Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Program food estate kembali dilakukan, demi kepentingan siapa?



Oleh: Siti Natijatul Pu'at (M, Pd) 

(Alumnus Pascasarjana UNY, Pemerhati Masalah Umat) 

Merespon peringatan dari FAO (Food and Agriculture Organization) terkait ancaman krisis pangan dimasa depan pemerintah kembali menjalankan program food estate sebagai solusi. Berbagai daerah di Indonesia menjadi target tempat dilaksanakannya program tersebut, tidak terkecuali ketapang kalbar. Meskipun di tahun 2013 pernah mengalami kegagalan, nyatanya pemerintah tidak jera membuat food estate di ketapang. 

Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko melakukan kunjungan kerja ke ketapang dimana pertemuan tersebut membahas tentang food estate Teluk Keluang di Dusun Panca Bhakti, Desa Pesaguan Kanan Kecamatan Matan Hilir Selatan. Food estate menjadi salah satu program besar bagi pemerintah Kabupaten Ketapang. (Suara Ketapang.com, 21/07/2023). 

Program food estate sendiri nyatanya sudah dijalankan selama dua tahun terakhir di Kalteng, hasil yang didapatkan juga tidak memberikan kabar gembira, lagi program tersebut dinilai gagal. Sebanyak 600ha kebun singkong mangkrak dan 17.000ha sawah gagal panen. ( BBC News Indonesia, 15/05/2023). 

Fakta sejarah mencatat kegagalan program tersebut terjadi mulai dari pemerintahan Sueharto hingga pemerintahan SBY. Berdasarkan pengalaman banyak pakar berpendapat bahwa program food estate dinilai bukanlah solusi tepat dalam menghadapi krisis pangan. 

Dampak negatif yang ditimbulkan dari program tersebut tidaklah main-main. Deforestasi besar-besaran akan dilakukan untuk memanfaatkan lahan gambut dan hutan sebagai tempat dibangunnya food estate. Apabila itu terjadi maka ancaman besar bagi kerusakan lingkungan sedang menanti seperti, kekeringan karena ketersediaan air berkurang, mengganggu kesuburan tanah, perubahan iklim ekstrim, bencana ekologis dan juga banjir. Contohnya banjir Kalteng dinilai berkaitan dengan pembabatan hutan untuk food estate. (Kompas.id, 15/03/2023).

Mirisnya lagi, program food estate akan semakin menggeser posisi petani dalam negeri jika mengacu kepada Undang Undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) yang memberikan peluang bagi investor untuk semakin menguasai sumber-sumber agraria. Selain itu, Peraturan Presiden No. 77/2007 tentang daftar bidang usaha tertutup dan terbuka disebutkan bahwa asing boleh memiliki modal maksimal 95 persen dalam budi daya padi. Alhasil, asing atau swasta memiliki wewenang dalam penentuan harga jual hasil pertanian, yang sudah pasti harga akan melambung tinggi mengingat asing adalah para kapitalis yang wataknya adalah meraih keuntungan berlipat. 

Hal ini, semakin memperjelas bahwa program tersebut hanya akan menguntungkan pihak korporasi atau swasta. Pemerintah harusnya mampu mengambil kebijakan yang tepat sasaran dalam mengentaskan setiap permasalahan. Dampak yang ditimbulkan menjadi hal yang harus diperhatikan, bukan sekedar meraih keuntungan demi mengisi devisa negara. 

Apabila merujuk pada Islam dalam memenuhi kebutuhan rakyat yang jelas diperhatikan adalah distribusi barang tersebut, apakah semua rakyat dapat menikmati barang yang telah disediakan, bukan sebaliknya fokus terhadap produksi besar-besaran yang ujung-ujungnya tidak semua masyarakat menikmati. Mengingat bahwa potensi petani Indonesia sediri sudah baik bahkan hasil pertanian surplus apabila pemerintah tidak banyak melakukan impor, tinggal bagaimana pemerintah memberikan dukungan bantuan dan fasilitas modern bagi petani dalam mengembangkan pertaniannya. 

Hal ini jelas lebih menguntungkan rakyat dan juga mensejahterakan para petani Indonesia. Dalam Islam, pemimpin tidak membuka keran lebar bagi asing atau investor karena berpotensi memprivatisasi SDA yang ada. Apabila SDA dikelola dengan sistem islam, maka yang akan menikmati hasilnya adalah semua rakyat bukan hanya segelintir orang. Dengan menerapkan sistem ekonomi islam maka negara akan memiliki finansial yang baik, sehingga cukup untuk mensejahterakan semua rakyat.

Posting Komentar untuk "Program food estate kembali dilakukan, demi kepentingan siapa?"