Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Aturan yang Membawa Bencana

Oleh : Fastaghfiru Ilallah (Pemerhati Politik) 

Berbagai produk legislasi telah di rancang untuk menangani berbagai kasus kekerasan seksual. Di antara produk tersebut adalah Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Sexual atau RUU TPKS atau RUU TPKS dan Permendikbudristek No.30 Tahun 2021 yang disusun dalam menghadapi berbagai kasus kekerasan seksual. Akan tetapi pro dan kontra mewarnai dua produk legislasi tersebut dikarenakan biasnya definisi dari kekerasan seksual dalam dua produk legislasi tersebut.

Mengutip Hidayatullah.com (10/12/2021) bahwa Majelis Ormas Islam telah mendatangi DPR dan menyampaikan aspirasi umat tentang Permendikbudristek 30 Tahun 2021. Sebab, Permendikbudristek itu masih menggunakan paradigma sexual consent dan relasi gender. Dalam paradigma tersebut, yang dipersoalkan dalam kasus pelecehan seksual hanyalah yang dilakukan dengan tanpa persetujuan para pelakunya. Jika dilakukan suka sama suka, maka bukanlah persoalan.

Sementara itu di satu sisi RUU TPKS seolah memberi angin segar perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, padahal apabila di teliti dan di cermati lebih jauh ada beberapa point yang patut diwaspadai. Penyimpangan seksual tidak dimasukkan dalam klausul RUU tersebut. Sementara di satu sisi masih menggunakan paradigma sexual consent dan relasi gender. Artinya bila tindakan seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka bukan termasuk kekerasan sexual dan tidak menjadi persoalan.

Permendikbudristek 30 dan RUU TPKS tidak akan mampu  mengatasi kondisi maraknya kekerasan seksual. Hal tersebut di karenakan legislasi RUU TPKS berpijak pada muatan SRHR (Sexual and Reproductive Health and Right) yang terus di promosikan ke negeri kaum Muslim. Konsep SRHR merupakan buah dari peradaban Barat yang alergi dengan Islam sehingga akan menjadi pintu masuk legitimasi liberalisasi perilaku termasuk di antaranya penyimpangan seksual.

Berbagai macam regulasi yang lahir dari rahim sekularisme liberalis akan menjauhkan umat dari solusi yang sebenarnya, yaitu penerapan seluruh aturan Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perbedaan perspektif sexual consent selalu menjadi polemik. Hal tersebut karena sekuler liberalisme selalu memandang dengan perspektif kesetaraan gender dan setuju atau tanpa persetujuan.

Islam tidak mentolerir segala bentuk perzinaan. Semua perilaku yang mengarah ke perzinaan hendaklah di cegah seminim mungkin. Larangan berkhalwat dengan lawan jenis dan keharusan adanya wali dalam safar perempuan adalah aturan yang baku untuk menghindari perzinaan. Sementara itu Islam juga memberikan sanksi dan hukuman yang sangat tegas dan keras bagi para pelaku perzinaan. Cambuk seratus kali dan di asingkan merupakan hukuman yang setimpal dan sesuai bagi pelaku yang belum menikah. Sementara karena mudarat yang di timbulkan lebih besar maka rajam sampai mati bagi yang sudah menikah menjadi sanksi tegas dan menimbulkan efek jera guna menanggulangi maraknya berbagai macam bentuk perzinaan.

Kekacauan yang melanda kehidupan umat merupakan buah dari di diterapkannya sistem sekuler liberal. Sistem yang di rancang untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya. Kehidupan umat telah kacau karena mengabaikan aturan Allah dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga umat tidak lagi memahami syariat Islam yang mendatang maslahat.

Sistem sekuler liberalis telah berhasil menjauhkan umat Islam dari agamanya. Kehidupan umat telah kacau balau karena cinta dunia dan ketakutan akan kematian sehingga meninggalkan aturan-aturan Allah dalam berbagai kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

Wallahu ta'ala a'lam

1 komentar untuk "Aturan yang Membawa Bencana"