Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PENCITRAAN MISKIN EMPATI


PENCITRAAN MISKIN EMPATI

Oleh : Muhammad Kurniawan (Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia)

Rakyat Indonesia masih terus berjuang ditengah masa pandemi yang entah kapan akan berakhir. Covid-19 masih membayangi sehingga kapan saja dapat menghampiri. Mungkin hari ini teman, besok bisa jadi orang tua, istri/suami dan anak yang terkena. Keadaan semakin parah ketika banyak anak yang menjadi yatim piatu akibat covid-19. Perekonomian masyarakat jatuh bangun karena PHK terjadi dimana-mana, usaha banyak yang bangkrut dan sepi sehingga daya beli masyarakat jauh menurun.
Saat rakyat berjibaku dengan pandemi, belakangan ini kita disuguhkan pemandangan berupa baliho berisi foto-foto para politisi di jalan-jalan besar. Jargonnya beraneka ragam; yang menyitir kebhinekaan, berkomitmen kerja untuk Indonesia, janji untuk bhakti kepada negeri, ada juga tema menebar paket qurban.
Respon negaitf pun membanjiri baliho para elit. Banyak kalangan masyarakat yang mencemooh karena risih dengan iklan tersebut dan terang-terangan mengungkapkan rasa sakit hatinya di media sosial. Netizen ramai-ramai membuat meme nyinyir dan nyindir caption baliho para politisi. Perasaan mereka terluka, masyarakat sedang susah akibat pandemi covid-19, para politisi malah berlomba mencari popularitas dengan cara yang tidak sopan kepada rakyat. Sementara itu tidak ada manfaat yang didapat dari kehadiran baliho-baliho tersebut. 
Kesan yang muncul justru "buang uang". Sebagai perbandingan - dikutip dari detik.com (6/8/2021) – biaya pemasangan baliho 4×8 meter di Kota Bandung bisa berkisar Rp15—20 juta per bulannya. Maka berapa banyak biaya jika dipasang selama setahun dengan jumlah baliho yang tersebar di seluruh Indonesia. Belum lagi menghitung faktor lokasi strategis yang tentu meminta harga yang lebih tinggi. Wajar jika kesan buang uang muncul sebab milyaran rupiah yang dikeluarkan tidak membuat masyarakat merasa terbantu. Malah menyakiti perasaan rakyat. Seandainya dana pemasangan baliho digunakan untuk membantu masyarakat yang terdampak Covid-19, tentu jauh lebih bermanfaat. 
Kampanye terselebung disaat rakyat kesulitan menunjukkan elite politik kita miskin empati terhadap derita rakyat. Respon terhadap cemoohan dan nyinyiran masyarakat dijawab dengan pembelaan. Ada yang beralasan bahwa wajar pejabat publik menyampaikan pesan lewat baliho karena isinya juga membantu pemerintah berkampanye protokol kesehatan. Selain itu ada alasan bahwa pamasangan baliho akan memecut semangat kerja kader di daerah. Angka 2024 pada baliho berfungsi sebagai alarm bahwa mereka memiliki amanah hingga tahun 2024 sehingga harus fokus dan giat bekerja. Alasan lainnya baliho dapat berkontribusi untuk menggerakkan ekonomi masyarakat.
Meski dalih dan pembelaan seolah logis, namun mudah ditebak jika baliho-baliho tersebut adalah upaya untuk mendongkrak popularitas menuju Pilpres 2024. Baliho memang masih dianggap cara yang paling efektif untuk mensosialisasikan diri para kandidat. Banyak pengamat politik tak ketinggalan mengungkap fenomena dibalik menjamurnya baliho sebagai curi start  kampanye. Terbukti dengan dipampangnya wajah elit partai yang mengisyaratkan upaya promosi menuju pilpres. Beberapa baliho juga dengan jelas mencantumkan tahun 2024 dimana kita tahu tahun tersebut adalah tahun pilpres dan pileg. 
Curi start kampanye muncul karena banyak tokoh merasa elektabilitas mereka masih rendah merujuk hasil survey tingkat popularitas para tokoh dari beberapa lembaga. Oleh karenanya harus segera didongkrak. Disis lain terkuak ketakutan akan turunnya ingatan publik pada elite tersebut. Promosi yang gencar adalah upaya merawat memori publik sedini mungkin. Nafsu besar ingin berkuasa membuat upaya tersebut harus terburu-buru, bahkan disaat rakyat sedang kesulitan.
Maraknya pencitraan politik ditengah pandemi sebenarnya adalah fenomena dipermukaan. Ibarat gunung es, dibawah permukaan air tersimpan sesuatu yang sangat besar. Dibalik fenomena ini ada dorongan sistem politik yang bersandar pada pencitraan. Alih-alih hal ini justru menunjukan tokoh dan partai politik minim gagasan strategis dan kontruktif bagi negeri. Seharusnya yang ditawarkan adalah gagasan dan solusi atas problem bangsa. Tebar pesona dengan berbagai jargon tidak mendidik dan mencerdaskan masyarakat. Politik itu mestinya adalah pertarungan ide dan gagasan. Bagaimana tawaran para politisi dengan partainya dalam mengelola masyarakat, menyelesaikan masalah bersama negara dan bagaimana meraih tujuan bersama seluruh komoen masyarakat. Dengan tawaran gagasan dan ide, maka rakyat akan memberi mandat dan amanah kekuasaan untuk menjalankan gagasan tersebut. 
Namun, jika popularitas yang malah dikedepankan, yang akan terjadi justru praktek-praktek transaksional. Politik berbasis popularitas apalagi yang dilakukan secara instan memakan biaya tinggi. Inilah praktik politik high cost. Para politisi mau tidak mau mesti “bertransaksi” dengan konstituen. Bentuknya bisa macam-macam. Berbagi paket sembako, dangdutan, pasang iklan, pajang spanduk dan baliho, muncul di TV, koran dan media sosial semuanya tidak murah.
Parahnya jika pencitraan diri dilakukan saat banyak orang sedang berjibaku dengan kesulitan. Sebenarnya jika dikalkulasi hal ini dapat menjadi bumerang. Mereka yang namanya terpampang di baliho bisa-bisa akan diingat sebagai elit yang minus simpati selama pandemi. 
Dibalik model politik dengan basis popularitas adalah sistem demokrasi dimana kekuasaan diraih dengan banyaknya suara. Yang dihitung jumlah kepala bukan isi kepala. Akhirnya segala upaya menggenjot popularitas ditempuh. Biaya besar dianggap pengorbanan. Sementara aktivitas yang kurang berpengaruh pada popularitas seperti edukasi politik minim dilakukan. Tak ketinggalan black campaign jadi senjata untuk menjatuhkan popuparitas lawan. Tingginya biaya yang dikeluarkan dianggap sebagai investasi yang harus memberi imbal balik. Tentu karena tidak ada yang mau keluar uang mengeluarkan ratusan juta hingga milyaran rupiah secara cuma-cuma. Efek berikutnya adalah saat berkuasa yang menjadi incaran adalah proyek-proyek pemerintah. Maka korupsi merajalela. Kebijakan Pemerintah yang harusnya didedikasikan untuk kemaslahatan bersama justru lebih menguntungkan rekan, keluarga  dan pendukung. Politik oligarki subur baik di pemerintahan pusat dan daerah dimana rezim oligarki datang silih berganti. 
Oleh karenanya bangsa terutama kaum msulimin sudah sepatutnya mengevaluasi pilihan sistem politiknya. Mari renungkan apakah tepat pilihan pada model sistem demokrasi dimana kedaulatan rakyat adalah ilusi. Kekuasaan dan kedaulatan justru terletak ditangan segelintir elit yang menggunakan suara rakyat hanya sebagai legitimasi kekuasaan mereka. Mari renungkan tentang rusaknya tatanan sosial dan politik negeri ini akibat model politik seperti itu. Politik yang akhirnya selalu terkonotasi sebagai aktivitas pura-pura demi suara, yang sifat sebenarnya tersingkap ketika berkuasa. Maka mari merenung kembali. Renungkan juga apakah Islam tidak memberikan jawaban tentang model pemerintahan. Apakah Politik dalam Islam itu kotor. Padalah siyasah adalah pengaturan urusan masyarakat, tentu model pengaturan ini telah ada konsepnya dalam Islam. Tinggal apakah kita mau merenung untuk mengkaji dan kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan ppolitik kita. []


Posting Komentar untuk "PENCITRAAN MISKIN EMPATI"