Penanganan Pandemi Dan Syahwat Kekuasaan
Oleh : Fastaghfiru ILallah
Di saat ancaman pandemi yang menyebabkan kolapsnya berbagai sendi kehidupan baik ekonomi, kesehatan maupun sendi kehidupan yang lain, tokoh politik negeri ini yang sebagian besar adalah penguasa dan pejabat justru tengah sibuk memainkan strategi demi meraup suara rakyat di helatan pesta demokrasi yang akan datang.
Sungguh ironi dan miris. Pemasangan baliho dititik-titik potensial merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh politikus sekaligus pejabat negeri ini.
Diantara sejumlah tokoh politik yang paling banyak memasang baliho antara lain Puan Maharani, Airlangga Hartarto, hingga Muhaimin Iskandar. Gambar mereka dibalut dengan janji manis terukir dalam baliho raksasa yang nampak jelas terpampang dalam sejumlah titik lokasi di Indonesia.
Maraknya aksi pasang baliho politik tersebut memancing komentar dan tanggapan berbagai kalangan yang menilai hilangnya empati dan nalar sosial politisi terhadap kondisi dan situasi yang menyelimuti berbagai lapisan masyarakat pada saat ini.
Sebagaimana di kutip dari kompas.com edisi 13-08-2021, salah seorang pengamat politik dalam negeri dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), Cahyo Seftyono, berpendapat pemasangan baliho dengan kondisi sekarang (pandemi) sebenarnya kurang pas, namun jika ditinjau dari segi kebutuhan politik maka hal tersebut sah-sah saja.
Fenomena yang terjadi saat ini dimana ancaman ambruknya berbagai sektor kehidupan tidak menarik atensi para tokoh politik, mereka justru sibuk memasang strategi demi meraih suara rakyat di pesta demokrasi mendatang. Pencitraan demi pencitraan ditebar di atas jeritan rakyat yang kian terpuruk akibat ketidakseriusan pemerintah menangani pandemi Covid 19.
Jelas menunjukan sudah terkalahkan rasa empati itu dengan ambisi berkuasa atas negeri ini.
Padahal sejatinya rakyat tidak membutuhkan obral janji, kampanye maupun tontonan menjajaki koalisi maupun oposisi apalagi iklan baliho yang merusak pemandangan. Rakyat pada saat ini sangat membutuhkan tanggung jawab berupa pengayoman dan pemeliharaan penguasa atas diri mereka secara riil dan nyata. Fakta dan realita yang terjadi, rakyat justru dipaksa menelan kekecewaan atas harapan janji-janji manis yang tak akan pernah kunjung terealisasi. Rakyat hanya akan dihargai ketika momentum pemilihan umum sebagai ajang konstalasi demokrasi saja, setelahnya suara rakyat tak dibutuhkan sama sekali.
Sistem politik yang mahal dalam demokrasi jelas hanya melahirkan pejabat yang kental akan syahwat kekuasaan dan miskin naluri sosial
kemasyarakatan. Segala upaya akan dilakukan demi menaikkan citra diri di hadapan rakyat, termasuk mereka berkolaborasi dengan pengusaha demi mendapat sokongan dana segar untuk meraih kursi dan jabatannya.
Kursi pejabat negeri sangat mahal, konsekuensinya pun tak main-main. Ujung dari kekuasaan yang didapat harus berusaha sekuat daya mengembalikan ‘modal’ korporasi yang telah mendukung mereka. Maka, di sinilah timbul politik dagang sapi serta balas budi sekaligus menyuburkan tindak pidana korupsi demi dana dan posisi yang menggiurkan. Tak kurang dan tak peduli dana bantuan sosial untuk rakyat ikut diembat seperti yang terjadi beberapa waktu lalu.
Hal tersebut terjadi karena nilai-nilai agama disisihkan, sehingga yang terjadi selalu bertentangan dengan nilai syariat Islam. Dalam ajaran Islam jabatan tidaklah diminta, melainkan diberikan kepada orang yang dipandang layak mengemban amanah, jabatan dan kekuasaan.
Abu Said Abdurahman bin Samurah mengatakan bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
" Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan, karena sesungguhnya jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk menjalankannya. Namun, jika engkau diberi kekuasaan karena meminta, engkau akan dibebani dalam menjalankan kekuasaan tersebut." ( HR. Muttafaqun alaih ).
Islam mengajarkan, kekuasaan merupakan amanah yang penuh beban tanggung jawab terutama untuk meriayah umat. Seorang muslim yang memegang jabatan
kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz menangis tatkala mendapat amanah jabatan Khalifah. Terbayang oleh beliau beratnya pertanggung jawaban kepemimpinan kelak di hadapan Allah. Berbanding terbalik dengan fakta dan realita saat ini, jabatan dikejar setengah mati karena berlimpah materi.
Begitu juga dengan Amirul mukminin Umar bin Khattab r.a, sibuk mengontrol kondisi rakyatnya dan memastikan tidak ada satu pun dari rakyatnya yang menderita. Sungguh pemangku kekuasaan berdasarkan ajaran Islam telah terbukti membuktikan sangat mengemban amanah, dan jauh dari sekadar pencitraan di hadapan manusia.
Wallahu ta'ala a'lam
Posting Komentar untuk "Penanganan Pandemi Dan Syahwat Kekuasaan"