk di antaranya, banyaknya mahasiswa putus kuliah. Mengutip data dari Kemendikbudristek, lebih dari setengah juta mahasiswa putus kuliah di masa pandemi covid-19 ini. Sepanjang tahun lalu, angka putus kuliah di Indonesia mencapai 602.208 orang (16/8/2021).

Diketahui, jumlah  penduduk miskin kian meningkat akibat ekonomi, sosial, dan kesehatan yang memburuk selama pandemi. Lantas, apa solusi jitu yang dihadirkan negara? Bagaimana nasib generasi penerus bangsa jika keadaanya semakin memburuk?


Jika kita telaah bersama, pandemi ini sangat memberikan efek luar biasa terhadap keberlangsungan kehidupan. Problemnya bukan hanya melumpuhkan sektor kesehatan saja, akan tetapi sangat mendalam di dunia ekonomi dan sosial. Dampak ekonomi ini menghancurkan sendi -sendi kehidupan terkecil, yakni keluarga. Untuk memenuhui kebutuhan pokok seperti makan saja, harus kelimpungan mencari pinjaman, lantaran lapangan pekerjaan semakin sulit didapatkan. 


Roda kehidupan harus tetap berjalan. Sementara, kesehatan, sandang, papan, pangan serta pendidikan merupakan hal wajib yang harus dipenuhui. Di luar pandemi saja jumlah rakyat miskin meningkat, apalagi saat ini, bisa dipastikan angkanya melonjak tajam. 

Padahal, sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan merupakan hak bagi setiap rakyat. Harapan anak bangsa mengenyam pendidikan semakin pupus jika melihat penanganan pandemi yang tak maksimal. Tak dapat dimungkiri, jika dibiarkan, pada akhirnya negara ini akan kekurangan intelektual muda yang unggul sebagai agen peradaban.

Menyikapi kasus tersebut, Kemendikbudristek menganggarkan sebesar Rp745 miliar untuk babantuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang akan dicairkan pada bulan September. Kucuran dana tersebut disampaikan langsung oleh Kemendikbudristek pada Rapat Bersama Komisi X DPR RI pada tanggal 23 Agustus 2021 di Jakarta (25/8).

Pada kenyataanya, bantuan UTK ini tidak bisa dinikmati oleh semua mahasiswa. Hanya sebagian saja yang dalam kategori keluarga kurang mampu atau menengah ke bawah dan aktif di perkulihaan. Padahal, pandemi ini dampaknya ke semua lapisan masyarakat, tidak hanya kalangan bawah saja, menengah ke atas pun juga ikut terdampak. Sebab, tak sedikit para pengusaha yang gulung tikar akibat daya beli menurun serta diberlakukan PPKM.

Kondisi ini kian memburuk jika negara ini masih menerapkan sistem ekonomi kapitalis dan politik demokrasi sebagai landasanya. Jika dibiarkan, sebuah keniscayaan jika generasi ke depan akan mengalami taraf berfikir yang rendah.

Ubaid Matriaji selaku Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai bahwa kuliah merupakan barang mahal. Hanya orang memiliki kemampuan ekonomi saja yang bisa memperolehnya. Apalagi ketersediaan kampus berbiaya murah masih sedikit (new-indonesia.org, 28/9/2020).

Problem mahasiswa bukan hanya seputar biaya membayar UKT. Akan tetapi, lebih dari itu. Saat mahasiswa menjalankan perkuliahan, mereka butuh biaya untuk membayar kontrakan atau kosan, makan, operasional, dan akomodasi kuliah. Semua itu menjadi beban bagi setiap mahasiswa jika uang bulanan tak cukup untuk membayar kebutuhan dasar tersebut.

Makin bertambah komplekslah masalah yang dihadapi mahasiswa. Untuk mencukupi kebutuhan makan sehari - hari, mahasiswa hanya bisa membeli paket hemat sepuluh ribuan. Jika uang saku kian menipis, mie instan pun jadi pilihan terakhir. Bagaimana bisa memenuhi gizi seimbang, sedangkan asupan yang dimakan hanya mie instan? Padahal, para intelektual ini butuh asupan makanan bergizi agar menambah energi sehingga bisa berpikir cemerlangn.

Beginilah hidup di tatanan sistem kapitalis. Dalam sistem kapitalis, semua dijadikan ajang bisnis untuk merauap keuntuangan. Semua dijual untuk kepentingan segelintir orang. Mulai dari kebutuhan pokok dilambungakan harganya, kesehatan dilimpahkan ke bagian asuransi kesehatan dan pendidikan pun juga ikut sebagai komiditas bisnis. 

Jadi, tak heran jika ada anekdot orang miskin dilarang sakit, orang kecil dilarang pintar. Sebab, semua berbayar. Siapa yang memiliki uang, dia dapat membelinya. Miris bukan hidup dalam kukungan kapitalis ini? Sebab, prioritas kehidupan yang dituju ialah materi belaka, tanpa mempedulikan sesama. Semua diukur berdasarkan untung rugi.


Kebutuhan Tiap Warga Terjamin dalam Khilafah

Berbeda jauh dengan sistem Islam. Jika dibandingakan, Islam memiliki sekumpulan aturan yang shahih yang bersumber dari Al-Qur'an dan As sunnah.

Dalam politik-ekonomi negara, khilafah memberikan perhatian besar terhadap pemenuhan kebutuhan pokok tiap warga negara. Hal ini tertuang dalam kitab Muqadimmah ad-Dustur, bagian kedua pasal 125 hlm. 12, “Khilafah wajib menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokok seluruh warga negara, orang per orang dengan pemenuhan yang sempurna, dan menjamin adanya peluang setiap individu dari rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap pada tingkat tertinggi yang mampu dicapai."

Khilafah memiliki mekanisme dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya berdasarkan nash-nash syariat. Rasulullah Saw. bersabda, “Cukuplah seseorang itu dianggap berdosa (bila) menelantarkan orang yang wajib ia beri makan.” (HR Abu Dawud)

Begitu pula halnya kebutuhan komunal seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Pemenuhan atas ini semua dijamin oleh khilafah.

 Sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw. dalam menjamin pendidikan rakyatnya. Rasul mewajibkan tawanan perang mengajarkan kaum muslim sebagai tebusan pembebasan mereka.

Dipastikan tidak akan ada anak yang putus sekolah dan putus kuliah jika negara menerapkan sistem Islam. Karena, dalam sistem khilafah, anak-anak dari semua kelas sosial dapat mengakses pendidikan formal. Negara yang membayar para pengajarnya. 

Seperti  yang terjadi pada masa kegemilangan Islam. Khalifah Al-Hakam II pada 965 M membangun 80 sekolah umum di Cordoba dan 27sekolah khusus bagi anak-anak miskin (al-waie.id, 1/12/2017).

Begitu indah jika aturan Allah diaplikasikan dalam kehidupan ini. Allah-lah yang lebih tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Lantas, apa yang diragukan lagi dengan sistem Islam yang sangat komprehensif dan paripurna ini?

Kembalilah kepada sistem pendidikan Islam yang hanya bisa diterapkan dalam naungan khilafah. Dengan Islam, umat akan kembali bangkit menjadi mercusuar peradaban dunia.  Sistem Islam telah teruji, berkualitas dan menghasilkan generasi cemerlang sebagai agen perubahan. Janji akan kembalinya Islam pun telah dikabarkan Rasul dalam hadistnya, “… Selanjutnya akan ada kembali khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud ath-Thayalisi dan al-Bazzar).

Waallahua'lambishowab.

Posting Komentar untuk "Angka Putus Kuliah Melonjak, Bagaimana Negara Berperan Bijak?"