Ironi Hakordia, Korupsi Marak di Kalangan Politisi
Penulis : Maimunah Asmu'i
(Pemerhati Urusan Ummat)
HAKORDIA atau Hari Korupsi Se-Dunia. Boleh jadi tak semua orang mengetahui jika setiap tanggal 9 Desember diperingati sebagai hari korupsi se-dunia. Bahkan bagi masyarakat bawah yang secara tidak langsung terkena imbas dari permasalahan tersebut. Seperti korupsi BANSOS yang terjadi beberapa waktu lalu.
Tahun ini dengan mengambil tema" Indonesia Pulih Bersatu Berantas Korupsi" negeri ini untuk kesekian kalinya turut memperingati hari korupsi. Akan tetapi harapan untuk memberantas atau terbebas dari permasalahan tersebut terbukti masih jauh dari capaian. Banyaknya permasalahan korupsi yang belum tertangani tertimbun permasalahan baru serupa. ICW yang merupakan lembaga non pemerintah, pada peringatan Hakordia tahun ini menyoroti satu aspek tentang adanya korupsi yang justru berasal dari para politisi.
Sebenarnya bukan hal yang aneh jika hal itu terjadi, mahalnya biaya untuk meraih jabatan menjadi salah satu pemicu tindakan tersebut. Kasus baru yang masih hangat dibicarakan belakangan adalah OTT kasus jual beli jabatan yang dilakukan salah satu Bupati di Bangkalan R. Abdul Latif bersama lima tersangka pemberi suap lainnya (tirto.id )
Ini salah satu bukti semakin buramnya penanganan korupsi di negeri ini. Sementara publik belum lupa kasus mega korupsi seperti ASABRI, JIWASRAYA, BLBI, Century dan beberapa kasus besar lain yang seolah beku, seperti fenomena gunung es yang entah kapan akan terselesaikan.
Kasus di atas hanyalah sedikit dari rangkaian permasalahan korupsi di negeri ini.
Sungguh suatu ironi meskipun telah ada lembaga seperti KPK yang bertugas untuk menangani korupsi namun tetap ada saja kasus baru. KPK dalam satu laman web.nya memberikan catatan lengkap mengenai dampak buruk korupsi bagi masyarakat dan kerugian bagi negara KPK juga menyebut korupsi sebagai penyebab menurunnya ekonomi dan kemiskinan.
Menyikapi hal itu harusnya ada upaya yang lebih maksimal dari berbagai pihak agar dapat keluar dari permasalahan tersebut. Terlebih telah diketahui dampak buruk yang di timbulkan dari peristiwa yang terjadi selama bertahun- tahun dan berulang seperti tindak korupsi.
Nampak seiring namun tidak sejalan. Yang di lakukan oleh para pemangku kebijakan malah berseberangan dengan fungsi dan visi misi KPK. Hal ini diperkuat setelah adanya kabar di sahkan-nya KUHP baru yang dalam salah satu pasalnya justru berpihak pada koruptor dengan mengurangi masa hukuman mereka.
Bila hal tersebut benar adaya. Harusnya KPK sebagai badan khusus penanganan tindak korupsi yang paling lantang untuk melakukan penolakan. Namun seolah lumpuh, tak ada langkah khusus dari KPK untuk menolak hal itu.
Publik pun semakin tersadarkan betapa lemahnya fungsi KPK yang awal berdirinya terkesan garang menyasar para politisi. Kini tak ubahnya seperti "macan ompong" ditengah maraknya kasus korupsi .
Patutlah kiranya bila beberapa pihak mempertanyakan kinerja dan independensi KPK yang dinilai semakin menurun.
Sebagai badan khusus harusnya KPK menunjukkan peran pentingnya sebagai garda terdepan dalam pemberantasan . Tetapi pada faktanya KPK seolah tak mampu berbuat banyak menghadapi aturan yang semakin mengebiri langkahnya.
Persoalan inilah yang membuat usaha pemberantasan korupsi di negeri ini menjadi suatu hal yang bersifat utopis.
Peringatan hari korupsi se-dunia pertama kali di gagas oleh sekjen PBB Koffi Annan tahun 2013 yang kemudian di peringati di seluruh dunia termasuk Indonesia. Meski telah mendapat perhatian dunia bukan berarti permasalahan korupsi akan selesai.
Karena korupsi justru tumbuh subur dalam sistem demokrasi kapitalisme yang dianut oleh hampir seluruh anggota PBB.
Dengan kata lain sistem politik Demokrasi yang lahir dari Ideologi Kapitalisme sejak awal keberadaannya menjadi "biang kerok" munculnya berbagai penyimpangan termasuk dalam urusan perpolitikan.
Asas kebebasan berpendapat, berprilaku, berkeyakinan dan kepemilikan yang di anut oleh sistem kapitalisme melahirkan individu yang menghalalkan segala cara utk memuaskan keinginan demi gaya hidup mewah dengan mengesampingkan keberadaan Allah SWT.
Sesungguhnya solusi yang di tawarkan Ideologi Kapitalisme dalam menangani permasalahan pada dasarnya hanya mampu menjangkau permukaan . Inilah penyebab kejadian serupa berulang. Merata hampir ke seluruh lapisan
Mulai dari pemegang kewenangan paling rendah hingga para elit politik. Tanpa rasa malu atau jera ketika menyalahi amanah. Apalagi ada satu kasus yang terungkap bahwa fasilitas mewahpun masih bisa mereka dapat didalam penjara.
Dalam pandangan Islam. Korupsi adalah kejahatan serius yang penyebabnya bukan hanya dari individu tapi juga ada peran dari sebuah sistem yang memberi peluang terjadinya praktek korupsi. Karenanya perlu ada langkah preventif dan konkrit untuk mencegah dan menangkal tindak korupsi sebagaimana Islam menangani permasalahan ini.
Pelaku korupsi dalam Islam akan di berikan sanksi hukum yang bersumber dari Kitabullah dan sunnah dengan sangat adil, memberi efek jera bagi pelaku dan mencegahnya mengulang kembali. Memberi sanksi hukum mulai dari yang ringan berupa teguran atau nasehat. Hingga hukuman yang terberat menurut besar kecilnya kadar korupsi.
Pemimpin Daulah Islam juga akan menghitung harta pejabat sebelum menjabat dan setelah menjabat untuk mencegah penambahan harta yang tidak semestinya. Langkah ini pernah di tempuh semasa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar. Masa dimana aturan yang tepat sejalan dengan Ketaqwaan individu pemegang amanah melebur dalam masyarakat islami berperan sebagai kontrol penerapan hukum Islam. Sedangkan Daulah Islam yang berlandaskanan hukum Allah berfungsi sebagai penjamin keberlangsungan penerapan.
Demikianlah upaya Islam untuk menghilangkan dan mencegah praktik korupsi. Jika cara tersebut yang di tempuh maka tindak korupsi akan mencapai hasil nyata bukan sekedar ceremony tahunan sebagai pengingat dan jargon "Indonesia pulih bersatu berantas korupsi " benar- benar terealisasi. Terlebih hukum dalam Islam bersifat tetap dan mengikat.
Wallahu'alam.
Posting Komentar untuk "Ironi Hakordia, Korupsi Marak di Kalangan Politisi"