Berburu Kursi Panas Di Pilkada, Rakyat Diperdaya?
Oleh : Mai Hanum Asmu’i
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari mengatakan para caleg DPR, DPD, dan DPRD terpilih harus mengajukan surat pengunduran diri jika maju di Pilkada Serentak 2024. Hal tersebut Hasyim sampaikan saat rapat bersama Komisi II DPR, Bawaslu, dan Mendagri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (15/5/2024).
Masih hangat euphoria pilpres beberapa bulan lalu, kedepan masyarakat akan memilih kepala daerah dalam Pilkada Serentak 2024. Saling lamar antar partai pun telah menguat, melupakan persaiangan sengit saat pilpres. Mengumbar kemesraan demi menduduki kursi kepemimipinan di tingkat kabupaten atau kota. Kembali suara rakyat di buru demi kekuasaan dengan balutan empati semu. Sesaat rakyat merasa suaranya di dengar dan nasibnya di perjuangkan.
Usai pesta pilihan, semuanya menguap dan masyarakat kembali pada kenyataan. Yakni memperjuangkan kesejahteraan bagi diri dan keluarganya sendiri. Masyarakat mungkin dapat melihat dengan gamblang bagaimana polah banyak pihak yang turut dalam ajang pilpres, pileg, maupaun pilkada. Berbagai isu kecurangan, money politic hingga kontroversi bolehnya bekas koruptor ikut nyaleg. Semuanya tak pernah terdengar lagi.
Elastisnya standar aturan dalam sistem Demokrasi Kapitalisme telah melahirkan pola pikir yang cenderung mengarah pada kemunafikan dalam diri para pemegang amanah jabatan. Banyak program yang harusnya pro rakyat justru hanya mendorong masyarakat untuk mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidup nya sendiri. Mahalnya biaya pendidikan serta jaminan kesehatan berbayar yang dIwajibkan atas setiap warga menambah beban berat masyarakat. Semakin parah dengan adanya pajak yang menyasar setiap sektor. Tentu ini tak semanis janji di masa kampanye dan kesan lepas tangan nyata terlihat.
Kualitas Pemimpin
Syarat yang teramat mudah bagi peserta pemilu memberikan peluang bagi siapapun untuk meramaikan ajang kontestasi . Tentu ini memberi angin segar bagi yang ingin mencoba peruntungan. Hanya saja, jika berbicara terkait kepemimpinan harusnya ada standar baku dan kualitas yang menjadi acuan kelayakan. Mengingat di tangan merekalah kebijakan untuk rakyat lahir dan terealisasi secara nyata. Meski faktanya untuk kesekian masyarakat di buat ‘kecele’ merasakan program yang di janjikan tak jua terwujud. Kesejahteraan yang di banggakan parpol pengusung nyatanya cuma sekedar data statistik.
Semestinya masyarakat sadar bahwa kualitas pemimpin dan sistem penopang yang di adopsi turut menyumbang kondisi kehidupan bernegara. Pemimpin dalam sistem demokrasi secara instan sengaja di desain untuk “layak” di pilih bukan berdasar kredibilitas. Pemasalahan pun semakin kompleks ditengah paham sekuler (pemksahan antara agama dengan kehidupan) yang lahir dari ideologi kapitalisme, menyuburkan pola pikir pragmatis pada masyarakat hingga mudah di suap hanya dengan paket sembako.
Wacana keluar dari permasalahan negeri tinggal gumaman di balik punggung. Berlarut dan terwariskan pada generasi selanjutnya tanpa solusi fundamental. Lengkap sudah bukti gagalnya sistem demokrasi kapitalisme yang di adopsi melahirkan pemimpin sejati. Sebuah ironi sistem gagal yang di pertahankan demi keuntungan segelintir orang. Sementara jauh di belakang, kita tinggalkan contoh kepemimpinan sempurna yang pernah terbukti secara gemilang memimpin dan membangun peradaban yang di perhitungkan dunia.
Kepemimpinan dalam Peradaban Islam
Seabad silam islam pernah menjadi pembicaraan yang hangat di seantero dunia. Tak ada yang meragukan kehebatan daulah Islam kala itu. Termasyur dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kekuatan pasukannya. Ketegasan dan keadilan pemimpin Islam di akui bahkan oleh musuh Islam. Bukan dengan kampanye atau opini, pemimpin Islam di pilih berdasarkan kemampuan, pemahaman, ketepatan dan kecermatan dalam mengambil keputusan hukum serta mampu memberikan perlindungan hukum seadil adilnya. Menyatunya pola pikir cemerlang serta pola sikap yang sesuai islam dalam diri pemimpin, membuat negara mampu membawa masyarakat keluar dari setiap permasalahan secara total.
Kekuatan aqidah para khalifahnya menjadi tameng dari setiap penyelewengan. Terbukti saat khalifah Umar bin Khattab mempertanyakan unta putranya yang paling gemuk di antara unta yang lainnya. Ummar begitu khawatir anaknya mendapat perlakuan istimewa sebagai anak Khalifah dan tak segan sang Khalifah menyuruh putranya menjual untanya lalu mengambil uang senilai harga awal lantas mengembalikan keuntungannya ke baitul maal. Dapat kita buktikan betapa kuantitas dan kualitas para pejabat di masa Daulah sangat mengedepankan kemaslahatan umum bukan manfaat untuk individu semata.
Recovery
Sinergi tiga pilar antara ketakqwaan individu pemegang amanah sejalan dengan masyarakat yang berfungsi sebagai kontrol kebijakan ternaungi oleh daulah sebagai perisai penerapan aturan. kesemuanya terbukti mampu menjaga kereta kepemimpinan tetap pada jalurnya. Dengan hukum syara’ yang bersumber dari kitabullah dan as-sunnah melaju secara dinamis menorehkan tinta emas peradaban. Struktur daulah merupakan individu yang sadar akan keterikatan kepada Allah SWT, memahami dengan benar amanah yang dipikulnya.
Allah SWT telah menyiapkan aturan islam yang demikian sempurna dan menyeluruh. Tak sepatutnya sebagai makhluk ciptaan-Nya yang lemah dan terbatas justru membuangnya demi manfaat semu. Berharap perubahan nyata dengan mengganti hukum Allah Al-khaliq dengan hukum buatan manusia. Menyisihkan agama dari kehidupan.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 50) .
Sebuah ayat yang harusnya menjadi cambuk bagi setiap muslim agar kembali pada aturan Allah sebagai pemegang kedaulatan hukum satu satunya.
Wallahua’lam bishowabb.
Posting Komentar untuk "Berburu Kursi Panas Di Pilkada, Rakyat Diperdaya?"