Lengah Akan Stunting, Keluarga Bisa Genting
Presiden Joko Widodo saat melalukan kunjungan kerjanya di Desa Kesetnana, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT) meminta agar para gubernur, bupati dan wali kota se- Indonesia agar tidak lengah dalam upaya percepatan penurunan angka stunting dengan target 14 persen pada tahun 2024 di daerahnya masing-masing (kalbar.antaranews.com, 24/03/2022).
Presiden pun mengapresiasi pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Menurutnya, kegiatan yang berkaitan dengan stunting seperti pendampingan calon pengantin sebelum menikah harus dikerjakan. Pemerintah juga akan melakukan intervensi terhadap gizi anak, kondisi rumah, dan ketersediaan air.
Berdasarkan data BKKBN, Desa Kesetnana menjadi gambaran umum dari 278 desa yang ada di Kabupaten TTS yang memiliki prevalensi stunting tinggi. Bahkan, angka prevalensi stunting di Kabupaten TTS menurut Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) mencapai 48,3 persen, tertinggi di NTT bahkan Indonesia.
Pemerintah meluncurkan Program Pendampingan, Konseling, dan Pemeriksaan Kesehatan dalam Tiga Bulan Pranikah kepada calon pengantin (catin). Langkah ini untuk merealisasikan target penurunan angka prevalensi stunting hingga 14% pada 2024. Program penurunan angka stunting dilaksanakan untuk menyambut bonus demografi pada 2030 mendatang. Namun dengan program ini apakah akar persoalan stunting bisa teratasi dengan tuntas?
Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, Indonesia masih memiliki angka prevalensi stunting yang tinggi, yaitu 24,4%. Artinya, 1 dari 4 anak di tanah air stunting dan masih di atas angka standar yang ditoleransi WHO, yaitu di bawah 20%. Dari standar tsb, apakah penyebab utama sudah terutama terkait kemiskinan bisa teratasi ataukah semakin bertambah, hal tersebut juga berkaitan dengan kebijakan politik negara yang hanya memberikan kemudahan bagi para investor atau penguasa yang punya peluang ekonomi, sedang masyarakat disibukan dengan bertahan hidup dengan tingginya pajak, harga harga naik dan pekerjaan juga semakin susah dan bersaing dengan asing dan aseng (TKA).
Bagaimana tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Menurut data BPS, Garis Kemiskinan pada September 2021 tercatat sebesar Rp486.168,-/kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp360.007,- (74,05%) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp126.161,- (25,95%). Data ini sangat menjelaskan bahwa mayoritas kasus kemiskinan berdampak pada aspek makanan yang tentunya termasuk kualitas gizi makanan tersebut. Bagaimanapun, hal ini juga tidak dapat dihindari.
Terlepas dari pentingnya konseling dan peningkatan wawasan catin tentang stunting, sejatinya ada bekal yang tidak kalah penting dalam rangka membangun keluarga. Keluarga adalah unit terkecil suatu masyarakat. Membangun sebuah keluarga membutuhkan wawasan yang dalam hal ini bertujuan menjadi keluarga sehat dan bebas stunting.
Stunting adalah akibat anemia, gizi buruk akibat kualitas makanan ala kadarnya, dsb. yang permasalahan terbesar terletak pada kemiskinan. Semestinya, wawasan kesehatan pranikah tidak sebatas soal stunting. Wawasan kesehatan pranikah yang negara berikan justru lebih tepat mengarah pada pembekalan para calon kepala keluarga dalam wujud pekerjaan atau keterampilan mencari nafkah. Jika perlu, mereka layak mendapatkan hadiah dari negara.
Semua upaya itu bisa negara lakukan agar para calon kepala keluarga tersebut memiliki harta cukup untuk memperoleh bahan pangan yang cukup gizi bagi keluarga, khususnya janinnya kelak. Hal tersebut bisa terwujud dengan penerapan islam kaffah bukan sistem hari ini yang hanya menguntungkan para pemilik modal dan oligarki.
Sabrina Karima
Pontianak-Kalbar
Posting Komentar untuk "Lengah Akan Stunting, Keluarga Bisa Genting"