Tuberkulosis Meningkat, Soal Nyawa Jangan (Lagi) Lewat
Oleh: Mia Purnama (Sahabat Media Ideologis Khatulistiwa)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa jumlah kasus tuberkulosis (TB) meningkat dari tahun 2019 hingga 2021. Kemunduran ini terjadi karena pandemi COVID-19 mengganggu akses ke pengobatan dan tes. (https://www.suarakalbar.co.id/2022/10/kasus-tuberkulosis-meningkat-setelah-covid-19/)
Untuk pertama kalinya dalam kurun hampir dua dekade, WHO melaporkan kenaikan jumlah orang yang jatuh sakit karena TB dan tuberkulosis yang kebal obat, serta peningkatan kematian terkait TB.
Tereza Kasaeva, direktur program TB global WHO menyatakan dalam laporan bahwa lebih dari 10 juta orang mengidap TB pada tahun 2021, naik 4,5 persen dari tahun 2020. Sekitar 450 ribu kasus merupakan individu yang terinfeksi jenis TB kebal obat, suatu kenaikan 3% dari 2020 hingga 2021. Sebagian besar kasus itu dilaporkan di India, Indonesia, Myanmar dan Filipina.
Pandemi COVID-19 “terus berdampak merusak terhadap akses ke diagnosis dan pengobatan TB,” kata WHO. Pembatasan COVID-19, seperti lockdown dan menjaga jarak fisik, menyebabkan semakin sedikit orang yang didiagnosis dan mendapatkan pengobatan yang diperlukan. Dengan semakin sedikit orang yang didiagnosis TB dan diobati, semakin banyak orang yang tanpa sadar menyebarkan penyakit itu ke orang lain. Akibatnya, kemajuan yang dicapai lebih dari satu dekade lenyap, kata Dr. Mel Spigelman, presiden organisasi nirlaba TB Alliance.
Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri yang menyerang paru-paru. Penyakit ini terutama menyebar melalui udara dan, setelah COVID-19, TB adalah penyakit menular paling mematikan di dunia. Penyakit ini terutama mempengaruhi orang dewasa, khususnya mereka yang kurang gizi atau yang sistem kekebalan tubuhnya lemah, di negara-negara berkembang. Lebih dari 95 persen kasus ditemukan di negara-negara berkembang.
Penurunan ekonomi global selama pandemi memperburuk masalah, karena banyak keluarga menghadapi biaya yang sangat mahal untuk perawatan mereka, khususnya di negara-negara berkembang.
Dr. Hannah Spencer, dari organisasi Dokter Tanpa Tapal Batas di Afrika Selatan, menyarankan untuk menurunkan biaya pengobatan TB menjadi tidak lebih dari $500 untuk membantu para pasien berpenghasilan rendah.
WHO juga menyarankan agar lebih banyak negara yang menanggung biaya diagnosis dan pengobatan TB. “Jika pandemi mengajarkan kita sesuatu, itu adalah bahwa dengan solidaritas, tekad, inovasi dan kesetaraan penggunaan peralatan, kita dapat mengatasi ancaman kesehatan yang serius,” kata Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam rilis berita hari Kamis. Mari kita terapkan pelajaran itu pada tuberkulosis. Sudah waktunya untuk menghentikan pembunuh lama ini.”
Kementerian Kesehatan mencatat, saat ini kasus TBC di Indonesia sebanyak 301 kasus insidens per 100 ribu penduduk, dan angka kematian sebesar 34 orang per 100 ribu penduduk. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara penyumbang kasus TBC terbesar di dunia. (https://www.kemenkopmk.go.id/butuh-peran-multi-sektor-untuk-turunkan-penyakit-tuberkulosis-di-indonesia)
Sungguh miris kesehatan di zaman sekarang. Saat sistem kesehatan sudah canggih, tapi pelayanan yang diberikan harus terbentur dengan biaya yang mahal. Tapi seperti itulah fakta saat negara mengadopsi sistem kapitalisme. Pelayanan kesehatan di berikan dengan pertimbangan Untung rugi bukan dasar karena kewajiban untuk melayani rakyat. Akhirnya penyakit-penyakit berbahaya yang menyebabkan kematian semakin banyak kasusnya karena faktor kemiskinan.
Padahal dalam Islam nyawa seorang muslim itu sangat berarti. Karena konsep tersebut makanya pelayanan Islam dalam kesehatan untuk menyelamatkan nyawa manusia dilakukan dengan serius. Tanpa melihat lagi keuntungan yang di dapat, karena memberikan pelayanan kesehatan merupakan tanggung jawab penguasanya. Semua itu dilakukan karena penguasanya sangat memahami kalau kepemimpinan mereka akan di pertanggungjawabankan diakhirat nanti.*
Posting Komentar untuk "Tuberkulosis Meningkat, Soal Nyawa Jangan (Lagi) Lewat"