KEUNGGULAN HUKUM ISLAM MENCEGAH KORUPSI
KEUNGGULAN HUKUM ISLAM MENCEGAH KORUPSI
Oleh : Habibi (Redaktur pontianakbertauhid.com)
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, banyak pihak yang mengkritisi bantuan sosial (bansos) pemerintah yang dikorupsi. Menurut Mahfud, kondisi seperti itu merupakan musibah. Mahfud menyampaikan hal itu saat memberikan materi dalam acara Silaturrahim Virtual Menko Polhukam dengang Alim Ulama, Pengasuh Ponpes, Pimpinan Ormas Lintas Agama, dan farkopimda se-Jawa Tengah, Sabtu (31/7/2021).
Menteri Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menegaskan korupsi bukanlah bagian dari budaya Indonesia. Mahfud mengatakan, jika budaya korupsi terus dibiarkan, malah membuat Bangsa Indonesia seakan pasrah dengan kejahatan tersebut.
Korupsi di Indonesia agaknya telah menjadi persoalan yang amat kronis. Ibarat penyakit, korupsi telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat serta modus yang makin beragam. Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas Muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia.
Salah satu wujud sikap taqwa adalah dengan berhati-hati dalam urusan harta, karena pertanggung jawaban terhadap harta yang kita miliki pada hari akhir nanti lebih panjang dan berat dari pada terhadap umur, ilmu dan tubuh kita. Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad, Ad Darimi dan Ibnu Khibban, Rasulullah pernah berkata kepada Ka'ab:
“Wahai Ka'b bin Ujroh sesungguhnya tidak akan masuk syurga daging yang tumbuh dari hal yang haram, dan neraka adalah paling tepat untuknya.” (HR. Ahmad).
Setidaknya kita bisa melihat ada dua faktor utama penyebab meningkatnya korupsi di negeri ini.
Yang pertama adalah faktor individu yang sudah teracuni paham materialisme. Paham ini menyebar luas dimasyarakat, mereka senantiasa mengukur derajat kebahagiaan dan kesuksesan seseorang dengan seberapa banyak harta yang ia miliki. Akibat dari pandangan ini, setiap orang akan melakukan apa saja untuk mendapatkan harta, menghalalkan segala cara dan kalau perlu ia akan menyuap untuk bisa menjadi pejabat, dan kalau sudah jadi pejabat ia akan melakukan berbagai cara untuk menambah kekayaan dan hartanya.
Yang kedua yang cukup fatal adalah faktor sistem dan aturan yang diberlakukan di negeri kita saat ini, diantaranya adalah sistem hukum/sanksi yang lemah, penegakan hukum yang setengah hati, penggajian yang rendah, juga sistem sosial, dimana masyarakat justru memuja seorang koruptor yang ‘baik hati’, rajin menyumbang pesantren, Ormas Islma, sekolah dan masjid.
Hanya ada satu jalan untuk menyelesaikan persoalan ini secara tuntas, yakni dengan penerapan Syari’ah Islam, baik dalam skala individual maupun dalam kehidupan lebih luas dalam berbangsa dan bernegara. Allah berfirman:
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” [QS. Ar-Ruum: 41]
Kesempurnaan dan keunggulan syari’ah Islam dalam mencegah korupsi terlihat dari aturan penggajian para yang jelas bagi pegawai negeri maupun para pejabat, larangan suap menyuap, kewajiban menghitung dan melaporkan kekayaan bagi pejabat, keteladanan dari seorang pemimpin, dan sistem hukum yang sempurna, dan semua itu dilaksanakan dengan pondasi keimanan kepada Allah SWT dan Hari Akhir.
Dalam urusan gaji, Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak punya rumah, maka haruslah ia mendapatkan rumah. Bila ia tidak memiliki istri, maka haruslah ia menikah, bila ia tidak memiliki pembantu maka hendaklah ia mengambil pembantu dan bila ia tidak memiliki hewan tunggangan hendaklah ia memiliki hewan tunggangan. Barang siapa yang mengambil selain itu maka ia telah melakukan kecurangan.” (HR Abu Dawud).
Rasulullah SAW juga bersabda:
“Hai kaum muslimin, siapa saja diantara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Dan kecurangannya itu akan ia bawa pada hari kiamat nant.” (HR Abu Dawud)
Imam Ad Damsyiqi menceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khattab telah mengeluarkan kas negara untuk menggaji tiga orang guru yang mengajar anak-anak sebesar 15 dinar (sekitar 63,75gram emas) per orang per bulan. Sistem Islam juga melarang aparat untuk menerima hadiah dari orang yang tidak biasa memberi hadiah sebelum dia menjadi pejabat. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w telah memberi tugas kepada seorang lelaki dari Kaum al-Asad yang bernama Ibnu Lutbiyah untuk memungut Zakat. Setelah kembali dari menjalankan tugasnya, lelaki tersebut berkata kepada Rasulullah s.a.w:
“(Harta) Ini untuk anda dan (harta) ini untukku karena dihadiahkan kepadaku.” Setelah mendengar kata-kata
tersebut, Rasulullah s.a.w naik keatas mimbar. Setelah mengucapkan puji-pujian ke hadirat Allah, beliau bersabda:
Adakah patut seorang petugas yang aku kirim untuk mengurus suatu tugas berani berkata: “Ini untuk anda dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepadaku?” Bukankah lebih baik dia duduk di rumah bapak atau ibunya (tanpa memegang suatu jabatan) dan perhatikan apakah dia akan dihadiahi sesuatu atau tidak. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di dalam genggaman-Nya, tidaklah seorang di antara kalian (pejabat) memperoleh sesuatu darinya, kecuali pada Hari Kiamat dia akan datang dengan memikul seekor unta yang sedang melenguh atau seekor lembu atau seekor kambing yang mengembek di atas tengkuknya.
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sehingga tampak kedua ketiaknya yang putih dan bersabda: “Ya Allah! Bukankah aku telah menyampaikannya,” sebanyak dua kali. Abdul Aziz Al Badri, Hidup Sejahtera dalam naungan Islam, hal 45.
Islam juga mensyari’atkan perhitungan kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Jika ada kenaikan yang tak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan bahwa kekayaan itu benar-benar halal, kalau tidak dia tidak bisa membuktikan maka hartanya akan dimasukkan ke baitul mal, sebagian atau seluruhnya. Ini pernah dilakukan Umar bin Khattab kepada Abu Hurairah dan Khalid bin Walid r.a. Disamping itu tidak kalah pentingnya adalah keteladanan pemimpin. Khalifah Umar bin al-Khaththab menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan di padang rumput milik Baitul Mal. Ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara. Inilah beberapa konsep syari’ah dalam menyelesaikan korupsi yang semakin kronis ini. Untuk itu diperlukan upaya kita semua untuk mengajak kepada syari’ah dan diperlukan kemauan penguasa untuk kembali menerapkan syari’ah dalam setiap aspek kehidupan, tanpa ini, maka memerangi korupsi hanyalah sebatas mimpi yang tidak akan terlaksana.
Semoga Allah menjaga kita dari segala yang di murkai-Nya.
Posting Komentar untuk "KEUNGGULAN HUKUM ISLAM MENCEGAH KORUPSI"