Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

LIMBAH INDUSTRI: KAPITALISME TIDAK HANYA MENJARAH HAK UMAT, NAMUN JUGA MENYISAKAN MUDARAT BAGI KEMANUSIAAN


Sonia Padilah Riski

PT WHW merupakan perusahaan yang bergerak dalam pengolahan dan pemurnian alumina dengan membangun smelter di Dusun Sungai Tengar Desa Mekar Utama, Kecamatan Kendawangan Kabupaten Ketapang Kalbar. Kegiatan yang dilakukan oleh PT WHW menghasilkan limbah sisa pertambangan yang dibawa air hujan dan membuat air menjadi keruh. 

Bahkan pekan lalu warga Sungai Tengar melakukan aksi protes, akibat lambannya pemerintah daerah untuk menuntaskan permasalahan kerusakan lingkungan yang diakibatkan pencemaran limbah alumina berbahaya dan beracun dari PT WHW. 

Dilansir dari mediakalbarnews.com (21/12/2021), terdapat temuan yang diungkapkan oleh LSM Peduli Kayong (PK) dimana terjadi perubahan pada warna air akibat dampak teraliri anak sungai buatan perusahaan pemurinian hasil tambang PT WHW. Ironinya, peristiwa ini sudah sering terjadi dan berlangsung hampir 2 tahun. Berbagai upaya sudah dilakukan masyarakat seperti melaporkan ke pihak manajemen perusahaan, permohonan untuk relokasi tapi sayangnya laporan masyarakat tidak digubris oleh pihak-pihak tersebut. 

Puncaknya ketika masyarakat melakukan aksi dengan mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo karena pemerintah daerah pun tidak menunjukkan keseriusan dalam masalah ini. (topikterkini.com, 5/9/2023).

Bukti pencemaran yang terjadi di Sungai Tengar hanyalah salah satu contoh kecil, bahwa kerusakan yang diakibatkan oleh industri tambang nyata adanya. Belum berbicara mengenai daerah lain, dimana pengolahan limbah juga tidak diawasi oleh negara begitu pula sanksi yang diterapkan.

Lalu, kenapa masalah pencemaran bisa terus terulang dan bagaimana tata kelola limbah industri dalam Islam serta peran negara sesungguhnya? 

LIMBAH INDUSTRI DENGAN LINGKUNGAN SEBAGAI KORBAN

Permasalahan terkait perusahaan yang membuang limbah industri di Ketapang, Kalimantan Barat bukan kali ini saja. Salah satunya juga yang terjadi di Desa Sandai Kiri, Kecamatan Sandai Ketapang, Kalbar, limbah aktifitas pertambangan bauksit diduga mencemari sungai tersebut, padahal sungai tersebut adalah salah satu sumber yang digunakan masyarakat setempat (kompas.com, 18/05/2022). 

Terdapat peraturan yang berlaku untuk mencegah limbah industri dibuang di sungai di Kalimantan Barat. Peraturan Menteri No.03/2010 tentang Standar Kualitas Cairan Limbah untuk Kawasan Industri mewajibkan pemilik industri untuk mengelola limbah mereka dan memenuhi standar kualitas sebelum membuangnya ke sungai. 

Namun, banyak pemilik industri melanggar aturan dan polusi sungai menjadi lebih buruk. Pemerintah telah menciptakan dan menerapkan peraturan embargo pembuangan limbah illegal ke sungai, tapi sayangnya hal ini tidak di indahkan oleh perusahaan. Padahal perusahaan yang melanggar peraturan pembuangan limbah di Kalimantan Barat seharusnya menghadapi konsekuensi seperti denda, penutupan operasi, dan tindakan hukum, sesuai dengan UU Pengelolaan Limbah Padat, Bab XVI Pasal 44 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah harus menutup lokasi pengolahan limbah akhir dengan pembuangan terbuka.
 
Meskipun demikian, pemerintah tidak mampu untuk menutup perusahaan yang sudah jelas bermasalah salah satunya PT WHW. Kenapa? 

PT WHW dianggap turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan ekonomi masyarakat Kendawangan, seperti program Corporate Social Responsibility (CSR) dengan memberikan bantuan penanganan abrasi pantai, pendidikan, dan budaya. PT WHW juga turut memberikan kontribusi sebesar Rp 367 miliar untuk negara melalui pembangunan smelter di Kendawangan. Jika disimpulkan, kontribusi besar yang diberikan PT WHW sangat membantu pemerintah daerah untuk mengembangkan kualitas perekonomian khususnya Kendawangan. 

Selain itu, PT WHW merupakan perusahaan yang terlibat dalam hilirisasi industri bauksit di Kalimantan Barat. Pemerintah mendukung hilirisasi industri dan pembangunan smelter untuk memberikan nilai tambah pada komoditas bauksit dengan dalih untuk meningkatkan pendapatan negara sekaligus membuka lapangan pekerjaan dalam skala besar. 

Hal ini tentu menjadi angin segar bagi pemerintah untuk menerima keberadaan perusahaan sebagai penunjang perekonomian dalam bentuk investasi. Sayangnya, justru banyak permasalahan yang muncul akibat penguasaan swasta/asing terhadap SDA yang salah satunya adalah kerusakan lingkungan. Dimana, kita tahu bahwa lingkungan adalah cerminan dari sehatnya  peradaban itu sendiri. 

UPAYA NEGARA DALAM MENGOLAH LIMBAH INDUSTRI

Industrialisasi sendiri tidak terlepas dari upaya peningkatan mutu sumber daya manusia, dan pemanfaatan sumber daya alam. Semakin berkembangnya industri di berbagai daerah, maka masalah lingkungan hidup juga menjadi perhatian yang sangat besar dan harus mendapat perhatian lebih dari pihak swasta tersebut. Permasalahan lingkungan hidup seolah-olah seperti dibiarkan menggelembung sejalan dengan intensitas pertumbuhan industri, walaupun industrialisasi itu sendiri sedang menjadi prioritas dalam pembangunan. 

Pemerintah menggiatkan pembangunan yang berkesinambungan yaitu sustainable development. Sejalan dengan UU No 3 Tahun 2014 tentang industri, dimana UU ini mengatur tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) serta pengelolaan limbah non-B3. Selain itu, terdapat upaya lain untuk mengolah limbah industri ini, yakni menerapkan standar industri hijau.  

Melalui Peraturan Pemerintah No 96/2021 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, mendefinisikan industri hijau sebagai industri berwawasan lingkungan yang pertumbuhannya selaras dengan kelestarian lingkungan, pengutamaan efisiensi, dan efektifitas penggunaan sumber daya di alam. 

Dengan penerapan tersebut, pemerintah bertujuan untuk mempercepat pencapaian emisi nol karbon (net zero emission) di Indonesia dan menciptakan instrument positif untuk praktik pertambangan yang lebih ramah lingkungan. Hal terpenting bagi pemerintah Indonesia adalah memastikan ekosistem yang mendukung untuk menghasilkan pendapatan, membantu masyarakat, dan menjaga lingkungan sehijau mungkin. 

Praktik penambangan hijau merupakan konsep yang telah diperkenalkan sebelumnya di Indonesia. Penerapan Environtment, Social, dan Governance (ESG) telah meningkat seiring dengan berubahnya sistem tata kelola lingkungan dunia beberapa dekade terakhir ini. 

Pemerintah Indonesia terus mendorong pengembangan industri hijau melalui berbagai program dan kebijakan, seperti penerbitan Standar Industri Hijau, memperkuat kapasitas kelembagaan melalui Lembaga Sertifikasi Industri Hijau, dan memberikan sertifikasi industri hijau kepada perusahaan industri. Pengembangan industri hijau juga menjadi isu utama dalam agenda Presidensi G20 Indonesia. 

Selain upaya, terdapat sanksi yang diberikan oleh pemerintah kepada industri yang tidak mematuhi peraturan pengelolaan limbah industri yakni denda atau sanksi administratif penutupan sementara atau permanen, pemanggilan ke pengadilan, dan penyitaan barang. 

KAPITALISME, BIANG KERUSAKAN LINGKUNGAN 

Dengan konsep privatisasinya, sistem kapitalisme telah memberikan kewenangan pada individu untuk memiliki aset-aset strategis dan mengeskploitasinya hingga menyisakan berbagai masalah. Lantas, mengapa dunia tiba-tiba diarahkan untuk perduli dengan masalah lingkungan? 

Dalam kapitalisme, lingkungan hidup seringkali menjadi korban dari kepentingan ekonomi. Wajar jika kerusakan lingkungan dalam kapitalisme terus saja terjadi, akibat keserakahan para pelaku dalam aktifitas eksploitasi terhadap SDA termasuk hutan dan lingkungan hidup. 

Akibatnya kapitalisme tidak memikirkan bagaimana dampak jangka panjang sehingga seringkali mengabaikan dampak lingkungan. Kondisi trade off pun tidak luput dari negara antara ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi atau menjaga kualitas lingkungan. Sayangnya negara abai pada salah satu hal tersebut yakni terbuktinya kerusakan lingkungan yang semakin parah. 

Meskipun kapitalisme terus membuat kebijakan-kebijakan baru seperti “industri hijau” tidak akan mampu untuk menyelesaikan masalah lingkungan. Tabiat kapitalisme adalah eksploitasi alam sebagai sumber daya untuk menghasilkan komoditas yang menghasilkan keuntungan tidak akan pernah lepas. 

Proyek industri hijau memang peluang untuk para korporasi. bukan semata muncul dari kepedulian akan lingkungan. Jadi, jika dunia tiba-tiba berbicara akan pentingnya kesehatan lingkungan, itu hanyalah pemanis yang dijadikan sebagai dalil untuk membuka lahan baru investasi para korporasi. 

Spirit kapitalisme yang mengedepankan pencapaian keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya atau modal sekecil-kecilnya, mendorong industri-termasuk tambang- untuk mengurangi biaya dan menekan perusahan dalam memilih proses yang lebih murah. 

Pengolahan limbah bauksit jika mengikuti standar akan menelan biaya yang tidak sedikit, dimana seharusnya setiap perusahaan wajib untuk melakukan analisa kaji dampak terhadap limbah tersebut. Bukan hanya biaya, tapi juga membutuhkan waktu. Maka dicari jalan pintas dan mudah yakni lingkungan sebagai korban kapitalisme. 

Lantas, apakah industri hijau ini akan mampu merealisasikan lingkungan yang sehat bagi masyarakat? jawabannya tentu tidak. Sebab, sehat dan lestarinya lingkungan tidak melulu berbicara kondisi yang sedang berlangsung, lebih dari itu bagaimana lingkungan yang ada mampu memberikan ketenangan lahir batin bagi masyarakat. 

BAGAIMANA ISLAM MENYIKAPI LIMBAH? 

Masalah limbah bukan masalah khas kapitalisme. Semua jenis pemikiran dan ideologi akan menghadapi masalah yang sama, khususnya dengan penduduk yang besar seperti industrialisasi yang massif. Namun, semua akan berbeda terkait pandangan hidup yang mendasari proses melahirkan peraturan untuk mengelola berbagai masalah dalam limbah.

Sebagai sebuah ideologi, Islam akan melahirkan peraturan yang dipancarkan dari akidah Islam. Mengingat Islam berasal dari Sang Pencipta—Allah Swt.—yang tidak memiliki konflik kepentingan sebagaimana manusia; serta tidak memiliki karakteristik lemah, terbatas, dan saling membutuhkan sebagaimana makhluk-Nya, secara rasional dapat dipahami bahwa peraturan yang dipancarkan dari akidah Islam ini dapat menyelesaikan berbagai persoalan manusia, termasuk limbah. Berbeda dengan aturan buatan manusia yang justru menyebabkan masalah dan tidak mampu mencari solusi, kecuali sembari menciptakan masalah baru. 

Allah Swt. berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut sebagai akibat dari perbuatan tangan-tangan manusia. …” (QS Ar-Rum: 41).

Dalam pengelolaan SDA, Islam memberikan aturan dan rumus baku yang jelas dan gamblang. Pertama, pengelolaan SDA berprinsip pada kemaslahatan umat. Pengelolaan dan pemanfaatannya harus memperhatikan AMDAL sehingga tidak merusak lingkungan di sekitar wilayah pertambangan.

Kedua, kekayaan alam seperti barang tambang, minyak bumi, laut, hutan, air, sungai, jalan umum yang jumlahnya banyak dan dibutuhkan masyarakat, merupakan harta milik umum. Hal ini merujuk pada hadis Nabi ﷺ, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud).

Ketiga, pengelolaan harta milik umum dapat dilakukan dengan dua cara, yakni (1) masyarakat memanfaatkannya secara langsung, semisal air, jalan umum, laut, sungai, dan benda-benda lain yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Dalam hal ini, negara melakukan pengawasan agar harta milik umum ini tidak menimbulkan mudarat bagi masyarakat; dan (2) negara mengelola secara langsung. 

Hal ini dilakukan pada SDA yang membutuhkan keahlian, teknologi, dan biaya besar, seperti barang tambang, dll. Negara dapat mengeksplorasi dan mengelolanya agar hasil tambang dapat didistribusikan ke masyarakat. Negara tidak boleh menjual hasil tambang—sebagai konsumsi rumah tangga—kepada rakyat untuk mendapat keuntungan. Harga jual kepada rakyat sebatas harga produksi.

Keempat, negara tidak boleh menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan kekayaan alam yang menjadi milik umum kepada individu, swasta, atau asing.

Kelima, sektor pertambangan menjadi salah satu pos penerimaan Baitulmal. Pos milik umum ini dikhususkan dari penerimaan negara, seperti fai, kharaj, jizyah, dan zakat. Distribusi hasil tambang hanya dikhususkan untuk rakyat, termasuk untuk membiayai sarana dan fasilitas publik.

Posting Komentar untuk "LIMBAH INDUSTRI: KAPITALISME TIDAK HANYA MENJARAH HAK UMAT, NAMUN JUGA MENYISAKAN MUDARAT BAGI KEMANUSIAAN"