Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengaku Wakil Nabi dan Upaya Desakralisali Agama



Oleh : Maimunah Asmu’i

Kembali terjadi, seorang lelaki yang mengaku sebagai wakil Nabi. Ialah    Mustopa NR (60) lelaki asal lampung yang beberapa tahun silam mendatangi penduduk sekitarnya untuk meminta pengakuan atas kenabiannya. Bahkan menurut kabar terbaru lelaki tersebut melalakukan perbuatan nekat dengan menembaki kantor MUI (wartaekonomi.co.id 02/05/23)

Bukan hal baru

Perilaku menyimpang yang berkaitan dengan agama bukan baru pertama kali terjadi. Belum lepas dari ingatan sosok Lia Eden dengan aliran Salamullahnya, Ahmad Mosadeq dengan Gafatarnya atau yang terbaru cara beribadah nyeleneh ponpes Al-Zaytun dengan pimpinan ponpes yang mengklaim bermadzhab sukarno. 

Beberapa nama di atas hanyalah sedikit contoh dari lemahnya aqidah masyarakat dan terbukanya peluang penyimpangan. Hal ini merupakan dampak dari rapuhmya sistem yang di terapkan. Sistem kapitalis sekuler yang lahir dari buah pikir manusia yang serba terbatas. Sekularisme yang menjadi payung bagi kebebasan berkeyakinan, memperburuk kondisi masyarakat dengan individu yang  minus tsaqofah  shahih.

Hal inilah yang menjadi dasar  berulangnya kejadian yang sama. Diperparah longgarnya sistem sanksi yang di berlakukan negeri mayoritas muslim ini. Tidak adanya standar baku pada hukum yang akan di berlakukan bagi para pelaku turut memperparah keadaan. Efek jera yang di harap pun menjadi sesuatu  yang mustahil dapat timbul pada diri mereka yang pernah tersandung masalah serupa. Apalagi untuk dapat memutus mata rantai perilaku yang mengarah kepada penyimpangan aqidah, utopis bukan?

Dengan berfikir lebih mendalam akan mampu kita dapati adanya upaya desakralisasi agama. Hal ini sangat mungkin terjadi. Pemisahan agama dari tatanan kehidupan bernegara secara terstruktur dengan menjadikan ideologi kapitalisme sebagai asas hidup  dan di anut dengan sukarela di negeri ini. Bukankah ini sangat bertentangan dengan aqidah Islam yang melandaskan pada ketaatan mutlak kepada aturan sang Khaliq?

Kebingungan ummat

Adalah hal yang lumrah jika ummat di landa kebingungan dengan kondisi sekitar. Penyimpangan perilaku yang terkait aqidah juga pernah terjadi di masa Rasulullah. Musailamah Al Kadzab pernah mengaku sebagai Nabi. Namun dengan penanganan yang tepat hal tersebut tidak berlarut-larut. Penanganan yang tepat itulah yang tidak terjadi  di masa sekarang. Masa dimana kebebasan individu lebih di utamakan atas nama kepentingan dan hak asasi manusia. Pola hidup dan pola sikap lebih di sandarkan pada manfaat dan keinginan masing masing individu.  Begitu juga hukum yang di buat sedemikian rupa. Bak pena yang hanya menghujam kepada siapa yang berposisi di bawah. Kesemuanya hanya sekedar formalitas belaka dan di berlakukan hanya bagi kaum lemah.

Sebuah ironi

Islam hadir dengan seperangkat aturan yang lengkap, sempurna dan kaffah. Namun kehadirannya membutuhkan sebuah Instansi yang mengadopsinya agar aturan yang melingkupi sistem shahih ini dapat teraplikasi sempurna dan menyeluruh. Berbagai penyimpangan di atas adalah dampak ketiadaan sebuah sistem  solid dengan aturan yang mengikat yakni aturan yang memahami kebutuhan dan perilaku manusia. Aturan sepeti ini tak mungkin lahir dari kemampuan terbatas manusia. Hanya dzat yang menciptakan manusia yang mampu menetapkan aturan yang sempurna sesuai kebutuhan manusia.

Terpenting dari semuanya adalah mengupayakan penerapan aturan yang shahih untuk mewujudkan suasana islami yang mampu menjadi kontrol bagi individu muslim. Pensuasanaan tersebut hanya bisa wujud dengan sistem yang akan berfungsi sebagai tameng bagi individu, masyarakat dan penjagaan bagi sebuah negara. Sebuah sistem  yang sejatinya dahulu pernah terterapkan dengan sempurna di  masa Rasulullah dan  para Khulafaurrasyidin. Patut disayangkan apabila Junnah tersebut kini justru mendapat stigma negatif dari ummat muslim sendiri. Sungguh suatu ironi,  kaum muslim yang pernah menjadi ummat terbaik kini kian tercemari racun dari ideologi asing  yang  mencengkeram tiap aspek kehidupan masyarakat. Ideologi   kapitalisme kian membius. Pemahaman ummat melepaskan seutas demi seutas ikatan syara' dengan tangan kaum muslim sendiri. 

Menjadi ummat terbaik

Bagi kaum muslim kembali menjadi ummat terbaik adalah tentang kewajiban dan upaya yang layak di wujudkan bersama-sama. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّا سِ تَأْمُرُوْنَ بِا لْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِا للّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَا نَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَ كْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ

"Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 11)

Melanjutkan kehidupan islam yang pernah mengalami masa keemasan adalah kewajiban bagi seluruh ummat muslim. Allah sebagai dzat yang maha mengetahui kondisi manusia, memberikan petunjuk dalam Kitabullah dan Sunnah untuk melangkah mengarungi kehidupan dunia dengan benar sesuai aturan dari-Nya dan I’tiba terhadap segala sesuatu yang pernah Rasulullah contohkan. Iman terhadap rosul seharusnya juga iman bahwa Rasulullah Muhamad SAW adalah Rasul terakhir atau penutup masa kenabian. Mengaku sebagai Nabi atau Rasul setelahnya dalam islam adalah kejahatan serius dan bukti kecacatan aqidah. Permasalahan yang kemungkinan kecil terjadi pengulangan di masa Daulah Islam. 
Allahu a’lambishawwab.

Posting Komentar untuk "Mengaku Wakil Nabi dan Upaya Desakralisali Agama"